Selasa, 17 Juli 2012

Analisis Permasalahan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia beserta Pemberian Solusi dari Sudut Pandang Hukum dan Sosial



Minyak dan gas bumi merupakan sektor penting suatu negara, terkait dengan adanya kebutuhan akan energi dan kemajuan perekonomian bangsa. Berangkat dari semangat konstitusi kita pada pasal 33 UUD 1945, bahwa cabang produksi vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Undang-Undang no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi perubahan atas Undang-Undang nomor 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara telah membawa banyak perubahan berarti sejak tahun 2001 baik positif maupun negatif. Digantinya UU Migas yang lama dengan yang baru karena UU yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman termasuk perkembangan teknologi. Seiring dengan perkembangan waktu, permintaan masyarakat akan energi semakin meningkat sedangkan Pertamina sendiri kewalahan dalam memenuhi karena kurangnya staf ahli, teknologi serta dana, maka persaingan pun tak lagi dimonopoli oleh Pertamina. Persaingan dibuka untuk umum.
Perubahan yang paling besar dampaknya adalah perubahan status Pertamina yang dulunya merupakan “penguasa tunggal” pengelola minyak dan gas bumi (Badan Usaha Milik Negara) menjadi Perusahaan perseroan, yang menurut definisi UU no 19 tahun 2003 tentang BUMN, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Jadi Pertamina tidak lagi mengatur pengelolaan, distribusi, pemurnian, eksploitasi, dll. Pertamina menjadi salah satu pihak atau perusahaan yang akan mengusahakan pengelolaan energi. Pertamina yang tidak lagi memonopoli pengelolaan migas digantikan oleh BP Migas untuk sektor hulu dan BPH Migas untuk sektor hilir. BP dan BPH migas ini sesuai dengan UU 22/2001 pasal 4 ayat 3 dibentuk oleh Pemerintah dan pertanggungjawabannya juga langsung ke Pemerintah.
Namun UU Migas yang baru, selain memberikan solusi, ternyata juga menimbulkan permasalahan tersendiri. Sisi positifnya adalah, sejak tahun 2001, dari segi pelayanan, produksi, dan produk, Pertamina sudah jauh lebih baik dari yang dulu. Dapat kita lihat sendiri dengan adanya Pertamina Pasti Pas, kemudian SPBU yang semakin bersih dan rapi, dari segi pelayanan, kemudian BBM yang tidak lagi ber-timbal, dst. Hal ini merupakan dampak adanya persaingan terbuka yang mendorong masing-masing pengusaha untuk memperbaiki mutunya. Sisi positif lainnya adalah, konsumen semakin bebas menentukan bahan bakar atau gas yang ingin mereka gunakan. Tergantung kebutuhan.
Permasalahan pada UU ini adalah kembali lagi kepada persaingan usaha. Karena bebasnya persaingan, perusahaan asing pun bisa berinvestasi untuk mengelola energi bangsa ini. Muncul ketakutan bahwa perusahaan-perusahaan asing itu akan menguasai pasar, atau melakukan eksploitasi besar-besaran. Pada pasal 22 ayat (1) pun dijelaskan bahwa Badan Usaha Tetap paling banyak menyerahkan 25% untuk kebutuhan dalam negeri. Jadi jelas bahwa pengusaha-pengusaha asing itu akan mengeruk keuntungan yang sangat banyak dari “bisnis” ini. Kita sungguh tidak ingin kasus seperti Freeport itu terulang lagi di negara ini.
Juga menurut Hanan Nugroho dalam presentasinya di Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Pasca Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta, 8-9 Desember 2004, mengatakan bahwa peraturan-peraturan turunan berupa PP dibentuk terlalu lama. Sehingga dalam masa transisi bentuk Pertamina, terjadi kekacauan sistem, kesimpang-siuran wewenang dan tanggung jawab. Serta berlarutnya masalah transfer pembiayaan organisasi dari sebelumnya Pertamina ke Pemerintah.
Kemudian terkait dengan hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh pihak asing sesuai dengan UU Agraria adalah hanya hak pakai dan hak sekunder lainnya setelah mendapat izin pemerintah. Waktu yang diberikan oleh UU no 22 tahun 2001, itu maksimal 50 tahun. Jika dibandingkan dengan waktu yang ditetapkan oleh UU Agraria, 50 tahun termasuk waktu yang cukup lama.
Pasal 22 ayat 1, pasal 12 ayat 3, dan pasal 28 ayat 2 dan 3 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi membuktikan bahwa UU tersebut secara keseluruhan harus dikaji kembali dan di revisi setelah 10 tahun berlaku dengan aroma liberalisme yang kuat.
Jadi walaupun pengelolaan minyak dan gas bumi tidak sepenuhnya dikontrol oleh pemerintah, pemerintah haruslah tetap melakukan pengawasan dan kontrol pada Kegiatan Usaha Hulu maupun Kegiatan Usaha Hilir. Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh BP dan BPH Migas haruslah berjalan sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing. Liberalisasi ekonomi yang sedang Indonesia masuki saat ini sebaiknya tidak dikontrol sepenuhnya oleh pasar. Konstitusi sendiri mengatur bahwa sektor usaha yang terkait dengan kepentingan masyarakat luas haruslah digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat sudah seharusnya menikmati kekayaan alam yang Indonesia miliki dengan sebaik-baiknya.
Tenaga kerja terdidik dan terlatih juga harus dicetak oleh Negara ini. Sungguh sia-sia sekali kekayaan alam yang melimpah yang kita punya tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal, bahkan dikuasai bertahun-tahun oleh pihak asing. Juga terkait Kontrak Kerja Sama yang telah diatur oleh Undang-Undang harus dilakukan pengawasan ketat, agar perjanjian yang disepakati tidak mengambil hak rakyat, sesuai dengan konstitusi. Regulasi yang jelas dan kuat sudah seharusnya dibuat dengan segera terkait hal ini. Hanya bermodalkan Peraturan Pemerintah tidaklah cukup untuk memperkuat law enforcementnya. RUU Migas yang sudah dimasukkan dalam Prolegnas haruslah dikawal oleh kita semua agar tercapai kesejahteraan masyarakat Indonesia.

MAKALAH LAW & ECONOMIC


“Dugaan Kasus Penggelapan Pajak Perusahaan Bakrie Group”
ANALISIS EKONOMI ATAS HUKUM | MAGISTER ILMU HUKUM | UNIVERSITAS TRISAKTI


BAB I
       I.            PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKAN
Pajak merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Oleh karena itu peringatan presiden jika ada orang yang tidak membayar pajak harus ditindak adalah wajar.
Pernyataan Presiden soal pengemplang pajak, tidak diarahkan ke pihak manapun. Namun sudah jelas diarahkan bagi pihak yang selama ini lalai membayar pajak sebagai wujud partisipasi pembangunan. Saya berharap (harapan kita semua tentunya) para pengemplang pajak harus membayar pajak segera, sebelum ada tindakan dari pemerintah. Memang posisi pemerintah serba salah, memberi peringatan bagi pihak yang belum bayar pajak disalahkan, bahkan dipolitisir. Jika tidak diingatkan, pemerintah dianggap diam saja dan sebagainya. Masyarakat harus bisa memahami Pajak adalah salah satu pilar penting perekonomian. Tanpa pajak, negara tidak mampu membiayai pembangunan. Tanpa pajak, pemerintah mustahil bisa menggaji pegawai dan menyejahterakan rakyat. Karena itu, pemerintah harus sangat serius menindak pengemplang pajak. Sayangnya, premis itu jauh lebih gampang diucapkan daripada dilakukan. Faktanya pemerintah kerap gagal menghadapi para pengemplang dan penggelap pajak.

Munculnya kembali kasus dugaan pengemplangan pajak kelompok usaha Bakrie menambah bukti empiris betapa sulit bertindak tegas terhadap wajib pajak ukuran besar. Yang cenderung terjadi adalah pemerintah lebih banyak bersikap longgar terhadap mereka.
Tersebutlah tiga perusahaan Grup Bakrie yang dilaporkan telah lalai membayar pajak sebesar Rp2,1 triliun. Perusahaan itu adalah PT Bumi Resource, PT Kaltim Prima Coal (KPC), dan PT Arutmin Indonesia. Bumi menunggak pajak sebesar Rp376 miliar, KPC sebesar Rp1,5 triliun, dan Arutmin senilai Rp300 miliar.

Kasus itu sebenarnya telah muncul tahun lalu terkait dengan surat pemberitahuan tahunan (SPT) 2007. Namun, pemerintah tidak tegas menyelesaikan kasus itu sehingga kini muncul kembali dengan spectrum persoalan yang lebih kompleks. Lebih kompleks karena urusan pajak

itu dikait-kaitkan dengan kasus Bank Century, yaitu ditengarai memengaruhi sikap Golkar yang kini dipimpin Aburizal Bakrie. Setidaknya kasus Bank Century di satu pihak, dan kasus pengemplangan pajak itu di lain pihak, telah memunculkan ke permukaan penilaian bahwa ternyata ada perseteruan yang keras antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie. Sebuah perseteruan yang disebut-sebut menyulut adanya kehendak kuat untuk menggusur Sri Mulyani dari kabinet.

Bahwa pajak merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan, semua prasarana umum kebanyakan dibangun dari pajak dari masyarakat. Oleh karena itu, duduk perkara harus dikembalikan. Pengemplang pajak adalah urusan hukum. Status mereka adalah penjahat. Pihak berwajib semestinya bertindak tanpa kompromi. Usutlah habis-habisan dan bila terbukti, hajarlah sangat keras.[1]

Dalam kasus dugaan pengemplangan pajak Grup Bakrie, pemerintah seharusnya lebih berani. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah menolak gugatan praperadilan PT Kaltim Prima Coal yang memerkarakan Ditjen Pajak. Itu seharusnya menjadi momentum pemerintah untuk memulai sikap lebih tegas, lebih keras, dan lebih adil. Jangan sampai pemerintah dinilai diskriminatif terhadap wajib pajak. Wajib pajak skala kecil dan perorangan dikejar-kejar, sementara wajib pajak skala besar yang nakal dibiarkan, bahkan dimanjakan.
Sudah tepat langkah Ditjen Pajak untuk memidanakan Grup Bakrie dalam kasus dugaan pengemplangan pajak itu. Tunggakan pajak sebesar Rp2,1 triliun itu adalah jumlah yang sangat bernilai bagi rakyat. Sebuah jumlah bisa membeli 4,2 miliar kilogram beras.
Karena itu, jangan sampai kasus ini dipetieskan seperti tahun lalu.

Sejak terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1990 an, masalah corporate governance mendapatkan perhatian yang cukup besar dari masyarakat dan pemerintah. Hal ini karena adanya anggapan bahwa masalah-masalah yang dihadapi oleh perusahaan yang ada di Indonesia, yang secara lansung juga menyebabkan terjadinya krisis moneter tersebut, adalah karena kurang diterapkannya prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) didalam banyak perusahaan di Indonesia.
           
Selain itu tuntutan atas adanya penerapan good governance itu juga telah merupakan salah satu isu untuk menarik minat masuknya modal asing kedalam pasar modal suatu negara. Sehingga makin baik penerapan prinsip-prinsip good governance juga merupakan indikasi adanya perlakuan yang baik terhadap pemodal. Salah satu tema utama good governance adalah masalah keterbukaan.  Good corporate governance merupakan konsep yang menekankan pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar, akurat, dan tepat waktu serta kewajiban perusahaan untuk mengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparan mengenai semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder. Prinsip corporate governance diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan, termasuk investor
           
Peristiwa jatuhnya harga saham Perusahaan dibawah naungan Bakri Group, telah membuka mata para investor pasar modal dan memberikan pelajaran berharga, bahwa  penerapan Etika Bisnis sangatlah penting untuk menghindari terjadinya skandal dan berbagai bentuk pelanggaran pada perusahaan. Kejadian tersebut tidak saja berdampak pada perusahaan, melainkan turut menimbulkan ketidak percayaan publik terhadap para profesional yang turut menyusun laporan keuangan yang menyesatkan publik tersebut. Sekali pencipta pasar seperti PT. Bumi Resouces Tbk. Kehilangan kredibilitasnya dimata pembeli dan penjual potensialnya, maka pembeli dan penjual tersebut akan secara cepat memindahkan bisnis mereka kepihak lain yang bisa diandalkan.  Menurut Direktorat Pajak, tiga perusahaan milik grup Bakrie diduga menggelapkan pajak sebesar Rp 2,1 triliun. Rinciannya, PT Bumi Resources sebesar Rp 376 miliar, PT Kaltim Prima Coal sebesar Rp 1,5 triliun, dan PT Arutmin Indonesia sebesar US$ 39 juta[2].

Sebagai sebuah perusahaan Publik, ketiga perusahaan tersebut haruslah menjalankan prinsip-prinsip good corporate governance  agar tudingan-tudingan miring seperti adanya dugaan penggelapan pajak bisa teratasi yakni dengan melakukan tranparasi dan keterbukaan

informasi. Bagi perusahaan yang telah berstatus sebagai perusahaan yang akan dan telah go-public di pasar modal, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan perusahaan merupakan keharusan mutlak yang telah diatur dalam berbagai regulasi, untuk perlindungan bagi investor di pasar modal, di samping untuk menunjang keberlangsungan (sustainability) perusahan itu sendiri.

Kejahatan penggelapan pajak sangat merugikan masyarakat karena pembiayaan APBN Indonesia sangat bergantung pada pemasukan dari sektor pajak. pembiayaan APBN yang menentukan penghidupan rakyat Indonesia 80 persennya diperoleh dari pemasukan pajak, bukan dari minyak atau hasil hutan, sehingga kejahatan penggelapan atau manipulasi pajak sangat merugikan kepentingan rakyat luas.  Setiap pelaku penggelapan pajak yang dijatuhi putusan penjara tidak serta-merta bebas dari kewajibannya membayar pajak. Dikatakan bahwa setelah putusan dijatuhkan, Ditjen Pajak akan mengeluarkan surat penagihan. Jika kewajiban tidak dipenuhi pelaku, akan dikeluarkan surat penagihan paksa. Upaya penegakan hukum yang adil dan beribawa mutlak diperlukan dalam menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak ini, karena nantinya public akan mengetahui bagaimana kisah yang sebenarnya dari kasus ini dan public juga mengetahui bagaimana proses penegakan hukum dibidang pasar modal itu sendiri. Penyelesaian kasus ini harus dijauhkan dari ketegangan politik yang ada. Mengutip kata teori dari Lawrence M. freidman, ada tiga faktor penegakan hukum yakni:
- Subtansi hukum terkait dan bersangkut paut dengan peraturan per undang-undangan.
- Struktur hukum terkait dengan bersangkut-paut dengan aparat penegak hukum
-  Budaya hukum terkait dengan kesadaran hukum masyarakat[3].

B.     ALASAN MEMILIH TOPIK BAHASAN

Dalam kasus dugaan penggelapan pajak seperti diatas, menarik untuk terus dikaji baik dalam ruang diskusi perkuliahan maupun non perkuliahan. Hal lain  yang tidak lebih penting adalah bagaiman menciptakan kesadaran hokum bagi masyarakat sebagai komponen penting bagi tegaknya supremasi hokum Indonesia, terutama dalam mencapai keadilan secara ekonomi

dalam mewujudkan pembangunan ekonomi yang mensejahterakan. Hal tersebut diatas yang melatar belakangi alas an penngangkatan isu penggelapan pajak oleh bakrie group dalam penulisan makalah “Analisa Ekonomi Atas Hukum” sebagai syarat mengikuti ujian akhir semester program magister ilmu hokum Universitas Trisakti. Masalah pokok lain yang harus diketahui bersama adalah bagaimana penegakan hukum terhadap masalah penggelapan Pajak yang terjadi di Perusahaan Bakri Group? Atas alasan seperti diatas, topic ini menjadi pilihan saya untuk di kaji lebih mendalam.







BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN MASALAH DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK OLEH PERUSAHAAN BAKRIE GROUP

A.    Sekilas Tentang Penggelapan Pajak
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan, maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.

Mengingat pajak adalah beban –yang akan mengurangi laba bersih perusahaan- maka perusahaan akan berupaya semaksimal mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari. Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus penggelapan pajak :
a.       Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan sebesar 5 milyar misalnya.
b.      Menggelembungkan biaya perusahaan dengan membebankan biaya fiktif;
c.       Transaksi export fiktif,
d.      Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan[4]


Jika  dianalogikan pajak dengan karcis tol, Jika melewati jalan tol namun tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Sedangkan jika kita menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa, maka itulah penghindaran pajak. Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara tidak lewat jalan tol adalah cara yang legal.

Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah –loophole- yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Selain menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain :
a.       Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak terendah
b.      Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan,
c.       Memilih berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah.
d.      Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar[5]
Selain wajib membayar pajak atas penghasilan yang diperoleh, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk memotong pajak yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lainnya, baik kepada karyawan maupun kepada pihak ketiga. Atas pembayaran gaji dan tunjangan kepada karyawan perusahaan wajib memotong dan menyetor PPh 21 yang terutang. Pembahasan mengenai PPh 21 akan dilanjutkan pada kesempatan lain.

Sedangkan atas pembayaran kepada pihak ketiga, atas imbalan jasa/ kegiatan, perusahaan juga memiliki kewajiban memotong PPh 23 yang terutang dan menyetorkannya ke kas negara. Dalam kondisi yang ideal, PPh pasal 23 yang harus dipotong dari pembayaran kepada pihak ke-3

(vendor) tidaklah menjadi pengurang penghasilan (biaya) bagi perusahaan, karena perusahaan hanya mengurangi jumlah uang yang akan dibayarkan kepada vendor sebesar tarif PPh 23 yang berlaku dan menyetorkannya ke kas negara.

Sayangnya, dunia –apalagi dunia pajak- tidak selalu indah. Ada saat dimana perusahaan harus melakukan transaksi dengan vendor yang lebih superior dan tidak bersedia dipotong pajak atas fee yang akan diterimanya. Ada saat dimana perusahaan dalam posisi sangat membutuhkan jasa ‘pihak ketiga tersebut’ karena otoritas yang dimilikinya. Dalam kondisi seperti ini, perusahaan lagi-lagi akan memperhitungkan alternatif mana yang harus dipilih agar pajak tidak semakin menjadi beban bagi perusahaan. Kadang perusahaan terpaksa memilih untuk melakukan gross up atas fee yang akan dibayarkan kepada vendor / pihak ketiga yang jasanya sangat dibutuhkan perusahaan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adakalanya perusahaan memilih untuk menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban pihak lain, meskipun beban pajak tersebut pada akhirnya menjadi komponen non deductable item.

Salah satu tujuan sebuah perusahaan didirikan adalah untuk tujuan ekonomi. salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah perusahaan secara ekonomi adalah pencapaian laba bersih setelah pajak yang tinggi.  Laba bersih yang tinggi tentu diawali dengan pencapaian target penjualan yang tinggi, kemudian diikuti dengan pengeluaran biaya-biaya yang efisien, dan pembayaran pajak yang optimal, sehingga akan dicapai laba bersih setelah pajak yang maksimal. Ketika penjualan mencapai target, namun biaya yang dikeluarkan jauh lebih tinggi, maka secara ekonomi hal tsb hanya akan menjadi sebuah pencapaian yang “sia-sia”.  Demikian pula ketika laba bersih –secara komersial- sudah mencapai angka yang optimal, karena didukung dengan pencapaian target penjualan yang maksimal dan pengeluaran yang minimal, bisa jadi akan menjadi sia-sia ketika ternyata laba habis tergerus beban pajak yang tidak seharusnya. Misalnya karena banyaknya biaya yang merupakan kriteria non deductable expenses.






B.     DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK OLEH PERUSAHAAN BAKRIE GROUP
Ada ungkapan big is beautiful. Tapi sepertinya ungkapan itu tidak seluruhnya benar. Hal ini seperti yang dialami PT Bumi Resources Tbk. Salah satu produsen tambang batu bara terbesar di Indonesia ini sedang pusing lantaran dituding menggelapkan pajak sebesar Rp2,1 triliun. LSM Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai, jumlah itu membengkak menjadi Rp11,426 triliun setelah perusahaan diduga kurang membayar royalti pada periode 2003-2008[6].

Seperti diketahui, dugaan penggelapan pajak PT Bumi Resources Tbk, termasuk anak usahanya PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar Rp2,1 triliun pada tahun 2007 itu tengah diproses oleh Polda Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Bedanya, untuk dugaan penggelapan pajak KPC tengah disidik Polda Kaltim. Lalu Polda Kalsel menyelidiki dugaan penggelapan pajak Arutmin. 

Koordinator Monitoring dan Analisa Anggaran ICW, Firdaus Ilyas mengatakan pembengkakan utang perusahaan tambang milik Aburizal Bakrie itu didapat setelah ICW menelaah data-data primer seperti laporan keuangan perusahaan, prospektus, laporan pada pemegang saham, data produksi serta penjualan batu bara perseroan. Data itu juga kami dapat dari hasil audit BPK. Lalu, setelah sejumlah dokumen tersebut diteliti, ditemukan dua kenakalan yang dilakukan perseroan. Pertama, ditemukan kekurangan setoran Dana Hasil Penjualan Batubara (DHPB) pada 2003-2008, mencapai AS$143,189 juta. “Tetapi, angka itu belum disesuaikan dengan laporan keuangan persero 2008 yaitu AS$608,178 juta.[7]

Kedua, emiten berkode saham BUMI itu kurang membayar royalti periode 2003-2008 yang jumlahnya mencapai AS$477,299 juta. Alhasil, total kewajiban Bumi pada negara mencapai AS$1,228 miliar. Apabila menggunakan kurs Rp9.300, maka kewajiban BUMI mencapai Rp11,426 triliun. Atas dasar itu, ICW mendesak Departemen Keuangan memanggil dan memeriksa kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan BUMI.

Selain itu, Departemen Keuangan juga harus memanggil Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen ESDM. Soalnya, dari Direktur Jenderal ini,  bisa diketahui berbagai hal yang mempengaruhi penerimaan BUMI seperti harga batu bara.
            
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sendiri tidak tinggal diam. Institusi yang bernaung di bawah Departemen Keuangan ini terus melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tunggakan pajak tiga perusahaan Grup Bakrie tersebut. Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo menegaskan, jika ingin penyidikan dihentikan maka Grup Bakrie harus membayar kewajiban lima kali lipat dari total tunggakan. Jadi, harus bayar denda 400 persen. Kalau ditambah pokok tunggakan, jadi 500 persen. Selain harus melunasi kewajibannya, ada prosedur lain yang harus ditempuh Grup Bakrie jika ingin penyidikan kasus ini dihentikan. “Mereka harus mengajukan permohonan ke Menkeu, kemudian dari Menkeu ke Kejagung untuk minta penghentian penyidikan”. Langkah ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 130/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Untuk Kepentingan Penerimaan Negara.
           
PMK yang berlaku sejak 18 Agustus 2009 itu menyatakan, proses penyidikan kasus tindak pidana bidang perpajakan dapat dihentikan melalui izin dari Menkeu, setelah wajib pajak (WP) melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayarkan atau yang seharusnya tidak dikembalikan serta setelah membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan.
       
Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat menghentikan penyidikan kasus pidana bidang perpajakan maksimal selama enam bulan sejak tanggal surat permintaan yang dibuat Menkeu. Sebelumnya, Dirjen Pajak diminta Menkeu meneliti dan memberi pendapat sebagai bahan pertimbangan. Surat yang diajukan WP kepada Menkeu harus dilengkapi pernyataan berisi pengakuan bersalah dan kesanggupan pelunasan pembayaran pajak dan sanksi.



Ditjen Pajak yang mengetahui kasus ini mengatakan kemungkinan penambahan nilai kerugian negara terjadi karena dalam proses penyidikan yang dilaksanakan, penyidik menemukan komponen biaya pada  PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang tidak sesuai dengan seharusnya, sehingga menyebabkan besaran pajak yang dibayarkan menjadi kecil. Itu salah satunya dari biaya bunga pinjaman. Kami sedang menelusuri,  nilainya bisa mencapai ratusan miliar rupiah.    Komponen biaya merupakan salah satu komponen yang bisa dikurangkan dari penghasilan bruto dalam rangka penentuan penghasilan kena pajak (PKP). Namun, berdasarkan ketentuan perpajakan, tidak semua komponen biaya bisa dikurangkan dari penghasilan bruto.

Saat meminta penjelasan lebih lanjut mengenai komponen biaya apa saja yang dimaksud, dia enggan menjelaskannya. Pelaksana tugas (Plt) Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane ketika dikonfirmasi enggan berkomentar banyak soal perkembangan penyidikan ketiga kasus tersebut.  Namun, menurut dia, Ditjen Pajak terus melaksanakan proses penyidikan meski terjadi resistensi dari pihak saksi maupun tersangka. “Kami akan jalan terus,” katanya.
          
Direktorat Jenderal Pajak saat ini mengusut kasus dugaan pidana pajak oleh tiga perusahaan Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), Bumi, dan PT Arutmin Indonesia. Ketiganya diduga menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan tahun pajak 2007 secara tidak benar. Untuk KPC dan Bumi, Ditjen Pajak telah melakukan penyidikan sementara untuk Arutmin masih dalam proses pemeriksaan bukti permulaan. Terkait pelaksanaan penyidikan tersebut,   mengungkapkan tim penyidik Ditjen Pajak mengalami kesulitan memanggil saksi. Tidak tahu kenapa, tapi memang informasi yang kami dapat menyebutkan di dalam mereka (Grup Bakrie) sudah ada tekanan.” Menurut dia, pemanggilan terhadap tersangka juga mengalami hambatan karena yang bersangkutan tidak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan penyidik pajak dengan alasan sedang sakit.  “Kami sudah panggil sekali, nanti tak lama lagi akan kami panggil kedua kali. Kalau juga tak dipenuhi akan kami panggil paksa dibantu Kepolisian,” tegasnya.



Dengan adanya masalah ini, kita bisa melihat bahwa sebagai perusahaan yang telah Go Publik masih adanya indikasi bahwa perusahaan-perusahaan tersebut masih belum menerapkan prinsip-prinsip good corporat governance, walaupun masih sebatas dugaan tetapi asumsi-asumsi negative telah mengarah kesana. Untuk bisa memastikannya lebih jauh maka harus dilakukan penyidikan lebih lanjut, tetapi untuk dampak sementara akibat adanya dugaan ini, investor sudah mulai ragu untuk menanamkan modalnya pada perusahaan-perusahaan tersebut.

Didalam konsep good governance setiap informasi yang hendakkan disampaikan harus terbuka dan akurat, jauh dari manipulasi dan hal-hal yang menyesatkan, sebab dengan diterapkannya Prinsip corporate governance diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan, termasuk investor.



BAB III
ANALISA TEORITIK DAN KAJIAN AKDEMIS

       I.            TEORI EFISIENSI DALAM KASUS PENGGELAPAN PAJAK PERUSAHAAN BAKRIE GROUP
Dalam kasus dugaan penggelapan pajak oleh perusahaan Bakrie Group, perusahaan mengemukakan bahwa dalam menghadapi masa sulit diperlukan efisiensi. Berkaitan dengan hal tersebut, efisiensi yang paling cepat untuk dapat dilakukan adalah dengan mengurangi pengeluaran, seperti memanipulasi laporan pajak, mengurangi tenaga kerja, dan lain-lain. Alasan efisiensi tersebut tak lain adalah konsekuensi dari globalisasi yang memadatkan jarak dan waktu memang menuntut kompetisi ekonomi global menjadi kian sengit dengan tenggat waktu yang amat cepat. Dengan demikian, sebuah transaksi bisnis tak lagi memakan waktu yang lama seperti dahulu kala. Kini, untuk melakukan transaksi bisnis antar benua bahkan cukup memakan waktu dalam hitungan detik saja. Hal tersebut tentu menuntut perusahaan pada situasi yang amat kompetitif yang menimbulkan konsekuensi ketat bahwa kegagalan berefisiensi akan membuat perusahaan ketinggalan dan kehilangan kesempatan.

Efisiensi menjadi kata kunci bagi perusahaan untuk mengejar keuntungan yang berpacu dalam persaingan global tersebut. Namun menurut Robert Cooter, sesungguhnya efisiensi bukan sekadar dipacu oleh persaingan global terlebih memang sejak awalnya sudah menjadi sifat pengusaha untuk melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha
Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa ekonomi menghasilkan sebuah teori tingkah laku/perilaku untuk memprediksi bagaimana respon manusia terhadap perubahan-perubahan  dalam hukum. Teori ini melampaui intuisi, hanya sebagai ilmu sains yang melampaui akal biasa (common sense). Ilmu Ekonomi memprediksi efek kebijakan terhadap efisiensi. Efisiensi selalu berhubungan dengan pembuatan kebijakan, karena akan selalu lebih baik mencapai semua kebijakan-kebijakan yang ada dengan biaya yang rendah daripada dengan biaya yang tinggi. Pejabat umum tidak pernah menyokong uang yang siasia/pemborosan.


Selain efisiensi, Ilmu ekonomi yang juga memprediksi efek dari kebijakan-kebijakan dalam nilai penting lainnya adalah distribusi. Diantara penerapan ilmu ekonomi itu terhadap kebijakan publik adalah penggunaannya untuk memprediksi siapa sebenarnya yang dibebankan berbagai macam pajak. Lebih daripada penelitian ilmu-ilmu sosial, ahli ekonomi memahami bagaimana hukum memberi dampak terhadap distribusi pendapatan dan kesejahteraan disegala lapisan sosial. Sementara ahli ekonomi seringkali merekomendasikan perubahan untuk peningkatan efisiensi, mereka mencoba menghindari sengketa tentang distribusi, biasanya memberikan rekomendasi tentang distribusi kepada pengambil kebijakan (policy makers) atau pemilih (voters).

    II.            UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK

Pajak adalah salah satu tiang yang sangat penting bagi perekonomian di sebuah Negara. Tanpa pajak, Negara tidak mampu membiayai pembangunan. Tanpa pajak pula, pemerintah mustahil bisa menggaji para pegawai dan mensejahterakan rakyatnya. Karena itu, pemerintah harus sangat serius dalam menindak para pengemplang pajak. Tapi, apa buktinya, premis itu jauh lebih gampang diucapkan dari pada dilakukan. Faktanya pemerintah kerap gagal menghadapi para pengemplang dan penggelap pajak.

Munculnya kembali kasus dugaan pengemplangan pajak yang dilakukan oleh kelompok usaha Bakrie, menambah bukti yang kuat betapa sulitnya bertindak tegas terhadap wajib pajak (WP) ukuran besar. Yang cenderung terjadi adalah pemeerintah lebih banyak bersikap longgar terhadap mereka. Tersebutlah 3 perusahaan group Bakrie yang dilaporkan telah lalai membayar pajak sebesar Rp 2,1 Triliun. Perusahaan itu adalah PT.Bumi Resource, PT Kaltim Prima Coal (KPC), dan PT Arutmin Indonesia. PT Bumi menunggak pajak sebesar Rp 376 Milyar, KPC sebesar 1,5 Triliun, dan PT Arutmin senilai 300 Milyar.

Kasus tentang itu sebenarnya telah muncul tahun lalu terkait dengan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) 2007. Namun, pemerintah tidak tegas menyelesaikan kasus itu, sehingga kini

muncul kembali dengan persoalan yang lebih kompleks karena urusan pajak itu di kait-kaitkan dengan kasus Bank Century, yang ditenggarai mempengaruhi sikap golkar yang kini dipimpin Aburizal Bakrie. Sudah tepat langkah Ditjen Pajak untuk memidanakan group Bakrie dalam kasus dugaan pengemplangan pajak itu. Tunggakan pajak sebesar 2,1 Triliun itu adalah jumlah yang sangat bernilai bagi rakyat.(Media Indonesia) Anak perusahaan group Bakrie itu terancam membayar denda tunggakan pajak sebesar 4 kali lipat dari nilai pokok tunggakan / diwajibkan membayar sebesar 10,5 Triliun.

Pengemplang pajak biasanya disebut juga dengan korupsi, kejahatan pajak, mengemplang hutang yang ditanggung oleh rakyat. Terkait dengan masih tingginya tunggakan pajak yang dilakukan sejumlah wajib pajak di Indonesia dan penyalahgunaannya maka hal tersebut seharusnya segera dituntaskan karena dinilai merugikan perekonomian Negara.
Diharapkan pemerintah segera menangani setiap pelanggaran pajak dan diberi sanksi pidana pajak yang tegas.

Hukum merupakan cermin yang memantulkan kepentingan masyaraat. Karena kepentingan masyarakat selalu berubah, maka secara operasional hukum juga dituntut untuk selalu mengubah dirinya. Dewasa ini, dunia hukum di Indonesia sedang dalam masa disintegrated. Disatu satu pihak, tatanan hukum lama yang berasal dari hukum kolonial dan hukum adat, bahkan hukum yang telah dibentuk setelah kemerdekaan banyak yang telah usang. Dan dilain pihak, tatanan alternatif dari hukum baru belum juga terbentuk. Bahkan platform yang jelas belumpun diketahui, ditambah dengan sector pengetahuan ekonomi yang semangatnya digenjot menggebu-gebu, tercipalah distorsi kedalam sektor bisnis dan ekonomi itu sendiri[8].
           
            Konsekuensi logisnya, tidak terlalu mengherankan jika dewasa ini sangat merajalela terjadinya praktek bisnis yang tidak fair. Seperti persaingan curang, monopoli, ologopoli, kartel, pemberian fasilitas dan akumulasi sumber daya ekonomi di tangan satu atau dua konglomerat, bisnis dan perizinan yang dilandasi pada koneksi, suap menyuap dan lobi yang kental, birokrasi dan prosedur yang berbelit-belit dan termasuk juga adanya dugaan skandal penggelapan pajak

yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dibawah naungan Bakri Group. Hal ini menandakan hukum bisnis tidak berperan, baik karena kevakuman, kebobrokan atau ketidak jelasan aturan main, atau karena Law Enforcement nya yang kurang sigap kalaupun tidak dibilang lumpuh total.

Bila terdapat pelanggaran, konsekuensinya akan berhadapan dengan sanksi hukum sesuai dengan jenis dan kualitas pelanggaran. Upaya untuk melakukan penegakan hukum harus berlangsung secara konsisten dengan tetap memperhatikan kepentingan perkembangan Pasar Modal. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal memiliki kewenangan yang sangat besar untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan pengawasan kepada industri pasar modal diharapkan mampu menjalankan fungsinya sesuai dengan yang diamanatkan UU tersebut.

Disamping itu, untuk menjalankan pengawasan secara represif, Bapepam diberi kewenangan melakukan pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang tata cara pemeriksaan di Pasar Modal. Dalam rangka itulah maka sesuai dengan amanah yang digariskan dalam Undang-Undang Pasar Modal, bahwa dalam rangka menyempurnakan pengaturan pasar modal telah dikeluarkan serangkaian peraturan yang memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para pelaku pasar modal.

Dilihat dari format disclosure, yang seharusnya dilarang secara tegas adalah:
a.       keterangan yang salah
b.      keterangan setengah benar
c.       sama sekali diam terhadap fakta material[9]

Sedangkan didalam Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 pada umumnya adalah pemalsuan dan penipuan, pernyataan tidak benar atau menyembunyikan fakta, manipulasi pasar, insider trading, dan larangan yang bersangkutan dengan Reksa dana.


Mengenai tingkat kesalahan yang disyaratkan adalah berupa “kesengajaan”(mengetahui), dan “kelalaian” (kurang hati-hati). Ini berarti sebagai General Law dapat dikatakan bahwa setiap pihak yang terlibat di pasar modal dapat dimintakan pertanggung jawab hukum, apabila padanya terdapat unsur kesalahan.

Dalam hukum pidana kesalahan dapat terwujud kejahatan dan pelanggaran, sedangkan dalam hukum perdata, jika tanggung jawab tersebut berasal dari perbuatan melawan hukum (in casu Pasal 1365 BW) atau malpraktek, maka wujudnya dapat berupa perbuatan dengan unsur kesengajaan (on purpose), atau kurang hati-hati (negligence). Jika perbuatan tersebut bersumber dari suatu perjanjian (vide buku ke-III BW), maka kesalahan tersebut akan berwujud ingkar janji (on default). Disamping itu kesalahan dapat pula dalam bentuk kesalahan moral, sehingga mereka harus tunduk pada masing-masing kode etik profesi, ataupun kesalahan yang ancamannya hanya berupak sanksi administrasi.

Bersalah tidaknya para pelaku di Perusahaan-perusahaan bakri Group juga dapat dikukur dengan kriteria dalam bidang apakah akibat dari kesalahan itu terjadi. Kalau terjadi kekeliruan dalam bidang keuangan, maka akuntan public ikut bertanggung jawab, dan kalau dalam bidang hukum, konsultan hukumnya dan layak diminta tanggung jawab. Tanggung jawab profesi penunjang juga terbatas mengingat mereka pada prinsipnya hanya mempunyai tanggung jawab “berasumsi” atau tanggung jawab “di atas kertas”. Artinya, tanggung jawab mereka hanya beralaskan asumsi bahwa seluruh dokumen yag tersedia adalah benar. Misalnya jika ada diantara dokumen tersebut yang tidak benar isinya atau palsu sehingga analisis mereka menjadi tidak akurat, maka hal tersebut berada diluar tanggung jawab mereka. Pihak yang memalsukan dokumenlah yang lebih bertanggung jawab.

Pihak penjamin emisi juga penyandang tanggung jawab yang berat, mengingat dialah yang sangat jauh terlibat dalam proses emisi saham, dan dia pulalah yang memegang komando dan menentukan policy. Disamping itu, Bapepam, sebagai badan pengawas juga tidak bisa dilepaskan tanggung jawab hukumnya. Dalam ilmu hukum dikenal prinsip siapa yang bersalah harus dihukum. Kalau Bapepam yang besalah, yaitu adanya unsur kesengajaan atau keteledoran,

maka tidak reasonable jika Bapepam dilepaskan dari tanggung jawabnya, sungguhpun ada kewajiban menempatkan kalimat dalam prospectus yang berbunyi Bapepam tidak memberikan pernyataan menyetuju dan seterusnya.

Pada saat ini upaya berkesinambungan dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat agar hukum dapat mengayomi dan menjadi landasan bagi kegiatan masyarakat dan pembangunan. Adanya kepastian hukum merupakan wahana untuk timbulnya kepercayaan kepada pasar. Salah satu syarat agar pasar modal mampu mengembangkan perekonomian Indonesia adalah kejahatan di pasar modal khususnya penggelapan pajak harus dapat ditemukan dan diselesaikan melalui hukum yang berlaku baik itu kebiasaan maupun karena telah diatur dalam aturan di pasar modal.

Walaupun media sedang gencar-gencarnya memberitakan skandal penggelapan dana pajak yang paling besar dalam sejarah yang ada, namun perlawanan dari pihak Bakri Group terhadap hal tersebut tetap ada, yakni upaya PT Kaltim Prima Coal (KPC) untuk menghentikan penyidikan yang dilakukan Ditjen Pajak, harus kandas setelah PN Jakarta Selatan menyatakan permohonan praperadilan KPC tak dapat diterima. Hakim tunggal sidang praperadilan Prasetyo tersebut menyatakan permohonan praperadilan KPC tak masuk obyek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.  
            Seperti diketahui, KPC mengajukan permohonan praperadilan untuk menghentikan penyidikan Ditjen Pajak atas dugaan penggelapan pajak yang dilakukan KPC sebesar Rp1,5 trilyun. Dalam putusannya, hakim menyebutkan Pasal 77 KUHAP telah mengatur tegas bahwa obyek praperadilan terbatas pada sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarga atau pihak lain[10]. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Departemen Keuangan ternyata telah meningkatkan status kasus pajak perusahaan Bakrie menjadi penyidikan. Dugaannya adalah penggelapan pajak. Kalau sudah masuk penyidikan berarti sudah pidana.


Pihaknya belum memutuskan kapan akan mengirimkan berkas perkara ini ke Kepolisian atau Kejaksaan[11].

Dirjen Pajak dan Departemen Keuangan harus segera menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak yang terjadi dalam kurun waktu 2003-2008 oleh PT Bumi Resources Tbk. Jika berlarut-larut justru menimbulkan kecurigaan proses penyelesaiannya telah disusupi oleh mafia hukum.  Selain itu BEI (Bursa Efek Indonesia) harus aktif melakukan penyelidikan dugaan penggelapan pajak, karena ini menyangkut perusahaan publik, yang seharusnya semua  laporan keuangannya terbuka. Kalau benar ada penggelapan pajak,  berarti ada yang disembunyikan dari publik.



BAB IV
KESIMPULAN

Dengan adanya isu dugaan penggelapan dana pajak yang cukup besar pada sebuah perusahaan publik, menjadi sebuah tanda bahwasanya walaupun perusahaan besar tetapi masih lemah dalam menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance terutama dalam hal menyampaikan berita yang akurat serta prinsip responsibility berupa kurang dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku[12]. Hal ini juga merupakan bukti bahwa kurangnya pengawasan dari pihak-pihak yang terkait di pasar modal sehingga menyebabkan kerugian negara yang cukup besar. Walaupun hanya sebatas dugaan, ini sudah menjadi bukti awal bahwa dalam menjalankan bisnis itikad baik dalam menjalankan bisnis tidak ada.

Upaya penegakan hukum yang adil dan beribawa mutlak diperlukan dalam menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak ini, karena nantinya public akan mengetahui bagaimana kisah yang sebenarnya dari kasus ini dan public juga mengetahui bagaimana proses penegakan hukum dibidang pasar modal itu sendiri. Penyelesaian kasus ini harus dijauhkan dari ketegangan politik yang ada.Pasar modal merupakan salah satu sumber pendanaan yang sangat penting dalam era globalisasi ini, dan oleh karena itu harus dipupuk terus. Pasar modal harus menarik bagi emiten maupun investor. Oleh karena itu, pemerintah, pengawas pasar modal, bursa, dan para pialang mempunyai tugas masing-masing yang berkaitan guna menciptakan pasar modal yang sehat, bersih, dan memiliki daya saing yang tinggi. Pasar modal yang demikian akan menjadi sumber pencarian dana yang menarik bagi perusahaan. Pada saat yang bersamaan menyediakan alternatif investasi yang menjanjikan bagi para investor.
Dalam kasus dugaan penggelapan pajak oleh perusahaan Bakrie Group, perusahaan mengemukakan bahwa dalam menghadapi masa sulit diperlukan efisiensi. Berkaitan dengan hal tersebut, efisiensi yang paling cepat untuk dapat dilakukan adalah dengan mengurangi pengeluaran, seperti memanipulasi laporan pajak, mengurangi tenaga kerja, dan lain-lain. Alasan efisiensi tersebut tak lain adalah konsekuensi dari globalisasi yang memadatkan jarak dan waktu memang menuntut kompetisi ekonomi global menjadi kian sengit dengan tenggat waktu yang amat cepat. Dengan demikian, sebuah transaksi bisnis tak lagi memakan waktu yang lama seperti dahulu kala. Kini, untuk melakukan transaksi bisnis antar benua bahkan cukup memakan waktu dalam hitungan detik saja. Hal tersebut tentu menuntut perusahaan pada situasi yang amat kompetitif yang menimbulkan konsekuensi ketat bahwa kegagalan berefisiensi akan membuat perusahaan ketinggalan dan kehilangan kesempatan.

Jadi, dalam kasus diatas, efisiensi menjadi kata kunci bagi perusahaan untuk mengejar keuntungan yang berpacu dalam persaingan global tersebut. Namun menurut Robert Cooter, sesungguhnya efisiensi bukan sekadar dipacu oleh persaingan global terlebih memang sejak awalnya sudah menjadi sifat pengusaha untuk melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha




DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku

1.      Ikhsanuddin Noorsy, Indonesia Dalam Arus Kartel Ekonomi Politik, Galang Press, Yogyakarta, 2010
2.      Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, PT. Masmedia Buana Pustaka, Surakarta, 2009
3.      Andi Abu Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta, 2006
4.      Hilman Hamdani, Oposisi Demokrasi Dan Kesejahteraan Ekonomi Indonesia, Pinus 2004
5.      Politik Ekonomi Dan Struktur Perpajakan BUMN, Gramedia Pustaka, 2009
6.      Hamud M. Balfas, Hukum Pasar Modal, PT. Tatanusa, Jakarta, 2006
7.      H.R. Daeng Naja, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Pustaka Yusticia, Jakarta, 2009
8.      Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, Ufuk Publishing House, Jakarta, 2008
9.      Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
10.  M.Irsan Nasarudin dkk. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2003
11.  Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009

Internet

1.      Dikutip dari  http://www.tempointeraktif.com dengan judul posting “Mahasiswa Tuntut Skandal Pajak Bakrie Diusut Tuntas  yang diakses pada tanggal 10 februari 2010
2.      Dikutip dari  http://www.tempointeraktif.com dengan judul posting “Mahasiswa Tuntut Skandal Pajak Bakrie Diusut Tuntas  yang diakses pada tanggal 10 februari 2010
3.      Dikutip dari www. akuntanpublikindonesia.com dengan judul posting Mewujudkan Laporan Keuangan Emiten Yang Berkualitas yang diakses pada tanggal 11 Februari 2010
4.      Dikutip dari www. triyani.wordpress.com, dengan judul Posting Penghindaran Pajak Vs Penggelapan Pajak yang diakses pada tanggal 11 Februari 2010
5.      Dikutip dari www.hukumonline.com dengan judul posting Utang Pajak BUMI Melangit yang diakses pada tanggal 10 Februari 2010

 





[1] Opini Kompas, hal 5-7, Kebangkrutan Pajak Negara, Aviliani

[2] Dikutip dari  http://www.tempointeraktif.com dengan judul posting “Mahasiswa Tuntut Skandal Pajak Bakrie Diusut Tuntas  yang diakses pada tanggal 10 februari 2010


[3] Andi Abu Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta, 2006,hlm.9
[4] Dikutip dari www. triyani.wordpress.com, dengan judul Posting Penghindaran Pajak Vs Penggelapan Pajak yang diakses pada tanggal 11 Februari 2010
[5] Ibid
[6] Dikutip dari www.hukumonline.com dengan judul posting Utang Pajak BUMI Melangit yang diakses pada tanggal 10 Februari 2010
[7] Ibid
[8] 4 Dikutip dari www.hukumonline.com dengan judul posting Utang Pajak BUMI Melangit yang diakses pada tanggal 10 Februari 2010

[9] Ibid, hlm. 83
[10] Dikutip dari www.hukumonline.com dengan judul posting  Penggelapan Pajak di Perusahaan Bakri Group yang diakses pada 12 Februari 2010
[11] Ibid
[12] Jurnal Parlemen,AKuntabilitas Pajak BUMN dalam sitem administrasi negara, Edisi IV, hal 47, 2011