“Dugaan
Kasus Penggelapan Pajak Perusahaan Bakrie Group”
ANALISIS EKONOMI ATAS HUKUM | MAGISTER ILMU HUKUM | UNIVERSITAS
TRISAKTI
BAB I
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKAN
Pajak
merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Oleh karena itu
peringatan presiden jika ada orang yang tidak membayar pajak harus ditindak
adalah wajar.
Pernyataan Presiden soal pengemplang pajak, tidak diarahkan ke pihak manapun.
Namun sudah jelas diarahkan bagi pihak yang selama ini lalai membayar pajak
sebagai wujud partisipasi pembangunan. Saya berharap (harapan kita semua tentunya)
para pengemplang pajak harus membayar pajak segera, sebelum ada tindakan dari
pemerintah. Memang posisi pemerintah serba salah, memberi peringatan bagi pihak
yang belum bayar pajak disalahkan, bahkan dipolitisir. Jika tidak diingatkan,
pemerintah dianggap diam saja dan sebagainya. Masyarakat harus bisa memahami
Pajak adalah salah satu pilar penting perekonomian. Tanpa pajak, negara tidak
mampu membiayai pembangunan. Tanpa pajak, pemerintah mustahil bisa menggaji
pegawai dan menyejahterakan rakyat. Karena itu, pemerintah harus sangat serius
menindak pengemplang pajak. Sayangnya, premis itu jauh lebih gampang diucapkan
daripada dilakukan. Faktanya pemerintah kerap gagal menghadapi para pengemplang
dan penggelap pajak.
Munculnya
kembali kasus dugaan pengemplangan pajak kelompok usaha Bakrie menambah bukti
empiris betapa sulit bertindak tegas terhadap wajib pajak ukuran besar. Yang
cenderung terjadi adalah pemerintah lebih banyak bersikap longgar terhadap
mereka.
Tersebutlah tiga perusahaan Grup Bakrie yang dilaporkan telah lalai membayar
pajak sebesar Rp2,1 triliun. Perusahaan itu adalah PT Bumi Resource, PT Kaltim
Prima Coal (KPC), dan PT Arutmin Indonesia. Bumi menunggak pajak sebesar Rp376
miliar, KPC sebesar Rp1,5 triliun, dan Arutmin senilai Rp300 miliar.
Kasus
itu sebenarnya telah muncul tahun lalu terkait dengan surat pemberitahuan
tahunan (SPT) 2007. Namun, pemerintah tidak tegas menyelesaikan kasus itu
sehingga kini muncul kembali dengan spectrum persoalan yang lebih kompleks.
Lebih kompleks karena urusan pajak
itu dikait-kaitkan dengan kasus Bank Century,
yaitu ditengarai memengaruhi sikap Golkar yang kini dipimpin Aburizal Bakrie.
Setidaknya kasus Bank Century di satu pihak, dan kasus pengemplangan pajak itu
di lain pihak, telah memunculkan ke permukaan penilaian bahwa ternyata ada
perseteruan yang keras antara Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Aburizal Bakrie.
Sebuah perseteruan yang disebut-sebut menyulut adanya kehendak kuat untuk
menggusur Sri Mulyani dari kabinet.
Bahwa
pajak merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan, semua
prasarana umum kebanyakan dibangun dari pajak dari masyarakat. Oleh karena itu,
duduk perkara harus dikembalikan. Pengemplang pajak adalah urusan hukum. Status
mereka adalah penjahat. Pihak berwajib semestinya bertindak tanpa kompromi.
Usutlah habis-habisan dan bila terbukti, hajarlah sangat keras.
Dalam
kasus dugaan pengemplangan pajak Grup Bakrie, pemerintah seharusnya lebih
berani. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, telah menolak gugatan praperadilan
PT Kaltim Prima Coal yang memerkarakan Ditjen Pajak. Itu seharusnya menjadi
momentum pemerintah untuk memulai sikap lebih tegas, lebih keras, dan lebih
adil. Jangan sampai pemerintah dinilai diskriminatif terhadap wajib pajak.
Wajib pajak skala kecil dan perorangan dikejar-kejar, sementara wajib pajak
skala besar yang nakal dibiarkan, bahkan dimanjakan.
Sudah tepat langkah Ditjen Pajak untuk memidanakan Grup Bakrie dalam kasus
dugaan pengemplangan pajak itu. Tunggakan pajak sebesar Rp2,1 triliun itu adalah
jumlah yang sangat bernilai bagi rakyat. Sebuah jumlah bisa membeli 4,2 miliar
kilogram beras.
Karena itu, jangan sampai kasus ini dipetieskan seperti tahun lalu.
Sejak
terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1990 an,
masalah corporate governance mendapatkan perhatian yang cukup besar dari
masyarakat dan pemerintah. Hal ini karena adanya anggapan bahwa masalah-masalah
yang dihadapi oleh perusahaan yang ada di Indonesia, yang secara lansung juga
menyebabkan terjadinya krisis moneter tersebut, adalah karena kurang
diterapkannya prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good
corporate governance) didalam banyak perusahaan di Indonesia.
Selain
itu tuntutan atas adanya penerapan good governance itu juga telah
merupakan salah satu isu untuk menarik minat masuknya modal asing kedalam pasar
modal suatu negara. Sehingga makin baik penerapan prinsip-prinsip good
governance juga merupakan indikasi adanya perlakuan yang baik terhadap pemodal.
Salah satu tema utama good governance adalah masalah keterbukaan. Good corporate governance merupakan konsep
yang menekankan pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan
benar, akurat, dan tepat waktu serta kewajiban perusahaan untuk mengungkapan (disclosure)
secara akurat, tepat waktu, dan transparan mengenai semua informasi kinerja
perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder. Prinsip corporate governance
diharapkan dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan, yang pada akhirnya
meningkatkan kepercayaan pemakai laporan keuangan, termasuk investor
Peristiwa
jatuhnya harga saham Perusahaan dibawah naungan Bakri Group, telah membuka mata
para investor pasar modal dan memberikan pelajaran berharga, bahwa penerapan Etika Bisnis sangatlah penting
untuk menghindari terjadinya skandal dan berbagai bentuk pelanggaran pada
perusahaan. Kejadian tersebut tidak saja berdampak pada perusahaan, melainkan
turut menimbulkan ketidak percayaan publik terhadap para profesional yang turut
menyusun laporan keuangan yang menyesatkan publik tersebut. Sekali pencipta
pasar seperti PT. Bumi Resouces Tbk. Kehilangan kredibilitasnya dimata pembeli
dan penjual potensialnya, maka pembeli dan penjual tersebut akan secara cepat
memindahkan bisnis mereka kepihak lain yang bisa diandalkan. Menurut Direktorat Pajak, tiga perusahaan
milik grup Bakrie diduga menggelapkan pajak sebesar Rp 2,1 triliun. Rinciannya,
PT Bumi Resources sebesar Rp 376 miliar, PT Kaltim Prima Coal sebesar Rp 1,5
triliun, dan PT Arutmin Indonesia sebesar US$ 39 juta.
Sebagai
sebuah perusahaan Publik, ketiga perusahaan tersebut haruslah menjalankan
prinsip-prinsip good corporate governance agar tudingan-tudingan miring seperti adanya
dugaan penggelapan pajak bisa teratasi yakni dengan melakukan tranparasi dan
keterbukaan
informasi. Bagi perusahaan yang telah berstatus
sebagai perusahaan yang akan dan telah go-public di pasar modal, transparansi
dan akuntabilitas pengelolaan perusahaan merupakan keharusan mutlak yang telah
diatur dalam berbagai regulasi, untuk perlindungan bagi investor di pasar
modal, di samping untuk menunjang keberlangsungan (sustainability) perusahan
itu sendiri.
Kejahatan penggelapan pajak sangat merugikan masyarakat karena
pembiayaan APBN Indonesia sangat bergantung pada pemasukan dari sektor pajak. pembiayaan APBN yang
menentukan penghidupan rakyat Indonesia 80 persennya diperoleh dari pemasukan
pajak, bukan dari minyak atau hasil hutan, sehingga kejahatan penggelapan atau
manipulasi pajak sangat merugikan kepentingan rakyat luas. Setiap pelaku penggelapan pajak yang dijatuhi
putusan penjara tidak serta-merta bebas dari kewajibannya membayar pajak.
Dikatakan bahwa setelah putusan dijatuhkan, Ditjen Pajak akan mengeluarkan
surat penagihan. Jika kewajiban tidak dipenuhi pelaku, akan dikeluarkan surat
penagihan paksa. Upaya penegakan hukum yang adil dan beribawa mutlak diperlukan
dalam menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak ini, karena nantinya public
akan mengetahui bagaimana kisah yang sebenarnya dari kasus ini dan public juga
mengetahui bagaimana proses penegakan hukum dibidang pasar modal itu sendiri.
Penyelesaian kasus ini harus dijauhkan dari ketegangan politik yang ada.
Mengutip kata teori dari Lawrence M. freidman, ada tiga faktor penegakan hukum
yakni:
- Subtansi hukum terkait dan
bersangkut paut dengan peraturan per undang-undangan.
- Struktur hukum terkait dengan
bersangkut-paut dengan aparat penegak hukum
- Budaya hukum terkait
dengan kesadaran hukum masyarakat.
B. ALASAN MEMILIH TOPIK BAHASAN
Dalam
kasus dugaan penggelapan pajak seperti diatas, menarik untuk terus dikaji baik
dalam ruang diskusi perkuliahan maupun non perkuliahan. Hal lain yang tidak lebih penting adalah bagaiman
menciptakan kesadaran hokum bagi masyarakat sebagai komponen penting bagi
tegaknya supremasi hokum Indonesia, terutama dalam mencapai keadilan secara
ekonomi
dalam mewujudkan pembangunan ekonomi yang
mensejahterakan. Hal tersebut diatas yang melatar belakangi alas an
penngangkatan isu penggelapan pajak oleh bakrie group dalam penulisan makalah “Analisa
Ekonomi Atas Hukum” sebagai syarat mengikuti ujian akhir semester program
magister ilmu hokum Universitas Trisakti. Masalah pokok lain yang harus
diketahui bersama adalah bagaimana penegakan hukum terhadap masalah penggelapan
Pajak yang terjadi di Perusahaan Bakri Group? Atas alasan seperti diatas, topic
ini menjadi pilihan saya untuk di kaji lebih mendalam.
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
MASALAH DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK OLEH PERUSAHAAN BAKRIE GROUP
A. Sekilas Tentang Penggelapan Pajak
Pajak adalah beban bagi perusahaan, sehingga
wajar jika tidak satupun perusahaan (wajib pajak) yang dengan senang hati dan
suka rela membayar pajak. Karena pajak adalah iuran yang sifatnya dipaksakan,
maka negara juga tidak membutuhkan ‘kerelaan wajib pajak’. Yang dibutuhkan oleh
negara adalah ketaatan. Suka tidak suka, rela tidak rela, yang penting bagi
negara adalah perusahaan tersebut telah membayar pajak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Lain halnya dengan sumbangan, infak maupun zakat, kesadaran dan
kerelaan pembayar diperlukan dalam hal ini.
Mengingat pajak adalah beban –yang akan
mengurangi laba bersih perusahaan- maka perusahaan akan berupaya semaksimal
mungkin agar dapat membayar pajak sekecil mungkin dan berupaya untuk
menghindari pajak. Namun demikian penghindaran pajak harus dilakukan dengan
cara-cara yang legal agar tidak merugikan perusahaan di kemudian hari.
Penghindaran pajak dengan cara illegal adalah penggelapan pajak. Hal ini
perbuatan kriminal, karena menyalahi aturan yang berlaku. Contoh kasus
penggelapan pajak :
a. Melaporkan penjualan lebih kecil dari yang
seharusnya, omzet 10 milyar hanya dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan
sebesar 5 milyar misalnya.
b. Menggelembungkan biaya perusahaan dengan
membebankan biaya fiktif;
c. Transaksi export fiktif,
d. Pemalsuan dokumen keuangan perusahaan
Jika
dianalogikan pajak dengan karcis tol, Jika melewati jalan tol namun
tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Sedangkan jika kita
menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa,
maka itulah penghindaran pajak. Menghindari membayar tol (pajak) dengan cara
tidak lewat jalan tol adalah cara yang legal.
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat
berbagai celah –loophole- yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar
jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara
keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar
sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan
jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan
tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Selain menghindari transaksi yang
merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan
oleh perusahaan antara lain :
a. Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak
terendah
b. Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar
dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan,
c. Memilih berbagai alternatif transaksi yang
memberikan efek beban pajak terendah.
d. Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar
Selain wajib membayar pajak atas penghasilan
yang diperoleh, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk memotong pajak yang
terutang atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak lainnya, baik kepada
karyawan maupun kepada pihak ketiga. Atas pembayaran gaji dan tunjangan kepada
karyawan perusahaan wajib memotong dan menyetor PPh 21 yang terutang.
Pembahasan mengenai PPh 21 akan dilanjutkan pada kesempatan lain.
Sedangkan atas pembayaran kepada pihak ketiga,
atas imbalan jasa/ kegiatan, perusahaan juga memiliki kewajiban memotong PPh 23
yang terutang dan menyetorkannya ke kas negara. Dalam kondisi yang ideal, PPh
pasal 23 yang harus dipotong dari pembayaran kepada pihak ke-3
(vendor) tidaklah menjadi pengurang penghasilan
(biaya) bagi perusahaan, karena perusahaan hanya mengurangi jumlah uang yang
akan dibayarkan kepada vendor sebesar tarif PPh 23 yang berlaku dan
menyetorkannya ke kas negara.
Sayangnya, dunia –apalagi dunia pajak- tidak
selalu indah. Ada saat dimana perusahaan harus melakukan transaksi dengan
vendor yang lebih superior dan tidak bersedia dipotong pajak atas fee yang akan
diterimanya. Ada saat dimana perusahaan dalam posisi sangat membutuhkan jasa
‘pihak ketiga tersebut’ karena otoritas yang dimilikinya. Dalam kondisi seperti
ini, perusahaan lagi-lagi akan memperhitungkan alternatif mana yang harus
dipilih agar pajak tidak semakin menjadi beban bagi perusahaan. Kadang
perusahaan terpaksa memilih untuk melakukan gross up atas fee yang akan
dibayarkan kepada vendor / pihak ketiga yang jasanya sangat dibutuhkan
perusahaan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adakalanya perusahaan memilih
untuk menanggung pajak yang seharusnya menjadi beban pihak lain, meskipun beban
pajak tersebut pada akhirnya menjadi komponen non deductable item.
Salah satu tujuan sebuah perusahaan didirikan
adalah untuk tujuan ekonomi. salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah
perusahaan secara ekonomi adalah pencapaian laba bersih setelah pajak yang
tinggi. Laba bersih yang tinggi tentu
diawali dengan pencapaian target penjualan yang tinggi, kemudian diikuti dengan
pengeluaran biaya-biaya yang efisien, dan pembayaran pajak yang optimal,
sehingga akan dicapai laba bersih setelah pajak yang maksimal. Ketika penjualan
mencapai target, namun biaya yang dikeluarkan jauh lebih tinggi, maka secara
ekonomi hal tsb hanya akan menjadi sebuah pencapaian yang “sia-sia”. Demikian pula ketika laba bersih –secara
komersial- sudah mencapai angka yang optimal, karena didukung dengan pencapaian
target penjualan yang maksimal dan pengeluaran yang minimal, bisa jadi akan
menjadi sia-sia ketika ternyata laba habis tergerus beban pajak yang tidak
seharusnya. Misalnya karena banyaknya biaya yang merupakan kriteria non
deductable expenses.
B. DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK OLEH
PERUSAHAAN BAKRIE GROUP
Ada
ungkapan big is beautiful. Tapi sepertinya ungkapan itu tidak seluruhnya
benar. Hal ini seperti yang dialami PT Bumi Resources Tbk. Salah satu produsen
tambang batu bara terbesar di Indonesia ini sedang pusing lantaran dituding
menggelapkan pajak sebesar Rp2,1 triliun. LSM Indonesian Corruption Watch (ICW)
menilai, jumlah itu membengkak menjadi Rp11,426 triliun setelah perusahaan
diduga kurang membayar royalti pada periode 2003-2008.
Seperti
diketahui, dugaan penggelapan pajak PT Bumi Resources Tbk, termasuk anak
usahanya PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar Rp2,1
triliun pada tahun 2007 itu tengah diproses oleh Polda Kalimantan Timur dan
Kalimantan Selatan. Bedanya, untuk dugaan penggelapan pajak KPC tengah disidik
Polda Kaltim. Lalu Polda Kalsel menyelidiki dugaan penggelapan pajak
Arutmin.
Koordinator
Monitoring dan Analisa Anggaran ICW, Firdaus Ilyas mengatakan pembengkakan
utang perusahaan tambang milik Aburizal Bakrie itu didapat setelah ICW menelaah
data-data primer seperti laporan keuangan perusahaan, prospektus, laporan pada
pemegang saham, data produksi serta penjualan batu bara perseroan. Data itu
juga kami dapat dari hasil audit BPK. Lalu, setelah sejumlah dokumen tersebut
diteliti, ditemukan dua kenakalan yang dilakukan perseroan. Pertama, ditemukan
kekurangan setoran Dana Hasil Penjualan Batubara (DHPB) pada 2003-2008,
mencapai AS$143,189 juta. “Tetapi, angka itu belum disesuaikan dengan laporan
keuangan persero 2008 yaitu AS$608,178 juta.
Kedua,
emiten berkode saham BUMI itu kurang membayar royalti periode 2003-2008 yang
jumlahnya mencapai AS$477,299 juta. Alhasil, total kewajiban Bumi pada negara
mencapai AS$1,228 miliar. Apabila menggunakan kurs Rp9.300, maka kewajiban BUMI
mencapai Rp11,426 triliun. Atas dasar itu, ICW mendesak Departemen Keuangan
memanggil dan memeriksa kantor akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan
BUMI.
Selain itu, Departemen Keuangan juga harus memanggil
Direktur Jenderal Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen ESDM. Soalnya,
dari Direktur Jenderal ini, bisa
diketahui berbagai hal yang mempengaruhi penerimaan BUMI seperti harga batu
bara.
Direktorat
Jenderal (Ditjen) Pajak sendiri tidak tinggal diam. Institusi yang bernaung di
bawah Departemen Keuangan ini terus melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap tunggakan pajak tiga perusahaan Grup Bakrie tersebut. Dirjen Pajak
Mochamad Tjiptardjo menegaskan, jika ingin penyidikan dihentikan maka Grup
Bakrie harus membayar kewajiban lima kali lipat dari total tunggakan. Jadi,
harus bayar denda 400 persen. Kalau ditambah pokok tunggakan, jadi 500 persen. Selain
harus melunasi kewajibannya, ada prosedur lain yang harus ditempuh Grup Bakrie
jika ingin penyidikan kasus ini dihentikan. “Mereka harus mengajukan permohonan
ke Menkeu, kemudian dari Menkeu ke Kejagung untuk minta penghentian
penyidikan”. Langkah ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
130/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Di
Bidang Perpajakan Untuk Kepentingan Penerimaan Negara.
PMK
yang berlaku sejak 18 Agustus 2009 itu menyatakan, proses penyidikan kasus
tindak pidana bidang perpajakan dapat dihentikan melalui izin dari Menkeu,
setelah wajib pajak (WP) melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayarkan atau
yang seharusnya tidak dikembalikan serta setelah membayar sanksi administrasi berupa
denda sebesar empat kali dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang
seharusnya tidak dikembalikan.
Kejaksaan
Agung (Kejagung) dapat menghentikan penyidikan kasus pidana bidang perpajakan
maksimal selama enam bulan sejak tanggal surat permintaan yang dibuat Menkeu.
Sebelumnya, Dirjen Pajak diminta Menkeu meneliti dan memberi pendapat sebagai
bahan pertimbangan. Surat yang diajukan WP kepada Menkeu harus dilengkapi
pernyataan berisi pengakuan bersalah dan kesanggupan pelunasan pembayaran pajak
dan sanksi.
Ditjen Pajak yang mengetahui kasus ini mengatakan kemungkinan
penambahan nilai kerugian negara terjadi karena dalam proses penyidikan yang
dilaksanakan, penyidik menemukan komponen biaya pada PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang tidak
sesuai dengan seharusnya, sehingga menyebabkan besaran pajak yang dibayarkan
menjadi kecil. Itu salah satunya dari biaya bunga pinjaman. Kami sedang
menelusuri, nilainya bisa
mencapai ratusan miliar rupiah. Komponen
biaya merupakan salah satu komponen yang bisa dikurangkan dari penghasilan
bruto dalam rangka penentuan penghasilan kena pajak (PKP). Namun, berdasarkan
ketentuan perpajakan, tidak semua komponen biaya bisa dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Saat meminta penjelasan lebih lanjut mengenai komponen biaya apa
saja yang dimaksud, dia enggan menjelaskannya. Pelaksana tugas (Plt) Direktur
Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane ketika
dikonfirmasi enggan berkomentar banyak soal perkembangan penyidikan ketiga
kasus tersebut. Namun, menurut dia,
Ditjen Pajak terus melaksanakan proses penyidikan meski terjadi resistensi dari
pihak saksi maupun tersangka. “Kami akan jalan terus,” katanya.
Direktorat Jenderal Pajak saat ini mengusut kasus dugaan pidana
pajak oleh tiga perusahaan Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC), Bumi,
dan PT Arutmin Indonesia. Ketiganya diduga menyampaikan surat pemberitahuan
(SPT) tahunan tahun pajak 2007 secara tidak benar. Untuk KPC dan Bumi, Ditjen
Pajak telah melakukan penyidikan sementara untuk Arutmin masih dalam proses
pemeriksaan bukti permulaan. Terkait pelaksanaan penyidikan tersebut, mengungkapkan tim penyidik Ditjen Pajak
mengalami kesulitan memanggil saksi. Tidak tahu kenapa, tapi memang informasi
yang kami dapat menyebutkan di dalam mereka (Grup Bakrie) sudah ada tekanan.”
Menurut dia, pemanggilan terhadap tersangka juga mengalami hambatan karena yang
bersangkutan tidak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan penyidik
pajak dengan alasan sedang sakit. “Kami
sudah panggil sekali, nanti tak lama lagi akan kami panggil kedua kali. Kalau
juga tak dipenuhi akan kami panggil paksa dibantu Kepolisian,” tegasnya.
Dengan adanya masalah ini, kita bisa melihat bahwa sebagai
perusahaan yang telah Go Publik masih adanya indikasi bahwa
perusahaan-perusahaan tersebut masih belum menerapkan prinsip-prinsip good
corporat governance, walaupun masih sebatas dugaan tetapi asumsi-asumsi
negative telah mengarah kesana. Untuk bisa memastikannya lebih jauh maka harus
dilakukan penyidikan lebih lanjut, tetapi untuk dampak sementara akibat adanya
dugaan ini, investor sudah mulai ragu untuk menanamkan modalnya pada
perusahaan-perusahaan tersebut.
Didalam konsep good governance setiap informasi yang hendakkan
disampaikan harus terbuka dan akurat, jauh dari manipulasi dan hal-hal yang
menyesatkan, sebab dengan diterapkannya Prinsip corporate governance diharapkan
dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan, yang pada akhirnya meningkatkan
kepercayaan pemakai laporan keuangan, termasuk investor.
BAB III
ANALISA TEORITIK DAN KAJIAN AKDEMIS
I.
TEORI EFISIENSI DALAM KASUS PENGGELAPAN PAJAK PERUSAHAAN BAKRIE
GROUP
Dalam
kasus dugaan penggelapan pajak oleh perusahaan Bakrie Group, perusahaan mengemukakan
bahwa dalam menghadapi masa sulit diperlukan efisiensi. Berkaitan dengan hal
tersebut, efisiensi yang paling cepat untuk dapat dilakukan adalah dengan
mengurangi pengeluaran, seperti memanipulasi laporan pajak, mengurangi tenaga
kerja, dan lain-lain. Alasan efisiensi tersebut tak lain adalah konsekuensi
dari globalisasi yang memadatkan jarak dan waktu memang menuntut kompetisi
ekonomi global menjadi kian sengit dengan tenggat waktu yang amat cepat. Dengan
demikian, sebuah transaksi bisnis tak lagi memakan waktu yang lama seperti
dahulu kala. Kini, untuk melakukan transaksi bisnis antar benua bahkan cukup
memakan waktu dalam hitungan detik saja. Hal tersebut tentu menuntut perusahaan
pada situasi yang amat kompetitif yang menimbulkan konsekuensi ketat bahwa
kegagalan berefisiensi akan membuat perusahaan ketinggalan dan kehilangan
kesempatan.
Efisiensi
menjadi kata kunci bagi perusahaan untuk mengejar keuntungan yang berpacu dalam
persaingan global tersebut. Namun menurut Robert Cooter, sesungguhnya efisiensi
bukan sekadar dipacu oleh persaingan global terlebih memang sejak awalnya sudah
menjadi sifat pengusaha untuk melakukan efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha
Secara umum,
kita dapat mengatakan bahwa ekonomi menghasilkan sebuah teori tingkah laku/perilaku
untuk memprediksi bagaimana respon manusia terhadap perubahan-perubahan
dalam hukum. Teori ini melampaui intuisi, hanya sebagai ilmu sains yang
melampaui akal biasa (common sense). Ilmu Ekonomi memprediksi efek kebijakan
terhadap efisiensi. Efisiensi selalu berhubungan dengan pembuatan kebijakan,
karena akan selalu lebih baik mencapai semua kebijakan-kebijakan yang ada
dengan biaya yang rendah daripada dengan biaya yang tinggi. Pejabat umum tidak
pernah menyokong uang yang siasia/pemborosan.
Selain
efisiensi, Ilmu ekonomi yang juga memprediksi efek dari kebijakan-kebijakan
dalam nilai penting lainnya adalah distribusi. Diantara penerapan ilmu ekonomi
itu terhadap kebijakan publik adalah penggunaannya untuk memprediksi siapa
sebenarnya yang dibebankan berbagai macam pajak. Lebih daripada penelitian
ilmu-ilmu sosial, ahli ekonomi memahami bagaimana hukum memberi dampak terhadap
distribusi pendapatan dan kesejahteraan disegala lapisan sosial. Sementara ahli
ekonomi seringkali merekomendasikan perubahan untuk peningkatan efisiensi,
mereka mencoba menghindari sengketa tentang distribusi, biasanya memberikan
rekomendasi tentang distribusi kepada pengambil kebijakan (policy makers) atau
pemilih (voters).
II.
UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK
Pajak
adalah salah satu tiang yang sangat penting bagi perekonomian di sebuah Negara.
Tanpa pajak, Negara tidak mampu membiayai pembangunan. Tanpa pajak pula,
pemerintah mustahil bisa menggaji para pegawai dan mensejahterakan rakyatnya.
Karena itu, pemerintah harus sangat serius dalam menindak para pengemplang
pajak. Tapi, apa buktinya, premis itu jauh lebih gampang diucapkan dari pada
dilakukan. Faktanya pemerintah kerap gagal menghadapi para pengemplang dan
penggelap pajak.
Munculnya
kembali kasus dugaan pengemplangan pajak yang dilakukan oleh kelompok usaha
Bakrie, menambah bukti yang kuat betapa sulitnya bertindak tegas terhadap wajib
pajak (WP) ukuran besar. Yang cenderung terjadi adalah pemeerintah lebih banyak
bersikap longgar terhadap mereka. Tersebutlah 3 perusahaan group Bakrie yang
dilaporkan telah lalai membayar pajak sebesar Rp 2,1 Triliun. Perusahaan itu
adalah PT.Bumi Resource, PT Kaltim Prima Coal (KPC), dan PT Arutmin Indonesia.
PT Bumi menunggak pajak sebesar Rp 376 Milyar, KPC sebesar 1,5 Triliun, dan PT
Arutmin senilai 300 Milyar.
Kasus
tentang itu sebenarnya telah muncul tahun lalu terkait dengan Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) 2007. Namun, pemerintah tidak tegas menyelesaikan
kasus itu, sehingga kini
muncul kembali dengan persoalan yang lebih
kompleks karena urusan pajak itu di kait-kaitkan dengan kasus Bank Century,
yang ditenggarai mempengaruhi sikap golkar yang kini dipimpin Aburizal Bakrie. Sudah
tepat langkah Ditjen Pajak untuk memidanakan group Bakrie dalam kasus dugaan
pengemplangan pajak itu. Tunggakan pajak sebesar 2,1 Triliun itu adalah jumlah
yang sangat bernilai bagi rakyat.(Media Indonesia) Anak perusahaan group Bakrie
itu terancam membayar denda tunggakan pajak sebesar 4 kali lipat dari nilai pokok
tunggakan / diwajibkan membayar sebesar 10,5 Triliun.
Pengemplang
pajak biasanya disebut juga dengan korupsi, kejahatan pajak, mengemplang hutang
yang ditanggung oleh rakyat. Terkait dengan masih tingginya tunggakan pajak
yang dilakukan sejumlah wajib pajak di Indonesia dan penyalahgunaannya maka hal
tersebut seharusnya segera dituntaskan karena dinilai merugikan perekonomian
Negara.
Diharapkan pemerintah segera menangani setiap pelanggaran pajak dan diberi
sanksi pidana pajak yang tegas.
Hukum merupakan cermin yang memantulkan kepentingan masyaraat.
Karena kepentingan masyarakat selalu berubah, maka secara operasional hukum
juga dituntut untuk selalu mengubah dirinya. Dewasa ini, dunia hukum di
Indonesia sedang dalam masa disintegrated. Disatu satu pihak, tatanan hukum
lama yang berasal dari hukum kolonial dan hukum adat, bahkan hukum yang telah
dibentuk setelah kemerdekaan banyak yang telah usang. Dan dilain pihak, tatanan
alternatif dari hukum baru belum juga terbentuk. Bahkan platform yang
jelas belumpun diketahui, ditambah dengan sector pengetahuan ekonomi yang
semangatnya digenjot menggebu-gebu, tercipalah distorsi kedalam sektor bisnis
dan ekonomi itu sendiri.
Konsekuensi
logisnya, tidak terlalu mengherankan jika dewasa ini sangat merajalela terjadinya
praktek bisnis yang tidak fair. Seperti persaingan curang, monopoli, ologopoli,
kartel, pemberian fasilitas dan akumulasi sumber daya ekonomi di tangan satu
atau dua konglomerat, bisnis dan perizinan yang dilandasi pada koneksi, suap
menyuap dan lobi yang kental, birokrasi dan prosedur yang berbelit-belit dan
termasuk juga adanya dugaan skandal penggelapan pajak
yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
dibawah naungan Bakri Group. Hal ini menandakan hukum bisnis tidak berperan,
baik karena kevakuman, kebobrokan atau ketidak jelasan aturan main, atau karena
Law Enforcement nya yang kurang sigap kalaupun tidak dibilang lumpuh
total.
Bila terdapat pelanggaran, konsekuensinya akan berhadapan dengan
sanksi hukum sesuai dengan jenis dan kualitas pelanggaran. Upaya untuk
melakukan penegakan hukum harus berlangsung secara konsisten dengan tetap
memperhatikan kepentingan perkembangan Pasar Modal. Badan Pengawas Pasar Modal
(Bapepam) berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal memiliki
kewenangan yang sangat besar untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan
pengawasan kepada industri pasar modal diharapkan mampu menjalankan fungsinya
sesuai dengan yang diamanatkan UU tersebut.
Disamping itu, untuk menjalankan pengawasan secara represif,
Bapepam diberi kewenangan melakukan pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan
seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang tata cara
pemeriksaan di Pasar Modal. Dalam rangka itulah maka sesuai dengan amanah yang
digariskan dalam Undang-Undang Pasar Modal, bahwa dalam rangka menyempurnakan
pengaturan pasar modal telah dikeluarkan serangkaian peraturan yang memberikan
kepastian dan jaminan hukum bagi para pelaku pasar modal.
Dilihat dari format disclosure, yang seharusnya dilarang secara
tegas adalah:
a. keterangan
yang salah
b. keterangan
setengah benar
c. sama
sekali diam terhadap fakta material
Sedangkan didalam Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995 pada
umumnya adalah pemalsuan dan penipuan, pernyataan tidak benar atau
menyembunyikan fakta, manipulasi pasar, insider trading, dan larangan yang
bersangkutan dengan Reksa dana.
Mengenai tingkat kesalahan yang disyaratkan adalah berupa
“kesengajaan”(mengetahui), dan “kelalaian” (kurang hati-hati). Ini berarti
sebagai General Law dapat dikatakan bahwa setiap pihak yang terlibat di
pasar modal dapat dimintakan pertanggung jawab hukum, apabila padanya terdapat
unsur kesalahan.
Dalam hukum pidana kesalahan dapat terwujud kejahatan dan
pelanggaran, sedangkan dalam hukum perdata, jika tanggung jawab tersebut
berasal dari perbuatan melawan hukum (in casu Pasal 1365 BW) atau malpraktek,
maka wujudnya dapat berupa perbuatan dengan unsur kesengajaan (on purpose),
atau kurang hati-hati (negligence). Jika perbuatan tersebut bersumber dari
suatu perjanjian (vide buku ke-III BW), maka kesalahan tersebut akan berwujud
ingkar janji (on default). Disamping itu kesalahan dapat pula dalam bentuk
kesalahan moral, sehingga mereka harus tunduk pada masing-masing kode etik
profesi, ataupun kesalahan yang ancamannya hanya berupak sanksi administrasi.
Bersalah tidaknya para pelaku di Perusahaan-perusahaan bakri Group
juga dapat dikukur dengan kriteria dalam bidang apakah akibat dari kesalahan
itu terjadi. Kalau terjadi kekeliruan dalam bidang keuangan, maka akuntan
public ikut bertanggung jawab, dan kalau dalam bidang hukum, konsultan hukumnya
dan layak diminta tanggung jawab. Tanggung jawab profesi penunjang juga
terbatas mengingat mereka pada prinsipnya hanya mempunyai tanggung jawab
“berasumsi” atau tanggung jawab “di atas kertas”. Artinya, tanggung jawab
mereka hanya beralaskan asumsi bahwa seluruh dokumen yag tersedia adalah benar.
Misalnya jika ada diantara dokumen tersebut yang tidak benar isinya atau palsu
sehingga analisis mereka menjadi tidak akurat, maka hal tersebut berada diluar
tanggung jawab mereka. Pihak yang memalsukan dokumenlah yang lebih bertanggung
jawab.
Pihak penjamin emisi juga penyandang tanggung jawab yang berat,
mengingat dialah yang sangat jauh terlibat dalam proses emisi saham, dan dia
pulalah yang memegang komando dan menentukan policy. Disamping itu, Bapepam,
sebagai badan pengawas juga tidak bisa dilepaskan tanggung jawab hukumnya.
Dalam ilmu hukum dikenal prinsip siapa yang bersalah harus dihukum. Kalau
Bapepam yang besalah, yaitu adanya unsur kesengajaan atau keteledoran,
maka
tidak reasonable jika Bapepam dilepaskan dari tanggung jawabnya,
sungguhpun ada kewajiban menempatkan kalimat dalam prospectus yang berbunyi Bapepam
tidak memberikan pernyataan menyetuju dan seterusnya.
Pada saat ini upaya berkesinambungan dilakukan oleh Pemerintah dan
masyarakat agar hukum dapat mengayomi dan menjadi landasan bagi kegiatan
masyarakat dan pembangunan. Adanya kepastian hukum merupakan wahana untuk
timbulnya kepercayaan kepada pasar. Salah satu syarat agar pasar modal mampu
mengembangkan perekonomian Indonesia adalah kejahatan di pasar modal khususnya
penggelapan pajak harus dapat ditemukan dan diselesaikan melalui hukum yang berlaku
baik itu kebiasaan maupun karena telah diatur dalam aturan di pasar modal.
Walaupun media sedang gencar-gencarnya memberitakan skandal
penggelapan dana pajak yang paling besar dalam sejarah yang ada, namun
perlawanan dari pihak Bakri Group terhadap hal tersebut tetap ada, yakni upaya
PT Kaltim Prima Coal (KPC) untuk menghentikan penyidikan yang dilakukan Ditjen
Pajak, harus kandas setelah PN Jakarta Selatan menyatakan permohonan
praperadilan KPC tak dapat diterima. Hakim tunggal sidang praperadilan Prasetyo
tersebut menyatakan permohonan praperadilan KPC tak masuk obyek praperadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP.
Seperti
diketahui, KPC mengajukan permohonan praperadilan untuk menghentikan penyidikan
Ditjen Pajak atas dugaan penggelapan pajak yang dilakukan KPC sebesar Rp1,5
trilyun. Dalam putusannya, hakim menyebutkan Pasal 77 KUHAP telah mengatur
tegas bahwa obyek praperadilan terbatas pada sah tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, serta permintaan
ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarga atau pihak lain. Direktorat Jenderal
(Ditjen) Pajak Departemen Keuangan ternyata telah meningkatkan status kasus
pajak perusahaan Bakrie menjadi penyidikan. Dugaannya adalah penggelapan pajak.
Kalau sudah masuk penyidikan berarti sudah pidana.
Pihaknya belum memutuskan kapan akan mengirimkan berkas
perkara ini ke Kepolisian atau Kejaksaan.
Dirjen Pajak dan Departemen Keuangan harus segera
menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak yang terjadi dalam kurun waktu
2003-2008 oleh PT Bumi Resources Tbk. Jika berlarut-larut justru menimbulkan
kecurigaan proses penyelesaiannya telah disusupi oleh mafia hukum. Selain itu BEI (Bursa Efek Indonesia) harus aktif
melakukan penyelidikan dugaan penggelapan pajak, karena ini menyangkut
perusahaan publik, yang seharusnya semua laporan keuangannya terbuka.
Kalau benar ada penggelapan pajak, berarti ada yang disembunyikan dari
publik.
BAB IV
KESIMPULAN
Dengan
adanya isu dugaan penggelapan dana pajak yang cukup besar pada sebuah
perusahaan publik, menjadi sebuah tanda bahwasanya walaupun perusahaan besar
tetapi masih lemah dalam menerapkan prinsip-prinsip good corporate
governance terutama dalam hal menyampaikan berita yang akurat serta prinsip
responsibility berupa kurang dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang
berlaku. Hal ini juga merupakan bukti bahwa kurangnya
pengawasan dari pihak-pihak yang terkait di pasar modal sehingga menyebabkan
kerugian negara yang cukup besar. Walaupun hanya sebatas dugaan, ini sudah
menjadi bukti awal bahwa dalam menjalankan bisnis itikad baik dalam menjalankan
bisnis tidak ada.
Upaya penegakan hukum yang adil dan beribawa mutlak diperlukan
dalam menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak ini, karena nantinya public
akan mengetahui bagaimana kisah yang sebenarnya dari kasus ini dan public juga
mengetahui bagaimana proses penegakan hukum dibidang pasar modal itu sendiri.
Penyelesaian kasus ini harus dijauhkan dari ketegangan politik yang ada.Pasar modal merupakan salah satu sumber
pendanaan yang sangat penting dalam era globalisasi ini, dan oleh karena itu
harus dipupuk terus. Pasar modal harus menarik bagi emiten maupun investor.
Oleh karena itu, pemerintah, pengawas pasar modal, bursa, dan para pialang
mempunyai tugas masing-masing yang berkaitan guna menciptakan pasar modal yang
sehat, bersih, dan memiliki daya saing yang tinggi. Pasar modal yang demikian
akan menjadi sumber pencarian dana yang menarik bagi perusahaan. Pada saat yang
bersamaan menyediakan alternatif investasi yang menjanjikan bagi para investor.
Dalam
kasus dugaan penggelapan pajak oleh perusahaan Bakrie Group, perusahaan
mengemukakan bahwa dalam menghadapi masa sulit diperlukan efisiensi. Berkaitan
dengan hal tersebut, efisiensi yang paling cepat untuk dapat dilakukan adalah
dengan mengurangi pengeluaran, seperti memanipulasi laporan pajak, mengurangi
tenaga kerja, dan lain-lain. Alasan efisiensi tersebut tak lain adalah
konsekuensi dari globalisasi yang memadatkan jarak dan waktu memang menuntut
kompetisi ekonomi global menjadi kian sengit dengan tenggat waktu yang amat
cepat. Dengan demikian, sebuah transaksi bisnis tak lagi memakan waktu yang
lama seperti dahulu kala. Kini, untuk melakukan transaksi bisnis antar benua
bahkan cukup memakan waktu dalam hitungan detik saja. Hal tersebut tentu
menuntut perusahaan pada situasi yang amat kompetitif yang menimbulkan
konsekuensi ketat bahwa kegagalan berefisiensi akan membuat perusahaan
ketinggalan dan kehilangan kesempatan.
Jadi,
dalam kasus diatas, efisiensi menjadi kata kunci bagi perusahaan untuk mengejar
keuntungan yang berpacu dalam persaingan global tersebut. Namun menurut Robert
Cooter, sesungguhnya efisiensi bukan sekadar dipacu oleh persaingan global
terlebih memang sejak awalnya sudah menjadi sifat pengusaha untuk melakukan
efisiensi dan maksimalisasi hasil usaha
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
1. Ikhsanuddin
Noorsy, Indonesia Dalam Arus Kartel Ekonomi Politik, Galang Press, Yogyakarta,
2010
2. Adi
Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, PT.
Masmedia Buana Pustaka, Surakarta, 2009
3.
Andi Abu Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan
Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta, 2006
4.
Hilman Hamdani, Oposisi Demokrasi Dan
Kesejahteraan Ekonomi Indonesia, Pinus 2004
5.
Politik Ekonomi Dan Struktur Perpajakan BUMN,
Gramedia Pustaka, 2009
6. Hamud M.
Balfas, Hukum Pasar Modal, PT. Tatanusa, Jakarta, 2006
7. H.R.
Daeng Naja, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Pustaka Yusticia, Jakarta,
2009
8. Ishak
Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia, Ufuk Publishing House,
Jakarta, 2008
9. Munir
Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
10. M.Irsan
Nasarudin dkk. Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta,
2003
11. Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2009
Internet
1. Dikutip dari
http://www.tempointeraktif.com dengan judul posting “Mahasiswa Tuntut
Skandal Pajak Bakrie Diusut Tuntas”
yang diakses pada tanggal 10 februari 2010
2. Dikutip dari
http://www.tempointeraktif.com dengan judul posting “Mahasiswa Tuntut
Skandal Pajak Bakrie Diusut Tuntas”
yang diakses pada tanggal 10 februari 2010
3. Dikutip dari www. akuntanpublikindonesia.com
dengan judul posting Mewujudkan Laporan Keuangan Emiten Yang Berkualitas yang
diakses pada tanggal 11 Februari 2010
4. Dikutip dari www. triyani.wordpress.com, dengan judul Posting Penghindaran Pajak Vs
Penggelapan Pajak yang diakses pada tanggal 11 Februari 2010
5. Dikutip
dari www.hukumonline.com
dengan judul posting Utang Pajak BUMI Melangit yang diakses pada tanggal
10 Februari 2010
Dikutip dari http://www.tempointeraktif.com dengan
judul posting “Mahasiswa Tuntut Skandal Pajak Bakrie Diusut Tuntas” yang diakses pada tanggal 10 februari 2010