Kebetulan gairah
menulis sedang sedikit membaik, saya putuskan untuk kembali corat coret.
Kebetulan juga banyak lelucon dan kekacauan bertebaran akhir-akhir ini. Rencana
pemerintah untuk kembali menaikan harga BBM adalah episode hits untuk beberapa
pekan ini dan yang akan datang. dalam pemerintahan yang bergaya sinetron
seperti sekarang, rakyat perlu belajar terbiasa dengan manipulasi dan
kebohongan. belum lagi watak munafik yang rajin dipertontonkan. BBM naik lagi
dan kebijakan tersebut kemungkinan besar akan direstui oleh aliansi politik tak
bermutunya di parlemen. aahh, siapa sih yang bisa melupakan rentetan kebijakan
pro modal plus lawakan-lawakan konyol penguasa di republik ini? akan tetapi,
ada sejumlah hal menarik yang dapat ditelaah lebih jauh menyangkut subsidi BBM
yang diamputasi oleh pemerintahan yang berpura-pura tidak neoliberal ini.
Presiden kembali berdalih tentang fluktuasi harga minyak dunia sebagai factor
determinan kenaikan harga BBM. Dikatakan bahwa goncangan
eksternal dari harga minyak dunia otomatis akan membawa ekonomi negara kedalam
jurang krisis. justifikasi yang sudah dua kali dilancarakan sejak 2008 lalu.
Scenario ini tak pelak menyulut kontroversi dari berbagai pihak. rakyat kelas
menengah kebawah terutama rakyat miskin untuk kesekian kali mesti bersabar,bagi yang ingin bersabar tentu saja,
menjadi tumbal. lalu beberapa pengamat ekonomi, politik, hingga sejumlah partai
politik yang turut menyerang rencana kenaikan harga BBM, terlepas apakah bentuk
oposisinya orisisnil atau palsu. Dan hari-hari ini perlawanan berkobar dibanyak daerah diseantero
negeri.
Ditengah kondisi
runyam dan chaos politik, terbelahnya kepentingan merupakan sesuatu yang
niscaya. Cukup mudah untuk melihat alasan dan rasionalisasi dari orang atau
pihak-pihak yang memilih setuju, menolak, setuju dengan syarat, sampai posisi
paling absurd sedunia yakni netral. Toh, semuanya dibenarkan setidaknya dalam
iklim demokrasi liberal hari ini. Bahkan memutuskan menjadi iblis pun
wajar-wajar saja begitupun bagi mereka yang memimpikan transformasi radikal
terhadap imperium capital beserta turunannya. Darisana akan terlihat jelas
bagaimana kepentingan, sikap politik, dan garis ideologis yang dianut
pihak-pihak tadi. Tapi, sudahlah, sekali lagi itu adalah realitas yang niscaya
walaupun setiap dari kita pasti saling menabrak pada akhirnya.
Saya menemukan atau
lebih tepatnya menjaring kembali beberapa detail klasik yang sangat penting,
terlalu penting malah. Kesemuanya telah menjadi begitu klise sampai kita
sendiri tidak perlu repot menghadirkannya lagi kedalam ruang diskusi atau di
tulisan seperti yang and abaca sekarang. Namun, saya selalu yakin bahwa hal
klise akan selalu krusial. Contoh paling sederhana, seperti ajaran gur-guru di
sekolah dasar dulu mengenai sikap terpuji untuk saling tolong menolong atau
saling menghargai. Ditengah keterjebakan kita pada penyakit “lupa”, klise-klise
ini akan menjadi sedikit cahaya. Mungkin sebagai motivasi, gairah baru, atau
sumber kemarahan baru,hehe. Tulisan ini tentang itu semua. Tentang sejumlah
klise yang melingkupi fenomena kenaikan BBM. Juga tentang pandangan bahwa
kenaikan harga BBM adalah tidak rasional, destruktif, dan cerminan sangat tegas
bagaimana kebijakan berhaluan neoliberalisme masih menjadi kiblat pemerintah. Namun
begitu, postingan ini tak akan menyajikan analisa tekhnis bagaimana perhitungan
harga BBM ditetapkan. Tulisan dan ulasan dari kwik kian gie seharusnya sudah
cukup menjadi pijakan awal untuk menolak kebijakan pemotongan subsidi BBM.
Belum lagi ditambah, analisa dari kelompok gerakan akar rumput (sektor
buruh,tani,mahasiswa,dll) yang sudah pasti lebih jernih dan objektif ketimbang
data-data BPS yang validitasnya ramai dipertanyakan. Sampel terdekat tentu saja
jumlah dan criteria rakyat miskin.
Klise pertama adalah
klise paling klise dalam sejarah Negara politik modern. Ini tentang latar
belakang, fungsi, dan proses terbentuknya Negara. Suatu hal paling fundamental
yang telah banyak diketahui tetapi belum tentu dipahami, setidaknya dari
perspektif yang berbeda. Negara itu mungkin selayaknya udara, ada
dimana-dimana. Tetapi ajaibnya Negara mampu tiba-tiba menghilang secara
misterius (Negara yang tiba-tiba menghilang adalah tulisan cerdas dari
Adhe,seorang penulis asal Yogyakarta, yang saya gemari). Keberadaan Negara
tidaklah sepermanen perangkat dan instrument-istrumen yang dihasilkannya. Kita
melihat dan merasakan Negara ternyata hanya pada waktu tertetntu. Panca indera
termasuk aspek ruhaniah kita merasakan eksistensi Negara secara sempurna pada
saat kebahagiaan material menjadi lebih dominan dalam kehidupan harian kita.
Uang, jabatan, hiburan, pendidikan,dan lain-lain merupakan konsumsi penting
yang menggaransi betapa berterima kasihnya kita pada Negara. Entah diperoleh
dengan kerja keras, tipu muslihat, eksploitasi, atau kecerdasan kesemuanya
adalah opsi-opsi yang dapat ditempuh. Pada konteks ini Negara beserta
pemerintah dibanjiri pujian dan pengakuan penuh atas legitimasinya. Dilain
pihak Negara eksis kala tagihan air atau listrik menunggu. Panggilan pajak
setia menanti disetiap momen terima gaji atau pada berbagai produk yang diproduksi
maupun diperjualbelikan. Daftarnya akan bertambah panjang jika disertakan
registrasi, sertifikasi, validasi, biroktratisasi, dan berbagai bentuk
pengaturan lain atas nama ketertiban beserta keamanan.
Seperti yang telah
dikatakan diatas, pada keadaan lain Negara secara ajaib tiba-tiba menghilang.
Sifat misterius hilangnya Negara tentu saja menggugurkan seluruh analisa
menyangkut kredibiltas dan peran Negara yang wajib humanis, rasional, dan
universal. Substansi dari Negara adalag otoritas. Otoritas Negara bersifat
mutlak dan mengikat serta berlaku bagi setiap warga yang dinaunginya. Namun apa
boleh buat, benda bernama otoritas ini ternyata sangat fluktuatif,bahkan lebih
fluktuatif dari cuaca. Otoritas tidak berdiri independen karena dipengaruhi
serta ditentukan oleh factor-faktor diluarnya. Fluktuasi kekuasaan inilah yang
sukses menghilangkan Negara secara misterius. Negara tidak terlihat kala upah
rendah bin tidak manusiwai subur diberlakukan, kala biaya sekolah dan berobat
semakin mahal, atau pada rencana kenaikan BBM belakangan ini. Ketika menghilang
Negara lalu berevolusi menjadi ironi dan lelucon. Ironi paling klasik berupa
pertanyaan-pertanyaan berikut ini, pemerintah kan dipilih secara demokratis,
lantas kenapa sampai berpaling dari konstituennya? Bukannya wakil rakyat di DPR
itu kepanjangan lidah dan aspirasi rakyat? Apa benar si beye itu orang yang
tuli, goblok, jahat, dan tidak berperasaan? Setiap kali mengingat
pertanyaan-pertanyaan ini saya selalu tersenyum, baik pada diri sendiri maupun
pada orang yang jika kebetulan menanyakannya pada saya. Jawabannya sangat
beragam dan sekali lagi secara ketat akan dipengaruhi oleh kerangka teoritis
yang digunakan. Atau kalau tidak mau pusing dengan teori, filsafat, atau
hal-hal rumit cukup dibenturkan saja dengan apa kepentingan (interest)
orangnya. Klasifikasi kepentingan-kepentingan akan memandu pertanyaan tersebut
ke jawaban yang paling objektif dan tepat sasaran. Si ruhut sitompul yang
terkenal asal bin kacau bicara itu tak mungkin membusuki kebijakan partai
democrat dan si beye bukan???
Namun kita,terutama
rakyat miskin, tidak perlu terlalu khawatir dan kebakaran jenggot menyikapi
kenaikan harga BBM ini, setidaknya begitulah pemerintah berkilah. Si presiden
malah turut mengakui penyesalan dan ketidakbahagiaannya pada kebijakan ini.
Maka lahirlah lelucon. Bagaimana mungkin orang ini beserta para pendukungnya
itu prihatin bila bahkan tidak ada sedikitpun yang mengganggu ketentraman hidup
mereka ketika BBM naik??? Mengundang pers lalu menyebarkan penyesalan palsu
yang pada prinsipnya mereka dapat menghindarinya sejak awal dan membatalkan
kebijakan tersebut? Jika merujuk pada rasionalisasi versi pemerintah maka
kenaikan harga BBM terdengar sangat masuk akal dan tak bisa dihindari. Namun
anehnya sejumlah kejanggalan juga terlihat begitu kasat mata. Rezim ini telah
berkuasa lebih dari 8 tahun namun tidak punya (meski lebih tepatnya memang
tidak menghendaki) program jangka panjang tentang kedaulatan migas. Tentang
lifting, tentang penemuan sumur baru, konversi ke gas, atau obral sumber minyak
nasional kepada korporasi asing. Diluar itu,anggran belanja yang boros, plesiran
ke luar negeri, kultus korupsi, yang kesemuanya menggerogoti struktur APBN
Negara. Bahkan tanpa kwik kian gie, manipulasi dan lelucon semacam ini cukup
gampang ditelusuri. Tidaklah mengherankan lelucon ini menjadi semakin heboh
lewat dalih kosong subsidi BBM yang beralih fungsi sebagai penyakit APBN.
Pemerintah ini adalah kanker berikut sistemnya. Bukan subsidi. Bukan kita tapi
segelintir orang-orang itu!
Ilusi inspeksi pasar
Meskipun begitu,
saya masih punya satu lelucon yang jauh lebih dahsyat. Ini tentang ritual
inspeksi mendadak terhadap pasar-pasar tradisional. Operasi pasar akan ramai
ditiap momen kenaikan harga BBM. Alasannya sederhana, jangan sampai terdapat
praktek penipuan dan monopoli harga serta penimbunan bensin-solar. Dalam
kondisi ekonomi yang tak menentu akibat inflasi yang cenderung naik maka
penertiban harga merupakan langkah yang sangat rasional. Tetapi saya justru
merasakan ada keganjilan yang luar biasa hebat. Lokasinya berada pada
inkonsistensi logika pasar bebas (kapitalisme) dan watak pengecut Negara. Pertama,
jika memang harga minyak dunia dibentuk oleh hukum pasar dan si beye mengamini
itu, maka atas alasan apakah inspeksi pasar dijalankan? Meyakini fluktuasi
harga minyak dunia juga berarti meyakini efek-efek yang akan ditularkannya. Beginilah
semestinya ekonomi pasar berjalan. Sehingga pasang surut harga adalah niscaya
alias takdir dari doktrin kapitalisme.
Lantas mengapa
inspeksi pasar tetap dilakukan? Jawaban dari pertanyaan tersebut terlihat
begitu terang dan jelas jika kita mengamati sikap pengecut Negara yang saya
sebutkan tadi. Negara borjuis adalah tatanan sempurna, koheren, dan adaptasi
bagi eksistensi kapitalisme. Pada konteks ini, Negara hanya berakhir sebagai
hamba sahaya bagi kebrlangsungan akumulasi capital bagi kelas borjuasi. Tidak percaya?
Pernah tidak melihat Negara borjuis melakukan inspeksi di NYMEX (tempat
transaksi dan sumber penentuan harga minyak dunia)? Pernah tidak pemerintah
merazia praktek spekulasi di pasar-pasar saham dimana korporasi migas raksasa
terlibat penuh didalamnya? Bukankah finansialisasi adalah sebentuk judi
berbentuk kasino? Negara tidak akan pernah melakukannya. Menempuh langkah ini
sama saja tindakan makar atau mengganggu tidur nyaman para kapitalis. Perekonomian
didunia dibangun oleh jaringan-jaringan capital beserta ekspansinya ke berbagai
Negara dengan poros hukum pasar bebas. Pemerintah seharusnya berani secara
lantang menyuarakan perlawanan monopoli dan control harga oleh mereka. Atau seharusnya
bisa seperti sekarang, sekonyong-konyong menyerbu pasar-pasar tradisional. Bukankah
bergerak langsung pada sumber primernya lebih efektif? Sekali lagi ini mustahil
terjadi dalam kerangka Negara borjuis. Kita telah lama menelan kebohongan dan
hidup dalam halusinasi. Inspeksi pasar tradisional dalam momen kenaikan harga
BBM hanyalah ilusi murahan dari pemerintah atas nama stabilisasi ekonomi. Selama
kapitalisme berkuasa maka tak pernah ada garansi atas stabilitas harga minyak
dunia. Dengan demikian, tujuan sesungguhnya dari kenaikan harga BBM ialah
pencabutan sistematis subsidi rakyat. Keberadaan dan peran subsidi sendiri
merupakan konfrontasi terbuka atas mekanisme pasar! Beginilah cara mereka
bekerja. Beginilah neoliberalisme beroperasi. Aahh,rasa-rasanya si Marx itu
begitu menjengkelkan karena sekali lagi tesisnya kembali terbukti relevan :)
Kemunafikan rutin “kelas
menengah”
Sudah bukan rahasia
lagi kalau kelas menengah terkenal oportunis dan pandai berubah layaknya bunglon.
Mereka adalah sosok-sosok yang mengaku kreatif namun hoby mencibir jika ada
gagasan dan arah perubahan sosial yang lebih radikal. Disamping itu, ada tipe
berbeda yang tampak sangat “naïf”. Mereka terbiasa secara cekatan memvonis
protes sebagai bentuk lain dari kebodohan. Tentang pernyataan sembrono yang
muncrat di fesbuk dan jejaring sosial lainnya bahwa kritisisme itu terlalu
dekat dengan egoisme dalam kadar subjektifitas paling pekat.. dahulu saya
berupaya lumayan keras untuk mengcounter pernyataan model begini namun sekarang
"aneh"nya saya mampu lebih tenang. Termasuk pada sejumlah kesimpulan
sembrono yang turut mewarnai aksi protes melawankenaikan harga BBM seminggu
terakhir ini.
Saya sendiri berusaha
sekuat tenaga untuk menghormati perbedaan pendapat meski terdengar perih
bagi
kuping saya. Namun pada titik tertentu, batas toleransi wajar untuk
luluh. Saya
kurang yakin dengan labelisasi bahwa orang-orang ini adalah kelas
menengah karena
anehnya cara berpikir dan logika yang dibangun justru berada pada level
tidak menengah sama sekali! Apa yang anda harapkan dari reaksi rakyat
yang
marah karena ditindas dan dibohongi? Apa reaksi yang anda harapkan pada
pemerintah dan parlemen yang bebal dan despotic? Apa reaksi yang anda
harapkan
dari penguasa bermandikan kemewahan sementara rakyatnya terus terpojok
karena
melarat dan sakit? Apa hasil yang anda harapkan dengan status fesbuk dan
twitter yang berisi cemoohan tentang kenaikan BBM?
Mungkin saja saya sendiri yang terlalu emosional. Tapi setidaknya saya tahu bahwa kemerdekaan dari
belanda dan jepang itu tidak lahir dari acara seminar, dialog, surat kecaman,
audiensi dan aksi damai. Atau ketika pemerintahan soeharto yang militeristik
itu tidak kolaps karena karena negosiasi. Radikalisasi yang sedang berhembus
kuat sudah pasti akan diterjang oleh status quo. Dan ini adalah hal yang
alamiah dalam semua teori politik. Tapi kelas menegah ini, orang-orang ini
terus saja mengoceh tentang demostrasi yang terlampau keras, tidak santun, dan
merugikan masyarakat. semua orang jelas mengeluh ketika soeharto diprotes
diberbagai provinsi karena macet dan fenomena kerusuhan. Tapi apa yang terjadi
setelahnya? Mereka justru memuji heroisme dan peran sentral mahasiswa atau
kelompok gerakan lainnya. Bahwa karir, jabatan, dan kekayaan yang mereka
banggakan ternyata buah dari kekacauan dan instabilitas yang sekarang
mereka cibir tiap hari! Mereka yang gemar melecehkan metode kiri itu munafik. Pada
prinsipnya mereka juga menyepakati model-model sabotase dan kekerasan. Apakah
kita lupa revolusi borjuasi di perancis yang terkenal itu? Ketika mereka
menyerang penjara bastille dan membungkan kekuasaan raja louise lalu berganti
rezim liberal borjuis?
Aahh,sudahlah mereka
ini memang tidak menengah…