TEORI
ANOMIE ROBERT K. MERTON
“AKSI
DEMONSTRASI TERHADAP ISU BAIL OUT BANK CENTURY”
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Proses
perpolitikan Indonesia mengalami suatu keadaan yang cukup dinamis. Dinamika
politik begitu cepat berubah seiring dengan adanya kejadian – kejadian yang
membuat para praktisi politik bahkan masyarakat memanas. Hal ini diakibatkan
oleh adanya arus media yang secara terang – terangan membuka informasi kepada
masyarakat mengenai jalannya perpolitikan di Indonesia.
Berbagai
peristiwa beberapa waktu lalu seperti kebijakan pemerintah terkait bank Century
menjadi suatu dinamika politik yang cukup menyita perhatian. Kebijakan mengenai
Bailout Bank Century kontak menuai pro dan kontra. Ada kalangan yang
menganggap bahwa bailout tersebut tepat namun banyak kalangan yang justru
menganggap proses bailout Century salah dan ada unsure korupsi di
dalamnya.[1] Pihak – pihak yang kontra
dengan bailout Century sangat banyak dan bahkan menuntuk masalah ini
diselesaikan dengan meminta pihak – pihak yang terkait atas kebijakan bailout
Century untuk bertanggung jawab. Namun proses yang diinginkan ternyata belum
berjalan dengan apa yang dikehendaki masyarakat. dari hal itu beberapa elemen
masyarakat dan mahasiswa melakukan demonstrasi menuntuk kasus century
diselesaikan dan pihak yang bertanggungjawab diadili.
Demonstrasi
dilakukan sebagai sebuah tindakan untuk menyampaikan aspirasi dan dilakukan
oleh kerumunan massa yang cukup besar serta biasanya dilakukan dengan orasi.
Peristiwa demonstrasi yang dilakukan elemen mahasiswa ternyata tidak hanya
sekedar menyuarakan aspirasi melalui orasi saja, namun para demonstaran juga
melakukan tindakan – tindakan yang menyita perhatian antara lain membawa foto
pejabat dengan diberi tanduk di kepala dan taring di mulutnya. Selain itu yang
cukup menarik lagi adalah hadirnya sesosok
kerbau yang dibawa para demonstran yang diberi tulisan “Si BuYa”.
Hal ini bahkan menjadi suatu kontroversi yang berbuntut panjang.
Dalam ilmu
sosiologi hokum dikenal dengan teori anomie atau perilaku menyimpanng dari
masyarakat. Anomie, dalam literatur kontemporer bahasa inggris berarti suatu
kondisi atau keadaan tertekan pada individu, yang ditandai dengan ketiadaan
atau kehilangan suatu standar atau nilai. Kata Anomie berasal dari bahasa
Yunani awalan a:” tidak” dan nomos: “hukum”. Pengertian original dari anomie
adalah siapapun atau barangsiapa yang berlawanan atau diluar “hukum”, atau
suatu kondisi dimana hukum yang ada tidak dapat diaplikasikan sehingga
menghasilkan keadaan negara menjadi tidak mempunyai legitimasi atau tanpa
hukum. Bahasa kontemporer inggris juga mengartikan anomie sebagai anarkis.
Menurut Emile
Durkheim sosiolog yang berasal dari perancis yang merupakan pioner dari teori
anomie yang kemudian dilanjutkan oleh Robert K. Merton. Ia mengartikan anomie
sebagai reaksi berlaanan, atau pemunduran dari pengaturan kontrol sosial dalam
masyarakat, dan merupakan suatu konsep yang terpisah secara sempurna dari suatu
kondisi anarkis yang merupakan keabsenan efektivitas penguasa atau pemimpin.
Sedangnklan menurut Robert K. Merton, ia juga mengadopsi ide anomie di dalam
mengembangkan konsep Strain Theory nya. Ia mendefinisikan anomie sebagai
diskrepansi antara tujuan- tujuan umum sosial dan maksud legitimasi untuk
memperoleh tujuan- tujuan tersebut secara letimigasi dikarenakan keterbatasan
struktural di dalam masyarakat. Akibatnya individu tersebut mengembangkan
perilaku kejahatan.
B. PEMBAHASAN TEORI ANOMI ROBERT
K. MERTON
Anomie di kenal sebagai teori dalam disiplin ilmu kriminologi.
Merton pertama kali mempublikasikan teori anomie pada tahun 1938 di dalam artikelnya yang berjudul “Social Structure
dan anomie” (Hunt, 1961:59). Kerja Merton dalam artikel tersebut yang menjadi
menarik perhatian orang bahwa merton adalah artikel tersebut yang menjadi
menarik perhatian orang bahwa Merton adalah seorang sosiolog. Merton membaca
tulisan Emile Durkheim
mengenai anomie, kemudian Merton memperluas dan melanjutkan teori ini dengan menemukan
sebab- sebab yang mengakibatkan anomie.
Merton mengemukakan dua elemen dari sosial dan struktur budaya.
Struktur pertama adalah tujuan- tujuan dan aspirasi- aspirasi budaya (Merton,
1938:672). Ini merupakan elemen-elemen dimana semua individu seharusnya peroleh
dalam kehidupan, termasuk kesuksesan, uang dan kebutuhan materi lainnya. Aspek
kedua dari struktur sosial mendefinisikan cara yang di terima dalam pencapaian
tujuan- tujuan dan aspirasi- aspirasi yang di tentukan oleh masyarakat (Merton,
1938:673). Ini adalah cara yang sesuai dimana setiap orang ingin capai dalam
kehidupan, contohnya termasuk mematuhi hukum dan norma- norma sosial, melalui
pendidikan dan kerja keras. Supaya suatu masyarakat dapat mempertahankan fungsi
normatif harus ada keseimbangan antara aspirasi- aspirasi dan maksud- maksud
untuk pemenuhan aspirasi- aspirasi tersebut (Merton, 1938:674). Menurut Merton
keseimbangan akan ada sepanjang seseorang merasa bahwa ia telah memperoleh
tujuan budaya yang diinginkanya dengan adanya “mode institusional yang diterima
di dalam melakukan hal tersebut” (Merton, 1938:674). Dengan perkataan lain,
harus ada pemenuhan kepentingan yang mendasar, kepuasan internal dimana
seseorang memainkan perannya sesuai hukum dan juga harus ada pemenuhan
kepentingan luar, dalam pencapaian tujuan. Juga sangat penting bahwa tujuan
budaya yang diinginkan dalam pencapaian tujuan diperoleh dengan cara legitimasi
untuk semua kelas sosial. Jika tujuan- tujuan tersebut tidak secara sama
diperoleh melalui model yang diterima atau diinginkan, maka cara yang tidak
legitimasi akan dipergunakan untuk mencapai tujuan yang sama. Sering terjadi
perbedaan antara tujuan dan cara. Banyak penekanan di dalam tujuan dan ketidak
cukupan penekanan dalam cara pencapaian yang diterima. Untuk beberapa individu
hal tersebut merupakan kekurangan kesempatan yang bisa membawa individu
tersebut untuk mencari tujuan dengan cara apapun jika diperlukan. Menurut
Merton, kejahatan muncul melalui proses ini. Secara sederhana, penekanan
terlalu berat pada kesuksesan materi dan kekurangan kesempatan untuk mencapai
kesuksesan materi tersebut akan menuju pada tindakan kejahatan.
Untuk melengkapi teori ini, Merton mengembangkan lima reaksi
(premis) kemungkinan di dalam perbedaan tajam antara tujuan dan cara. Reaksi
pertama dan yang paling umum adalah Conformity. Seseorang individu dalam
katagori ini menerima tujuan dengan cara yang institusional. Kedua, reaksi
Innovation, dalam kasus ini seorang individu menerima tujuan yang
ditentukan oleh masyarakat kepadanya, tetapi ia menolak cara yang
institusional. Tipe individu ini akan melakukan kejahatan atau melaksanakan
cara yang tidak legitimasi untuk mencapai tujuan. Ketiga adalah reaksi
Ritualism, pada kasus ini tujuan ditolak karena individu tersebut tidak percaya
bahwa ia dapat mencapai tujuan tersebut dengan cara yang telah dipilih. Reaksi
keempat adalah Retreatism, dimana tujuan dan cara tersebut ditolak. Merton
memberikan beberapa contoh individu- individu yang berpenyakit mental dan
rusak, kecanduan obat dan alkohol. Sangat penting seseorang di dalam masyarakat,
tetapi ambil bagian dalam fungsi sosial. Reaksi kelima dan kemungkinan reaksi
terakhir adalah Rebillion. Merton menempatkan rebillion pada individu- individu
yang sudah frustasi yang memilih untuk memakai metode sosial baru untuk
menggantikan yang lama (Merton,1938:678).
Merton beberapa kali mempertahankan bahwa penekanan yang berlebihan
pada tujuan dan ketidakcukupan cara legitimasi untuk mencapai hal tersebut.
Merton menggunakan contoh memenangi suatu permainan, bukan bagaimana permainan
harus dilakukan. Merton mengemukakan bahwa kekeurangan koordinasi antara dua
phase tersebut menghasilkan keadaan anomie. Beliau menerangkan, bahwa pada
suatu masyarakat fungsi utama adalah memberikan dasar untuk berperilaku normal
dan ketika ia gagal melakukan hal tersebut maka “kekacauan budaya atau anomie”
akan terjadi (Merton, 1938:682). Solusi merton yang sama adalah untuk
mengimbangi antara dua komponen dari struktur sosial tersebut.
Pada tahun 1949, Merton merevisi “Social Structure dan Anomie”
untuk pertama kali. Perubahannya di publikasi dalam buku yang kemudian diedit
oleh Ruth Anshen dalam judul “The family” (Merton 1949, 226). Beliau melakukan
beberapa revisi termasuk penjelasan lebih lanjut dari tujuan budaya, cara
institusional dan lima adapsi/ reaksi individu dalam situasi
tertekan. Dalam revisi 1949 “Social Structure and Anomie”, Merton
berubah definisi aspirasi budaya untuk memasukan beberapa tujuan sebagai
objektif legitimasi untuk semua atau anggota masyarakat pada lokasi yang
berbeda- beda. Pada penjelasan beliau mengenai cara beliau merubah definisi
sedikit tetapi maksud relatif sama. Beliau mengakhiri mengenai tujuan dan cara
hampir sama dengan penjelasan beliau sebelumnya.Beliau memulai diskusi dalam
revisi tentang
akumulasi kekayaan dan mimpi Amerika. Merton mengemukakan American
Dream dan tujuan orang Amerika untuk mencapai kesuksesan dan menyatakan
bahwa tidak tujuan akhir antar mimpi tujuan tersebut. American Dream adalah
melingkar (cyclical) secara alamiah. Seorang individu menginginkan sesuatu
lebih dari yang telah dia peroleh dan ketika ia mencapai kelebihan sedikit
tersebut, proses tersebut akan mulai kembali. (Merton, 1949:233). Merton
(1949:233) mengemukan bahwa original dari mimpi tersebut adalah keinginan orang
tua yang beliau angap sebagai “tali kesinambungan dari nilai- nilai dan tujuan-
tujuan dari suatu kelompok dimana mereka merupakan bagiannya, dengan peranan
sekolah sebagai lembaga resmi untuk melanjutkan nilai- nilai yang berlaku”.
Beliau juga mengklaim bahwa individu menyerang dari segala sisi dengan tujuan
budaya yang diterima dari berbagai contoh. Revisi kedua dari Merton adalah
dalam adapsi Conformity, beliau menambahkan penjelasan lebih lanjut mengenai
masyarakat dalam fungsi sebagai model. Beliau menyatakan, bahwa kecuali ada
nilai kebersamaan oleh individu,maka disana tidak ada yang lain tetapi hubungan
sosial, tidak bermasyarakat ( no society). Beliau memberikan referensi secara
tidak langsung pada kenyataan bahwa ini mungkin adalah kasus di dalam
bermasyarakat (Merton: 1949:236).
Dalam menjelaskan tentang innovation, Merton kemudian
mengembangkan proposisi bahwa seseorang individu yang tidak secara benar
menginternalisasi cara yang sesuai untuk mencapai tujuan memilih jalan untuk
melepaskan. Beliau juga mengemukakan bahwa disiplin psikologi mengembangkan
bahwa orang yang mempunyai andil emosional dalam pencapaian tujuan yang
diterima akan secara tidak normal berani mengambil resiko dengan harapan untuk
mencapai tujuan akhir yang diinginkan. Pada point ini, Merton memasukkan maksud
dalam tujuan akhir pada innovation.
Selanjutnya Merton mengemukakan bahwa proses cara
internalisasi tersebut kebanyakan berlaku pada masyarakat kelas
yang lebih rendah. Merton menginterjeksi pekerjaan Edwin Sutherland dan
teorinya dalam tindakan kriminal kerah putih pada judul yang sama. Penambahan
ini menyarankan agar bahwa pada masyarakat atas dan menengah atas juga terjadi
internalisasi American Dream dan akan
melakukan apapun untuk mencapai sukses.
Merton juga memperluas konsep Ritualism lebih menyeluruh dalam
merevisi proper-nya. Beliau memulai ekspansi khusus dengan mempertanyakan
apakah orang yang mengadapsi situasi tertekan dalam bentuk Ritualism adalah benar orang jahat. Beliau selanjutnya menjelaskan
bahwa individu yang termasuk dalam adapsi ini adalah masyarakat kelas menengah
bawah dengan moral yang kuat. Merton mengklaim internalisasi moral yang kuat
dan realisasi tujuan budaya yang diinginkan tidak secara sama diperoleh oleh
seluruh penduduk membuat individu tersebut memilih untuk inovasi dan cara yang
tidak legitimasi.
Dalam definisi Retrealist, Merton tetap pada
pendirian definisi originalnya. Beliau memperluas hanya pada konsep dengan
memberikan contoh Charlie Chaplin’s Bum. Merton mengatakan (1949:251)
mengatakan bahwa mencontohkan “a precise
characterolical portrait of adaption IV”. Bum menjelaskan sebagai “selalu
keliling dimana dia tidak punya tempat dan menuju pada ketidakadaan” (always the butt of a crazy and bewildering
world in which he has no place and from which he constantly runs away into a
contended do nothingness)” (Merton, 1949:251). Reatreatist yang dijelaskan
Merton adalah yang paling sedikit diadapsi dari semua reaksi dan paling tidak
disukai oleh masyarakat dengan menolak tujuan social dan cara untuk mencapai
tujuan tersebut.
Adapsi terakhir dalam paper revisi Merton adalah Rebellion. Merton selanjutnya
menjelaskan bahwa Rebellion adalah akibat dari individu yang frutasi dengan
cara mereka yang ada dan mengharapkan kedua perubahan tujuan yang ada dan cara
yang ada (Merton 1949:252-254). Merton menutup revisi pada paper dengan diskusi
mengenai peran dari keluarga. Tujuan dari diskusi adalah sebagian bertujuan
untuk menjelaskan bagaimana peran keluarga masuk
dalam struktur social dan anomie. Disini tujuan Merton terutama
memperluas peranan keluarga dalam tujuan budaya yang diterima dan cara untuk
mencapai keinginan terakhir.
Pada tahun 1957, Merton memublikasikan paper revisi lain dengan
judul “Social Structure and Anomie”
sebagai bab dalam bukunya Social Theory
and Social Structure. Kerja ini secara
fundamental sama seperti versi 1949 dengan pengecualian pada penambahan
beberapa contoh untuk diskusi yang berkembang yang mempengaruhi American Dream.
III.
PERKEMBANGAN TEORI ROBERT K. MERTON
a.
Pfohl (1994:
276-279), yang mengusulkan supaya beberapa ide Merton dipergunakan dalam
program di Amerika Serikat. Beliau yang mengemukakan bahwa untuk menghadapi
strategi keseimbangan kesempatan bagi semua golongan dan gender. Beliau juga
mengemukakan ide mobilisasi untuk kaum muda (mobilization for youth) dari
perspektif anomie. Program mobilisasi untuk kaum muda tersebut meliputi (1)
meningkatan kemampuan kerja bagi kaum muda dan keluarga dalam penghasilan yang
lebih rendah., (2) meningkatakan dan membuat kesempatan pelatihan dan fasilitas
persiapan untuk kerja, (3) membantu kaum muda untuk memperoleh tujuan bekerja
yang sesuai dengan kemampuannya, (4) membantu kaum muda minoritas untuk
mengatasi diskriminasi didalam pekerjannya. Dalam pencapaian tujuannya, mobilization
for youth merancang serangkaian penemuan yang nemberikan jasa dan pelatihan
khusus kaum muda.
b.
Talcott Parsons, beliau yang
pertama kali berusaha memformulasikan teori Merton. Beliau juga mengemukakan
tidak semua individu dalam masyarakat mempunyai akses yang sama pada cara untuk
mencapai tujuan yang diterima. Parsons menggunakan model sendiri yang
menyarankan dua tambahan tipe penekanan, yakni penekanan yang muncul ketika
individu tidak mampu membuat secara institusional objek attachment yang diterimasebagaimana
dilakukan pihak lawan. Tipe penekanan kedua adalah penekanan yang muncul ketika
seseorang tidak dapat mengkonsiliasi kepentingan ekspektasinya dengan
ekspektasi orang lain. Parsons juga mengidentifikasikan pentingnya kebudayaan
dan
struktur social, tetapi beliau juga melihat kepentingan untuk memahami motivasi
individu. Beliau memakai proposisi ini untuk mengembangkan teori Merton.
c.
Robert Dubin, ikut andil
juag dalam pengembanagan teori Merton. Beliau mengformulasi teori anomie dengan
melihat kejahatan sebagai kerusakan pada masyarakat. Dubin melakukan pendekatan
kejahatan dari posisi functionalist. Beliau selanjutnya mengemukakan bahwa
adapsi perilaku kejahatan pada situasi anomie tidak selalu mengakibatkan
kerugian pada masyarakat. Adapsi tersebut bisa juga merupakan kontribusi pada
masyarakat daripada sesuatu yang merugikan, contohnya bisa dilihat dapat dalam
adapsi ritualistic, seseorang yang merupakan individu masyarakat, walaupun
berperilaku kejahatan tetap “bermain sesuai sesuai denagn aturan hukum yang
ada” dan merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat.
d.
Richard Cloward dan Llyod Ohlin,
mereka juga dianggap sebagai pelopor pengembangan teori Merton. Cloward
sependapat dengan proposisi Merton, dimana terdapat perbedaan kesempatan yang
legitimasi. Namun, beliau juga mengemukakan terdapat perbedaan kesempatan yang
tidak legitimasi.
e.
Albert Cohen, beliau juga
termasuk salah satu pengkritik teori Merton. Beliau mengklaim teori Merton
dirancang untuk beberapa kasus perilaku kejahatan dan tidak semua kejahatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERILAKU
POLITIK DEMONSTRAN DALAM MERESPON MEGA SKANDAL BAIL OUT BANK CENTURY
Demonstrasi
merupakan salah satu bentuk dari perilaku politik yang dilakukan oleh suatu
masyarakat, kelompok sosial, atau individu yang dilakukan untuk menyuarakan
aspirasi, pendapat, dan ssebagainya. Demonstarasi biasanya dilakukan apabila
terjadi suatu kebijakan yang tidak sesuai atau menuntut keadilan dan lain
sebagainya dan dilakukan oleh sejumlah massa yang cukup banyak.
Dinamika
politik dalam beberapa waktu lalu boleh dikatakan cukup panas dimana pada
beberapa waktu yang lalu diraikan dengan pro kontra mengenai kebijakan Bailout
Century. Kasus Century menjadi perhatian banyak pihak karena banyak yang
menganggap ini sebagai ulangan dari kasus BLBI yang merugikan banyak uang
Negara[2]. Seperti kasus BLBI, kasus
Century ini banyak pihak mengindikasikan banyak sekali kecurangan, serta
ketidak beresan di dalamnya. Dari hal itu banyak tuntutan agar kasus Bank
Century segera diselesaikan dan pihak – pihak yang terkait dengan kebijakan
tersebut harus bertanggung jawab. Kasus Bank Century ini kontan, membuat
seluruh elemen masyarakat mengamati dan tercurahkan perhatian ke masalah
tersebut. Karena kasus tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah yang
berarti bila memang benar ada kecurangan maka akan berdampak pada keberlanjutan
pemerintahan SBY – Boediono.
Seiring dengan
proses pengungkapan yang dilakukan oleh DPR dengan Pansusnya, yang
mengindikasikan memang ada kesalahan dalam bailout Century, maka banyak elemen
bangsa seperti mahasiswa, LSM, dan masyarakat melakukan tuntutan agar kasus ini
diselesaikan. Berbagai demonstrasi dilakukan oleh mahasiswa untuk menuntuk
pihak – pihak terkait untuk
bertanggung jawab. Berbagai orasi dilakukan oleh demonstran, selain
itu aksi teatrikal juga dilakukan para demonstran untuk menyaurakat
tuntutannya.
Demonstrasi
yang dilakukan oleh para demonstran tidak hanya orasi dan aksi teatrikal namun
juga mambawa foto – foto baik itu Boediono maupun Sri Mulyani yang diberi
tanduk dibagian kepala serta taring di bagian mulutnya. Selain itu demonstrasi
yang dilakukan oleh demonstran juga terjadi kontroversi yaitu munculnya kerbau
“SiBuYa” dlam aksi demonstrasi. Kontroversi demo kerbau 'SiBuYa' ini bermula pada
demo menyambut hari ke-100 pemerintahan SBY-Boediono, 28 Januari 2010 lalu.
Kerbau yang ikut berdemo itu dimake-up sedemikian rupa. Badan yang hitam diberi
tulisan 'Si BuaYa' sebagai inisial namanya. Di bagian bokongnya ditempeli
gambar kartun pria berpeci mirip Presiden SBY, dengan tulisan “turun!” Kerbau
tersebut berjalan bersama dua orang pendemo yang berdandan serba putih, dengan
memakai celana pendek.
B. BAIL OUT; MEGA SKANDAL BANK CENTURY
Gonjang ganjing Skandal Bank Century
ternyata sangat menarik untuk kita bedah singkat, selain masalah
kriminalitas perbankan yang dilakukan Bank Century, saya menyimpulkan
terdiri dari 3 point secara garis besar; 1) Kebijakan politik bailout/suntikan 6,7
trilun, 2) Prosedur 3) Skema aliran dana.
Sebetulnya dari rekomendasi BPK
RI 23 November 2009 lalu di DPR RI mengenai hasil audit BPK
terhadap Bank Century tahap pertama dapat diduga bersikap tegas telah terjadi
penyimpangan.[3]
Sederhana namun ini sah 100 % dapat menjungkalkan Boediono sebagai Wapres
dan Sri Mulyani Menteri Keuangan, karena pada periode pemerintahan yang
lalu Budiono sebagai Gubernur BI dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan
adalah orang yang bertanggung jawab penuh kucuran kredit tersebut dari
LPS (Lembaga Penjamin Simpanan)
dengan rekomendasi Bank Indonesia melalui
keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang mereka pimpin.
Secara prosedural BI (Bank Indonesia) juga
telah melakukan kesalahan fatal, dan BPK memberikan laporan kesalahan yang
cukup proporsonal (Detik Finance, 23/11/2009). Sayangnya BPK pada bagian poin ke 3 mengenai
skema aliran dana Bank Century BPK hanya menduga 500 m tidak secara rinci,
karena PPATK memberikan data tidak begitu detail. Mengenai isu rumor 1,8 T dari
LSM Bendera,[4] adanya
bocoran dana yang masuk kekantung pribadi, lembaga, dan mafia politik sejumlah
11 orang, hingga kini PPATK masih menelusuri dan BPK dengan dugaan 500
milyard. PPATK sendiri mensinyalir benar ada beberapa indikasi
diselewengkan. Saya percaya data dari Bendera belum valid dan akan
terkena pinalty dari orang yang bersangkutan. Namun sebatas laporan ini harus
diperiksa dugaan kebocoran tersebut dan KPK nampaknya akan kerja ekstra
keras (Kompas, 4/12/2009). Secara kasat mata dana 6,7
trilyun dana yang digelontorkan tersebut memang terlalu besar sangat rawan
kebocoran.
Mestinya pemerintah cukup mengganti uang
nasabah yang dilarikan pemilik Bank Century dan tidak perlu
menanggung beban melakukan penyehatan terhadap Bank tersebut. Tindakan
selanjutnya adalah bagaimana melakukan pembekuan aset Bank Century baik didalam
maupun diluar negeri untuk membayar kerugian terhadap nasabah dan negara.
Dengan demikian biaya yang ditanggung tidak terlalu besar dan beresiko
kebocoran serta dapat melakukan tindakan hukum yang keras terhadap Bank
Century, sehingga kebijakan ini diharapkan dapat pula menjadi peringatan
bagi dunia perbankan untuk tidak melakukan tindak kriminal.
C. KARTEL BIROKRASI DALAM BAIL OUT BANK
CENTURY
Pertarungan para auditor dan investigator
(PPATK, BPK, KPK) patut kita hargai namun sekali lagi tidak selalu
dimaknai dengan independensi dan profesionalisme pada proses dan titik akhir
meskipun sudah memaparkan data apa adanya atau ada yang harus diduga ditutupi[5],
plus ditambah laporan elemen masyarakat. Kecurigaan harus tetap dijaga dalam
koridor yang benar dengan akal sehat dan intuisi.[6]
Karena siapa tahu pada babak terakhir proses politik (domain DPR) dan penegakan
hukum (Kejagung, Polri, KPK) sesungguhnya telah terjadi kompromi
besar-besaran untuk mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. Meminjam
filosofi dari Ibu Kita Kartini yang dibalik, “Habis Terang Terbitlah Gelap “, sekaligus
pula membalikan statement SBY yang mengatakan, ”Buatlah Segalanya Terang Benderang“.
SBY tipikal demokrat dan moderat tetapi
ia harus sadar resiko dan konsekwensinya. Minimal 2 (dua) orang pembantu
terdekatnya harus ia copot untuk point 1 dan 2, apalagi yang point ke 3. Saya
tidak dapat membayangkan jika itu benar sedikitnya pasti ada seperti yang
disinyalir PPATK, dan BPK juga telah menyatakan sebesar 500 M terhadap seorang
nasabah yang diduga menjadi mafia.
Mengenai ranah politik fraksi Partai Demokrat
akan muntang manting dan masuk angin (syukur tidak sakit perut), jika mereka
tidak berjiwa legowo. Sekali lagi minimal SBY dan Partai Demokrat harus
sudah siap mental kehilangan 1 (satu) orang Wapres dan 1 (satu) orang Menkeu.
Ini pembelajaran demokrasi garis batas itu harus jelas. Mana pemerintah dan
partai pemenang, mana yang oposisi. Dan bukan tidak mungkin mosi tidak percaya
jatuh terhadap pemerintahan SBY apabila partai-partai yang berkoalisi dan duduk
dalam pemerintahan menyatakan demikian. Namun, seperti yang sudah-sudah umumnya
Pansus Hak Angket berjalan sangat lambat, mandul dan kurang memuaskan
bagi keadilan. Sekali lagi kita harus sudah siap tidak berharap pada mereka.
D. ASSET 11 s/d 13 TRILYUN ASSET
BANK CENTURY DI LUAR NEGERI
Melihat fenomena kejadian secara kronologis
terbaca bahwa kasus Bank Century ini adalah kasus penipuan dan perampokan
besar-besaran uang nasabahnya (Suara
Surabaya, 30/11/2009). Saya sependapat dengan Kwik Kian Gie
yang mengupas dari awal dan jernih. Kini tugas berat bagi Polri dengan
Kabag Reskim Baru Ito Sumardi dan Kejagung melakukan kordinasi recovery
menangkap serta mensita asset mereka yang ternyata berdasarkan laporan
terakhir, besarnya 11,6-13 Trilyun di luar negeri yang diduga dilarikan
dan pencucian uang (money laundring) (Republika,4/12/2009). Informasi terakhir 13 Trilyun (Media
Indonesia, 30 Nov. 2009) ini harus digarap benar kita berharap pada
Kabag Reskim yang baru Ito Sumardi dan Kejagung begitupula PPATK yang juga ikut
mengejar aliran dana tersebut hingga ke luar negeri yang diduga disimpan
di 13 negara, di antaranya Inggris, Hong Kong, dan Singapura. Aset senilai Rp
11 triliun itu diparkir di luar negeri oleh tiga pemilik Bank Century, yaitu
Robert Tantular, Hesham Alwarraq, dan Rafat Ali Rizvi (Koran
Tempo,3/12/2009).
Pantas saja Kabag Reskim yang lama, Susno
Djuadi ketika berhadapan dengan Komisi 3 DPR RI bicara tentang Bank
Century, meskipun tidak ada relevansinya dengan pemanggilannya terkait rekaman
suara Anggodo di Gedung MK, sangat tidak nyambung, dan malah menawarkan diri
sebagai makelar untuk pengembalian aset tersebut dari pemilik yang melarikan
diri. Ini tentu juga sangat mengherankan, ada apa sebenarnya dibalik
kriminalisasi Bibit Chandra dengan Bank Century.
E. HUKUM HARUS DITEGAKAN DENGAN ADIL
Pengembalian aset Bank Century semoga ini
dapat menyelamatkan uang negara sebesar 6, 7 Trilyun, namun proses hukum tindak
pidana kriminal ini harus tetap jalan terus. Jangan
kemudian yang terjadi adalah semacam barter
politik, ekonomi, dan hukum (bargaining of power)[7]
antara banyak pihak yang terlibat dengan kasus tersebut. Bagaimanapun hukum harus
ditegakan dengan adil
meskipun pahit dan beresiko besar membawa disintegrasi dan disharmony
bangsa yang mengarah pada konflik horisontal dan vertikal. Penegakan
hukum harus dilakukan dengan tegas sebelum dampak besar lainnya menyusul dimasa
datang.
Dana tersebut memang bukan dari APBN tetapi
dari LPS yang ujungnya merupakan dana BI milik rakyat juga, secara
simultan ini juga mempengaruhi perekonomian negara dan investasi ditanam
yang kian berkurang, yang rugi adalah pemerintah dengan menalangi Bank Century.
Belum tentu pengembalian hutang tersebut dalam tempo singkat dapat
kembali dalam waktu 5 tahun. Jadi terlalu mengada-ada sekali
pemerintah ketika pada awalnya melakukan bail out, kasus Bank Century akan membawa
efek domino dan sistemik terhadap bank lainnya seperti krisis multidimensi
tahun 1997-1998, apalagi ditambah dikaitkan situasi Amerika Serikat. Logika
yang salah lagi dan berbeda dengan situasi yang dihadapi. Fundamental ekonomi
kita masih cukup kuat dan pengaruh krisis finansial hanya 20 % ekspor kita ke
AS.
Saya membayangkan jika saja tidak ada
kejahatan kriminal Bank Century dan kebijakan yang salah kaprah dari
pemerintah, maka dana 6,7 Trilyun tersebut dapat digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, tentu ini akan lebih bermanfaat bagi
bangsa ini.
BAB III
KESIMPULAN
Kasus Bank
Century, sekarang bernama Bank Mutiara, mencuat akibat dugaan membengkaknya
dana talangan (bailout) yang digulirkan oleh LPS sebesar Rp6,7 triliun. Sementara
itu, jumlah dana talangan yang disetujui oleh DPR hanyalah sebesar Rp1,3
triliun.Selisih dari angka tersebut ditengarai oleh banyak pihak sebagai
praktik penyimpangan di dalam proses penyelamatan Bank Century. Seperti kita
ketahui, banyak elemen masyarakat, seperti pengamat, politisi, atau LSM menduga
bahwa dana bailout Bank Century telah disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu
di luar tujuan penyelamatan bank itu sendiri.
Dugaan
penyelewengan dana talangan berkembang secara beragam dan tidak terarah namun
bermuara pada upaya mendiskreditkan Pemerintah dalam hal ini Bank
Indonesia,Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), serta Menteri Keuangan dan
pejabat di LPS. Sebagian pihak menuding bahwa dana itu digunakan untuk
membiayai kampanye calon presiden/ wakil presiden tertentu. Sebagian lainnya
menganggap kucuran dana bailout Bank Century diperuntukkan untuk menutupi
kerugian seseorang yang dianggap telah “berjasa” dalam kegiatan politik calon
presiden tertentu.
Sementara itu,
terdapat dugaan lain yang mensinyalir bahwa kucuran dana talangan tersebut dinikmati
oleh para pejabat yang berkuasa pada saat kasus itu terjadi sehingga
mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi. Semua dugaan tersebut di atas
berkembang sedemikian rupa di tengah-tengah minimnya informasi tentang fakta
yang sebenarnya melatari kasus Bank Century. Dalam banyak hal, situasi tersebut
menimbulkan silang pendapat, kontroversi, dan persepsi yang sebenarnya belum
teruji secara faktual.
Jadi, tidk
hanya perilaku menyimpang masyarakat saja yang menjadi tontonan dalam kasus
tersebut, akan tetapi dalam dugaan kasus mega skandal bail out bank century ini
juga berpotensi menimbulkan label-label kepada para tersangka dugaan penyelewengan
dana talangan tersebut.
1.
Proses Labeling
Persepsi subjektif masyarakat terhadap pejabat yang berkaitan dengan kasus
Bank Century bila secara terus menerus diberitakan oleh media massa, maka
persepsi negatif akan terkonstruksi terhadap pejabat tersebut sehingga tindakan
yang pernah dilakukannya seolah-olah telah merupakan sebuah penyimpangan
(deviasi). Hal tersebut dapat dijelaskan melalui teori labeling dari Frank
Tannenbaum bahwa proses pelabelan terjadi pada seseorang akibat dari cap yang
diberikan masyarakat secara terus menerus terhadap perbuatannya yang diyakini
sebagai sebuah penyimpangan dari pranata yang ada pada masyarakat
tersebut.Padahal pembuktian secara empiris belum terjadi.Kondisi ini,membuat
stigma negatif bagi orang tersebut dalam pandangan masyarakat sehingga orang
tersebut dipaksa menyesuaikan dirinya pada situasi tersebut. Akibat proses
labeling, tidak tertutup kemungkinan seorang pelaku kejahatan mengalami
perubahan identitas pribadi.
Suatu tindakan
penghukuman yang keras dan terus menerus justru dapat menjadi kontraproduktif.
Pada akhirnya mengakibatkan si pelaku merasa dirinya layak disebut sebagai
pelaku kejahatan. Mengacu pada teori tersebut, bila kita membahas tentang Bank
Century maka telah terjadi proses labeling terhadap para pejabat yang terkait
dalam proses penyelamatan Bank Century. Bahkan,sebagaimana aksi protes yang
marak akhir-akhir ini dua tokoh pejabat sentral dalam kasus Bank Century, yaitu
mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati selaku Ketua KSSK dicap “melanggar hukum” sehingga didesak
mengundurkan diri dari jabatannya tersebut.Padahal data yang dimiliki oleh
masyarakat tentang kasus Bank Century masih sangat minim bahkan masih bersifat
simpang siur. Implikasi dari labeling terhadap kedua pejabat tersebut di atas
secara mikro akan mengganggu ketenangan di dalam melakukan tugasnya, bahkan
juga akan mengusik rasa keadilan bagi diri dan
keluarganya.
Secara makro, akan mempengaruhi kredibilitas perbankan Indonesia di hadapan masyarakat
Indonesia dan global.
2.
Politisasi
Selain
labeling, isu Century ini juga sudah mengarah pada politisasi, bahkan
impeachment. Isu ini sejatinya juga bukan hanya kali ini menerpa kepemimpinan
SBY. Lima tahun pertama masa pemerintahannya lalu isu semacam ini juga banyak
muncul.Hanya saja,masyarakat tak banyak merespons manuver para elite karena
dianggap terlalu politis dan hanya mementingkan kekuasaan. Dengan kata lain,
rakyat masih percaya pada SBY. Mereka juga membuat justifikasi konstitusional
melalui sejumlah pasal UUD 1945. Sejauh ini, Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 yang dijadikan sebagai landasan justifikasi upaya impeachment tersebut.Di
sana dinyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap
negara,korupsi,penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
Namun,
sesederhana itukah masalah pemakzulan presiden? Di masa lalu, aksi-aksi
esktraparlementer berupa penggalangan mosi tidak percaya dan demonstrasi massa
memang terasa begitu mudah berujung pada pemakzulan presiden. Akan tetapi, satu
hal yang sering kali dilupakan oleh banyak pihak adalah aksi ekstraparlemeter
yang berujung pada pemakzulan presiden semacam itu sesungguhnya tidak bekerja
sendirian, melainkan membutuhkan kehadiran struktur politik yang mendukung.
Soekarno,Soeharto,dan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dapat dijatuhkan dari kursi kekuasaan karena adanya
dukungan dari MPRS dan MPR selaku lembaga tertinggi negara yang
memiliki
kewenangan untuk memilih dan menjatuhkan presiden. Seiring dengan berkembangnya
berbagai pemikiran dan keinginan untuk mengembangkan demokrasi di
Indonesia,kewenangan untuk memilih dan
menurunkan presiden pun dihilangkan sehingga tidak lagi melekat dalam diri MPR
dewasa ini. Dengan kata lain MPR tak bisa menjatuhkan Presiden lagi,
sebagaimana yang terjadi pada kasus Gus Dur. Kita berharap semua pihak,
terutama elite dapat berpikir jernih untuk melihat isu Century. Jangan sampai
masyarakat dijejali pelabelan dan politisasi sehingga mengaburkan kebenaran itu
sendiri.
3.
Solusi Permasalahan
Untuk
menjernihkan permasalahan Bank Century dan menghindari terjadinya proses
labelingyang berkelanjutan,maka penyelesaian kasus Bank Century harus
berlangsung di tiga ranah yang saling berkaitan. Ranah pertama adalah ranah
politik di DPR, di mana panitia khusus (pansus) Bank Century yang akan dibentuk
harus dapat menginvestigasi secara objektif proses pengambilan kebijakan dan
implementasinya dalam rangka penyelamatan Bank Century[8]. Dengan
demikian, upaya politisasi terhadap kasus Bank Century harus dihindari demi
memperoleh hasil yang objektif dari kerja pansus tersebut. Ranah kedua
merupakan ranah penegakan hukum bila di dalam proses investigasi kasus Bank
Century ditemukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ketentuan, baik pada
saat kebijakan diputuskan maupun saat kebijakan diimplementasikan. Ranah ketiga
merupakan ranah sosial,dimana perlu pencerahan masyarakat mengenai latar
belakang dan tujuan penyelamatan Bank Century pada kondisi saat itu.
Dengan
demikian, masyarakat dapat memahami bahwa penyelamatan Bank Century adalah
upaya untuk menghindari kerugian yang lebih besar (efek domino) dari dunia
perbankan yang dapat mengakibatkan keruntuhan ekonomi Indonesia. Dengan ketiga
ranah solusi di atas, diharapkan masyarakat di masa mendatang tidak gegabah
melakukan proses labeling terhadap seseorang, khususnya pejabat publik, sebelum
terjadi pembuktian atas tindakannya. Dengan demikian, citra bangsa dan negara
kita tidaktercorengdimatainternasional.
[1] Jurnal Ekonomi Politik; Kartel Investor
dan Mafia Politik Perbankan. Hal 24, Edisi V, Setjend DPR RI, tahun 2009.
[2] Prahara Pembangunan; Developmentaslisme dan Keadilan
Yang Cacat; Opini Kompas; Ikhsanuddin Noorsy, 26 Maret 2010.
[6] Gurita Ekonomi; Salaman Hamdani, “Intuisi Akal Sehat Para
Bankir”, Hlm. 38, 2005, Sinar Harapan Perss.
[7] Politik Isu Tunggal; Eman Hermawan, Hal 38, 2003, Klik R,
Yogyakarta
[8] Jurnal Parlemen; Politik Kebijakan Bail Out Bank
Century, Hal 57, Edisi X, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulisan ini adalah hasil kesimpulan bacaan dari beberapa sumber media> Monggo silahkan berkomentar. Salam