Minyak
dan gas bumi merupakan sektor penting suatu negara, terkait dengan adanya
kebutuhan akan energi dan kemajuan perekonomian bangsa. Berangkat dari semangat
konstitusi kita pada pasal 33 UUD 1945, bahwa cabang produksi vital yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Undang-Undang no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi perubahan atas Undang-Undang nomor 8 tahun 1971 tentang Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara telah membawa banyak perubahan berarti
sejak tahun 2001 baik positif maupun negatif. Digantinya UU Migas yang lama
dengan yang baru karena UU yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman termasuk perkembangan teknologi. Seiring dengan perkembangan
waktu, permintaan masyarakat akan energi semakin meningkat sedangkan Pertamina
sendiri kewalahan dalam memenuhi karena kurangnya staf ahli, teknologi serta
dana, maka persaingan pun tak lagi dimonopoli oleh Pertamina. Persaingan dibuka
untuk umum.
Perubahan
yang paling besar dampaknya adalah perubahan status Pertamina yang dulunya
merupakan “penguasa tunggal” pengelola minyak dan gas bumi (Badan Usaha Milik
Negara) menjadi Perusahaan perseroan, yang menurut definisi UU no 19 tahun 2003
tentang BUMN, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya
terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu
persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya
mengejar keuntungan. Jadi Pertamina tidak lagi mengatur pengelolaan,
distribusi, pemurnian, eksploitasi, dll. Pertamina menjadi salah satu pihak
atau perusahaan yang akan mengusahakan pengelolaan energi. Pertamina yang tidak
lagi memonopoli pengelolaan migas digantikan oleh BP Migas untuk sektor hulu
dan BPH Migas untuk sektor hilir. BP dan BPH migas ini sesuai dengan UU 22/2001
pasal 4 ayat 3 dibentuk oleh Pemerintah dan pertanggungjawabannya juga langsung
ke Pemerintah.
Namun
UU Migas yang baru, selain memberikan solusi, ternyata juga menimbulkan
permasalahan tersendiri. Sisi positifnya adalah, sejak tahun 2001, dari segi
pelayanan, produksi, dan produk, Pertamina sudah jauh lebih baik dari yang
dulu. Dapat kita lihat sendiri dengan adanya Pertamina Pasti Pas, kemudian SPBU
yang semakin bersih dan rapi, dari segi pelayanan, kemudian BBM yang tidak lagi
ber-timbal, dst. Hal ini merupakan dampak adanya persaingan terbuka yang
mendorong masing-masing pengusaha untuk memperbaiki mutunya. Sisi positif
lainnya adalah, konsumen semakin bebas menentukan bahan bakar atau gas yang
ingin mereka gunakan. Tergantung kebutuhan.
Permasalahan
pada UU ini adalah kembali lagi kepada persaingan usaha. Karena bebasnya
persaingan, perusahaan asing pun bisa berinvestasi untuk mengelola energi
bangsa ini. Muncul ketakutan bahwa perusahaan-perusahaan asing itu akan menguasai
pasar, atau melakukan eksploitasi besar-besaran. Pada pasal 22 ayat (1) pun
dijelaskan bahwa Badan Usaha Tetap paling banyak menyerahkan 25% untuk
kebutuhan dalam negeri. Jadi jelas bahwa pengusaha-pengusaha asing itu akan
mengeruk keuntungan yang sangat banyak dari “bisnis” ini. Kita sungguh tidak
ingin kasus seperti Freeport itu terulang lagi di negara ini.
Juga menurut Hanan Nugroho dalam presentasinya di Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Pasca Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta, 8-9 Desember 2004, mengatakan bahwa peraturan-peraturan turunan berupa PP dibentuk terlalu lama. Sehingga dalam masa transisi bentuk Pertamina, terjadi kekacauan sistem, kesimpang-siuran wewenang dan tanggung jawab. Serta berlarutnya masalah transfer pembiayaan organisasi dari sebelumnya Pertamina ke Pemerintah.
Kemudian terkait dengan hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh
pihak asing sesuai dengan UU Agraria adalah hanya hak pakai dan hak sekunder
lainnya setelah mendapat izin pemerintah. Waktu yang diberikan oleh UU no 22
tahun 2001, itu maksimal 50 tahun. Jika dibandingkan dengan waktu yang
ditetapkan oleh UU Agraria, 50 tahun termasuk waktu yang cukup lama.
Pasal 22 ayat 1, pasal 12 ayat 3, dan pasal 28 ayat 2 dan 3 yang dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi membuktikan bahwa UU tersebut secara keseluruhan harus
dikaji kembali dan di revisi setelah 10 tahun berlaku dengan aroma liberalisme
yang kuat.
Jadi walaupun pengelolaan minyak dan gas bumi tidak sepenuhnya
dikontrol oleh pemerintah, pemerintah haruslah tetap melakukan pengawasan dan
kontrol pada Kegiatan Usaha Hulu maupun Kegiatan Usaha Hilir. Pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan oleh BP dan BPH Migas haruslah berjalan sesuai dengan
tanggung jawabnya masing-masing. Liberalisasi ekonomi yang sedang Indonesia
masuki saat ini sebaiknya tidak dikontrol sepenuhnya oleh pasar. Konstitusi
sendiri mengatur bahwa sektor usaha yang terkait dengan kepentingan masyarakat
luas haruslah digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat sudah
seharusnya menikmati kekayaan alam yang Indonesia miliki dengan sebaik-baiknya.
Tenaga kerja terdidik dan terlatih juga harus dicetak oleh Negara
ini. Sungguh sia-sia sekali kekayaan alam yang melimpah yang kita punya tidak
bisa dimanfaatkan dengan maksimal, bahkan dikuasai bertahun-tahun oleh pihak
asing. Juga terkait Kontrak Kerja Sama yang telah diatur oleh
Undang-Undang harus dilakukan pengawasan ketat, agar perjanjian yang disepakati
tidak mengambil hak rakyat, sesuai dengan konstitusi. Regulasi yang jelas dan kuat sudah seharusnya dibuat dengan segera terkait hal ini. Hanya bermodalkan Peraturan Pemerintah tidaklah cukup untuk memperkuat law enforcementnya. RUU Migas yang sudah dimasukkan dalam Prolegnas haruslah dikawal oleh kita semua agar tercapai kesejahteraan masyarakat Indonesia.