Selasa, 17 Juli 2012

TUGAS MAKALAH SOSIOLOGI HUKUM




TEORI ANOMIE ROBERT K. MERTON
“AKSI DEMONSTRASI TERHADAP ISU BAIL OUT BANK CENTURY”
MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS TRISAKTI
 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Proses perpolitikan Indonesia mengalami suatu keadaan yang cukup dinamis. Dinamika politik begitu cepat berubah seiring dengan adanya kejadian – kejadian yang membuat para praktisi politik bahkan masyarakat memanas. Hal ini diakibatkan oleh adanya arus media yang secara terang – terangan membuka informasi kepada masyarakat mengenai jalannya perpolitikan di Indonesia.

Berbagai peristiwa beberapa waktu lalu seperti kebijakan pemerintah terkait bank Century menjadi suatu dinamika politik yang cukup menyita perhatian. Kebijakan mengenai Bailout Bank Century kontak menuai pro dan kontra. Ada kalangan yang menganggap bahwa bailout tersebut tepat namun banyak kalangan yang justru menganggap proses bailout Century salah dan ada unsure korupsi di dalamnya.[1] Pihak – pihak yang kontra dengan bailout Century sangat banyak dan bahkan menuntuk masalah ini diselesaikan dengan meminta pihak – pihak yang terkait atas kebijakan bailout Century untuk bertanggung jawab. Namun proses yang diinginkan ternyata belum berjalan dengan apa yang dikehendaki masyarakat. dari hal itu beberapa elemen masyarakat dan mahasiswa melakukan demonstrasi menuntuk kasus century diselesaikan dan pihak yang bertanggungjawab diadili.

Demonstrasi dilakukan sebagai sebuah tindakan untuk menyampaikan aspirasi dan dilakukan oleh kerumunan massa yang cukup besar serta biasanya dilakukan dengan orasi. Peristiwa demonstrasi yang dilakukan elemen mahasiswa ternyata tidak hanya sekedar menyuarakan aspirasi melalui orasi saja, namun para demonstaran juga melakukan tindakan – tindakan yang menyita perhatian antara lain membawa foto pejabat dengan diberi tanduk di kepala dan taring di mulutnya. Selain itu yang cukup menarik lagi adalah hadirnya sesosok


kerbau yang dibawa para demonstran yang diberi tulisan “Si BuYa”. Hal ini bahkan menjadi suatu kontroversi yang berbuntut panjang.

Dalam ilmu sosiologi hokum dikenal dengan teori anomie atau perilaku menyimpanng dari masyarakat. Anomie, dalam literatur kontemporer bahasa inggris berarti suatu kondisi atau keadaan tertekan pada individu, yang ditandai dengan ketiadaan atau kehilangan suatu standar atau nilai. Kata Anomie berasal dari bahasa Yunani awalan a:” tidak” dan nomos: “hukum”. Pengertian original dari anomie adalah siapapun atau barangsiapa yang berlawanan atau diluar “hukum”, atau suatu kondisi dimana hukum yang ada tidak dapat diaplikasikan sehingga menghasilkan keadaan negara menjadi tidak mempunyai legitimasi atau tanpa hukum. Bahasa kontemporer inggris juga mengartikan anomie sebagai anarkis.

Menurut Emile Durkheim sosiolog yang berasal dari perancis yang merupakan pioner dari teori anomie yang kemudian dilanjutkan oleh Robert K. Merton. Ia mengartikan anomie sebagai reaksi berlaanan, atau pemunduran dari pengaturan kontrol sosial dalam masyarakat, dan merupakan suatu konsep yang terpisah secara sempurna dari suatu kondisi anarkis yang merupakan keabsenan efektivitas penguasa atau pemimpin. Sedangnklan menurut Robert K. Merton, ia juga mengadopsi ide anomie di dalam mengembangkan konsep Strain Theory nya. Ia mendefinisikan anomie sebagai diskrepansi antara tujuan- tujuan umum sosial dan maksud legitimasi untuk memperoleh tujuan- tujuan tersebut secara letimigasi dikarenakan keterbatasan struktural di dalam masyarakat. Akibatnya individu tersebut mengembangkan perilaku kejahatan.

B.     PEMBAHASAN TEORI ANOMI ROBERT K. MERTON
Anomie di kenal sebagai teori dalam disiplin ilmu kriminologi. Merton pertama kali mempublikasikan teori anomie pada tahun 1938 di dalam  artikelnya yang berjudul “Social Structure dan anomie” (Hunt, 1961:59). Kerja Merton dalam artikel tersebut yang menjadi menarik perhatian orang bahwa merton adalah artikel tersebut yang menjadi menarik perhatian orang bahwa Merton adalah seorang sosiolog. Merton membaca tulisan Emile Durkheim

mengenai anomie, kemudian Merton memperluas  dan melanjutkan teori ini dengan menemukan sebab- sebab yang mengakibatkan anomie.         

Merton mengemukakan dua elemen dari sosial dan struktur budaya. Struktur pertama adalah tujuan- tujuan dan aspirasi- aspirasi budaya (Merton, 1938:672). Ini merupakan elemen-elemen dimana semua individu seharusnya peroleh dalam kehidupan, termasuk kesuksesan, uang dan kebutuhan materi lainnya. Aspek kedua dari struktur sosial mendefinisikan cara yang di terima dalam pencapaian tujuan- tujuan dan aspirasi- aspirasi yang di tentukan oleh masyarakat (Merton, 1938:673). Ini adalah cara yang sesuai dimana setiap orang ingin capai dalam kehidupan, contohnya termasuk mematuhi hukum dan norma- norma sosial, melalui pendidikan dan kerja keras. Supaya suatu masyarakat dapat mempertahankan fungsi normatif harus ada keseimbangan antara aspirasi- aspirasi dan maksud- maksud untuk pemenuhan aspirasi- aspirasi tersebut (Merton, 1938:674). Menurut Merton keseimbangan akan ada sepanjang seseorang merasa bahwa ia telah memperoleh tujuan budaya yang diinginkanya dengan adanya “mode institusional yang diterima di dalam melakukan hal tersebut” (Merton, 1938:674). Dengan perkataan lain, harus ada pemenuhan kepentingan yang mendasar, kepuasan internal dimana seseorang memainkan perannya sesuai hukum dan juga harus ada pemenuhan kepentingan luar, dalam pencapaian tujuan. Juga sangat penting bahwa tujuan budaya yang diinginkan dalam pencapaian tujuan diperoleh dengan cara legitimasi untuk semua kelas sosial. Jika tujuan- tujuan tersebut tidak secara sama diperoleh melalui model yang diterima atau diinginkan, maka cara yang tidak legitimasi akan dipergunakan untuk mencapai tujuan yang sama. Sering terjadi perbedaan antara tujuan dan cara. Banyak penekanan di dalam tujuan dan ketidak cukupan penekanan dalam cara pencapaian yang diterima. Untuk beberapa individu hal tersebut merupakan kekurangan kesempatan yang bisa membawa individu tersebut untuk mencari tujuan dengan cara apapun jika diperlukan. Menurut Merton, kejahatan muncul melalui proses ini. Secara sederhana, penekanan terlalu berat pada kesuksesan materi dan kekurangan kesempatan untuk mencapai kesuksesan materi tersebut akan menuju pada tindakan kejahatan.
           


Untuk melengkapi teori ini, Merton mengembangkan lima reaksi (premis) kemungkinan di dalam perbedaan tajam antara tujuan dan cara. Reaksi pertama dan yang paling umum adalah Conformity. Seseorang individu dalam katagori ini menerima tujuan dengan cara yang institusional. Kedua, reaksi Innovation, dalam kasus ini seorang individu menerima tujuan yang

ditentukan oleh masyarakat kepadanya, tetapi ia menolak cara yang institusional. Tipe individu ini akan melakukan kejahatan atau melaksanakan cara yang tidak legitimasi untuk mencapai tujuan. Ketiga adalah reaksi Ritualism, pada kasus ini tujuan ditolak karena individu tersebut tidak percaya bahwa ia dapat mencapai tujuan tersebut dengan cara yang telah dipilih. Reaksi keempat adalah Retreatism, dimana tujuan dan cara tersebut ditolak. Merton memberikan beberapa contoh individu- individu yang berpenyakit mental dan rusak, kecanduan obat dan alkohol. Sangat penting seseorang di dalam masyarakat, tetapi ambil bagian dalam fungsi sosial. Reaksi kelima dan kemungkinan reaksi terakhir adalah Rebillion. Merton menempatkan rebillion pada individu- individu yang sudah frustasi yang memilih untuk memakai metode sosial baru untuk menggantikan yang lama (Merton,1938:678).
           
Merton beberapa kali mempertahankan bahwa penekanan yang berlebihan pada tujuan dan ketidakcukupan cara legitimasi untuk mencapai hal tersebut. Merton menggunakan contoh memenangi suatu permainan, bukan bagaimana permainan harus dilakukan. Merton mengemukakan bahwa kekeurangan koordinasi antara dua phase tersebut menghasilkan keadaan anomie. Beliau menerangkan, bahwa pada suatu masyarakat fungsi utama adalah memberikan dasar untuk berperilaku normal dan ketika ia gagal melakukan hal tersebut maka “kekacauan budaya atau anomie” akan terjadi (Merton, 1938:682). Solusi merton yang sama adalah untuk mengimbangi antara dua komponen dari struktur sosial tersebut.
           
Pada tahun 1949, Merton merevisi “Social Structure dan Anomie” untuk pertama kali. Perubahannya di publikasi dalam buku yang kemudian diedit oleh Ruth Anshen dalam judul “The family” (Merton 1949, 226). Beliau melakukan beberapa revisi termasuk penjelasan lebih lanjut dari tujuan budaya, cara institusional dan lima adapsi/ reaksi individu dalam situasi

tertekan. Dalam revisi 1949 “Social Structure and Anomie”, Merton berubah definisi aspirasi budaya untuk memasukan beberapa tujuan sebagai objektif legitimasi untuk semua atau anggota masyarakat pada lokasi yang berbeda- beda. Pada penjelasan beliau mengenai cara beliau merubah definisi sedikit tetapi maksud relatif sama. Beliau mengakhiri mengenai tujuan dan cara hampir sama dengan penjelasan beliau sebelumnya.Beliau memulai diskusi dalam revisi tentang

akumulasi kekayaan dan mimpi Amerika. Merton mengemukakan American Dream dan tujuan orang Amerika untuk mencapai kesuksesan dan menyatakan bahwa tidak tujuan akhir antar mimpi tujuan tersebut. American Dream adalah melingkar (cyclical) secara alamiah. Seorang individu menginginkan sesuatu lebih dari yang telah dia peroleh dan ketika ia mencapai kelebihan sedikit tersebut, proses tersebut akan mulai kembali. (Merton, 1949:233). Merton (1949:233) mengemukan bahwa original dari mimpi tersebut adalah keinginan orang tua yang beliau angap sebagai “tali kesinambungan dari nilai- nilai dan tujuan- tujuan dari suatu kelompok dimana mereka merupakan bagiannya, dengan peranan sekolah sebagai lembaga resmi untuk melanjutkan nilai- nilai yang berlaku”. Beliau juga mengklaim bahwa individu menyerang dari segala sisi dengan tujuan budaya yang diterima dari berbagai contoh. Revisi kedua dari Merton adalah dalam adapsi Conformity, beliau menambahkan penjelasan lebih lanjut mengenai masyarakat dalam fungsi sebagai model. Beliau menyatakan, bahwa kecuali ada nilai kebersamaan oleh individu,maka disana tidak ada yang lain tetapi hubungan sosial, tidak bermasyarakat ( no society). Beliau memberikan referensi secara tidak langsung pada kenyataan bahwa ini mungkin adalah kasus di dalam bermasyarakat (Merton: 1949:236).

Dalam menjelaskan tentang innovation, Merton kemudian mengembangkan proposisi bahwa seseorang individu yang tidak secara benar menginternalisasi cara yang sesuai untuk mencapai tujuan memilih jalan untuk melepaskan. Beliau juga mengemukakan bahwa disiplin psikologi mengembangkan bahwa orang yang mempunyai andil emosional dalam pencapaian tujuan yang diterima akan secara tidak normal berani mengambil resiko dengan harapan untuk mencapai tujuan akhir yang diinginkan. Pada point ini, Merton memasukkan maksud dalam tujuan akhir pada innovation. Selanjutnya Merton mengemukakan bahwa proses cara

internalisasi tersebut kebanyakan berlaku pada masyarakat kelas yang lebih rendah. Merton menginterjeksi pekerjaan Edwin Sutherland dan teorinya dalam tindakan kriminal kerah putih pada judul yang sama. Penambahan ini menyarankan agar bahwa pada masyarakat atas dan menengah atas juga terjadi internalisasi American Dream dan akan melakukan apapun untuk mencapai sukses.

Merton juga memperluas konsep Ritualism lebih menyeluruh dalam merevisi proper-nya. Beliau memulai ekspansi khusus dengan mempertanyakan apakah orang yang mengadapsi situasi tertekan dalam bentuk Ritualism adalah benar orang jahat. Beliau selanjutnya menjelaskan bahwa individu yang termasuk dalam adapsi ini adalah masyarakat kelas menengah bawah dengan moral yang kuat. Merton mengklaim internalisasi moral yang kuat dan realisasi tujuan budaya yang diinginkan tidak secara sama diperoleh oleh seluruh penduduk membuat individu tersebut memilih untuk inovasi dan cara yang tidak legitimasi.

Dalam definisi Retrealist, Merton tetap pada pendirian definisi originalnya. Beliau memperluas hanya pada konsep dengan memberikan contoh Charlie Chaplin’s Bum. Merton mengatakan (1949:251) mengatakan bahwa mencontohkan “a precise characterolical portrait of adaption IV”. Bum menjelaskan sebagai “selalu keliling dimana dia tidak punya tempat dan menuju pada ketidakadaan” (always the butt of a crazy and bewildering world in which he has no place and from which he constantly runs away into a contended do nothingness)” (Merton, 1949:251). Reatreatist yang dijelaskan Merton adalah yang paling sedikit diadapsi dari semua reaksi dan paling tidak disukai oleh masyarakat dengan menolak tujuan social dan cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Adapsi terakhir dalam paper revisi Merton adalah Rebellion. Merton selanjutnya menjelaskan bahwa Rebellion adalah akibat dari individu yang frutasi dengan cara mereka yang ada dan mengharapkan kedua perubahan tujuan yang ada dan cara yang ada (Merton 1949:252-254). Merton menutup revisi pada paper dengan diskusi mengenai peran dari keluarga. Tujuan dari diskusi adalah sebagian bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran keluarga masuk

dalam struktur social dan anomie. Disini tujuan Merton terutama memperluas peranan keluarga dalam tujuan budaya yang diterima dan cara untuk mencapai keinginan terakhir.

Pada tahun 1957, Merton memublikasikan paper revisi lain dengan judul “Social Structure and Anomie” sebagai bab dalam bukunya Social Theory and Social Structure. Kerja ini  secara fundamental sama seperti versi 1949 dengan pengecualian pada penambahan beberapa contoh untuk diskusi yang berkembang yang mempengaruhi American Dream.

III. PERKEMBANGAN TEORI ROBERT K. MERTON
a.         Pfohl (1994: 276-279), yang mengusulkan supaya beberapa ide Merton dipergunakan dalam program di Amerika Serikat. Beliau yang mengemukakan bahwa untuk menghadapi strategi keseimbangan kesempatan bagi semua golongan dan gender. Beliau juga mengemukakan ide mobilisasi untuk kaum muda (mobilization for youth) dari perspektif anomie. Program mobilisasi untuk kaum muda tersebut meliputi (1) meningkatan kemampuan kerja bagi kaum muda dan keluarga dalam penghasilan yang lebih rendah., (2) meningkatakan dan membuat kesempatan pelatihan dan fasilitas persiapan untuk kerja, (3) membantu kaum muda untuk memperoleh tujuan bekerja yang sesuai dengan kemampuannya, (4) membantu kaum muda minoritas untuk mengatasi diskriminasi didalam pekerjannya. Dalam pencapaian tujuannya, mobilization for youth merancang serangkaian penemuan yang nemberikan jasa dan pelatihan khusus kaum muda.
b.        Talcott Parsons, beliau yang pertama kali berusaha memformulasikan teori Merton. Beliau juga mengemukakan tidak semua individu dalam masyarakat mempunyai akses yang sama pada cara untuk mencapai tujuan yang diterima. Parsons menggunakan model sendiri yang menyarankan dua tambahan tipe penekanan, yakni penekanan yang muncul ketika individu tidak mampu membuat secara institusional objek attachment yang diterimasebagaimana dilakukan pihak lawan. Tipe penekanan kedua adalah penekanan yang muncul ketika seseorang tidak dapat mengkonsiliasi kepentingan ekspektasinya dengan ekspektasi orang lain. Parsons juga mengidentifikasikan pentingnya kebudayaan

dan struktur social, tetapi beliau juga melihat kepentingan untuk memahami motivasi individu. Beliau memakai proposisi ini untuk mengembangkan teori Merton.
c.         Robert Dubin, ikut andil juag dalam pengembanagan teori Merton. Beliau mengformulasi teori anomie dengan melihat kejahatan sebagai kerusakan pada masyarakat. Dubin melakukan pendekatan kejahatan dari posisi functionalist. Beliau selanjutnya mengemukakan bahwa adapsi perilaku kejahatan pada situasi anomie tidak selalu mengakibatkan kerugian pada masyarakat. Adapsi tersebut bisa juga merupakan kontribusi pada masyarakat daripada sesuatu yang merugikan, contohnya bisa dilihat dapat dalam adapsi ritualistic, seseorang yang merupakan individu masyarakat, walaupun berperilaku kejahatan tetap “bermain sesuai sesuai denagn aturan hukum yang ada” dan merupakan bagian dalam kehidupan masyarakat.
d.        Richard Cloward dan Llyod Ohlin, mereka juga dianggap sebagai pelopor pengembangan teori Merton. Cloward sependapat dengan proposisi Merton, dimana terdapat perbedaan kesempatan yang legitimasi. Namun, beliau juga mengemukakan terdapat perbedaan kesempatan yang tidak legitimasi.
e.         Albert Cohen, beliau juga termasuk salah satu pengkritik teori Merton. Beliau mengklaim teori Merton dirancang untuk beberapa kasus perilaku kejahatan dan tidak semua kejahatan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    PERILAKU POLITIK DEMONSTRAN DALAM MERESPON MEGA SKANDAL BAIL OUT BANK CENTURY
Demonstrasi merupakan salah satu bentuk dari perilaku politik yang dilakukan oleh suatu masyarakat, kelompok sosial, atau individu yang dilakukan untuk menyuarakan aspirasi, pendapat, dan ssebagainya. Demonstarasi biasanya dilakukan apabila terjadi suatu kebijakan yang tidak sesuai atau menuntut keadilan dan lain sebagainya dan dilakukan oleh sejumlah massa yang cukup banyak.

Dinamika politik dalam beberapa waktu lalu boleh dikatakan cukup panas dimana pada beberapa waktu yang lalu diraikan dengan pro kontra mengenai kebijakan Bailout Century. Kasus Century menjadi perhatian banyak pihak karena banyak yang menganggap ini sebagai ulangan dari kasus BLBI yang merugikan banyak uang Negara[2]. Seperti kasus BLBI, kasus Century ini banyak pihak mengindikasikan banyak sekali kecurangan, serta ketidak beresan di dalamnya. Dari hal itu banyak tuntutan agar kasus Bank Century segera diselesaikan dan pihak – pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut harus bertanggung jawab. Kasus Bank Century ini kontan, membuat seluruh elemen masyarakat mengamati dan tercurahkan perhatian ke masalah tersebut. Karena kasus tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah yang berarti bila memang benar ada kecurangan maka akan berdampak pada keberlanjutan pemerintahan SBY – Boediono.

Seiring dengan proses pengungkapan yang dilakukan oleh DPR dengan Pansusnya, yang mengindikasikan memang ada kesalahan dalam bailout Century, maka banyak elemen bangsa seperti mahasiswa, LSM, dan masyarakat melakukan tuntutan agar kasus ini diselesaikan. Berbagai demonstrasi dilakukan oleh mahasiswa untuk menuntuk pihak – pihak terkait untuk


bertanggung jawab. Berbagai orasi dilakukan oleh demonstran, selain itu aksi teatrikal juga dilakukan para demonstran untuk menyaurakat tuntutannya.

Demonstrasi yang dilakukan oleh para demonstran tidak hanya orasi dan aksi teatrikal namun juga mambawa foto – foto baik itu Boediono maupun Sri Mulyani yang diberi tanduk dibagian kepala serta taring di bagian mulutnya. Selain itu demonstrasi yang dilakukan oleh demonstran juga terjadi kontroversi yaitu munculnya kerbau “SiBuYa” dlam aksi demonstrasi. Kontroversi demo kerbau 'SiBuYa' ini bermula pada demo menyambut hari ke-100 pemerintahan SBY-Boediono, 28 Januari 2010 lalu. Kerbau yang ikut berdemo itu dimake-up sedemikian rupa. Badan yang hitam diberi tulisan 'Si BuaYa' sebagai inisial namanya. Di bagian bokongnya ditempeli gambar kartun pria berpeci mirip Presiden SBY, dengan tulisan “turun!” Kerbau tersebut berjalan bersama dua orang pendemo yang berdandan serba putih, dengan memakai celana pendek.

B.     BAIL OUT; MEGA SKANDAL BANK CENTURY
Gonjang ganjing Skandal  Bank Century  ternyata sangat menarik untuk kita bedah singkat, selain masalah kriminalitas perbankan yang dilakukan Bank Century,  saya menyimpulkan terdiri dari 3 point secara garis besar;  1) Kebijakan politik bailout/suntikan 6,7 trilun, 2) Prosedur 3) Skema aliran dana.

Sebetulnya dari  rekomendasi  BPK RI 23 November 2009 lalu  di DPR RI  mengenai hasil audit BPK terhadap Bank Century tahap pertama dapat diduga bersikap tegas telah terjadi penyimpangan.[3]  Sederhana namun ini sah 100 % dapat menjungkalkan Boediono sebagai Wapres dan Sri Mulyani  Menteri Keuangan, karena pada periode pemerintahan yang lalu  Budiono sebagai Gubernur BI dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan adalah orang yang bertanggung jawab penuh kucuran kredit  tersebut dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan)


dengan rekomendasi Bank Indonesia melalui keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang mereka pimpin.

Secara prosedural BI (Bank Indonesia) juga telah melakukan kesalahan fatal, dan BPK memberikan laporan kesalahan yang cukup proporsonal (Detik Finance, 23/11/2009). Sayangnya BPK pada bagian poin ke 3 mengenai skema aliran dana Bank Century BPK hanya menduga 500 m tidak secara rinci, karena PPATK memberikan data tidak begitu detail. Mengenai isu rumor 1,8 T dari LSM Bendera,[4] adanya bocoran dana yang masuk kekantung pribadi, lembaga, dan mafia politik sejumlah 11 orang, hingga kini  PPATK masih menelusuri dan BPK dengan dugaan 500 milyard.  PPATK sendiri mensinyalir benar ada beberapa indikasi diselewengkan. Saya percaya  data dari Bendera belum valid dan akan terkena pinalty dari orang yang bersangkutan. Namun sebatas laporan ini harus diperiksa dugaan  kebocoran tersebut dan KPK nampaknya akan kerja ekstra keras (Kompas, 4/12/2009). Secara   kasat mata dana 6,7 trilyun dana yang digelontorkan tersebut memang terlalu besar sangat rawan kebocoran.

Mestinya pemerintah cukup mengganti uang nasabah yang dilarikan pemilik Bank Century dan  tidak perlu menanggung  beban melakukan penyehatan terhadap Bank tersebut. Tindakan selanjutnya adalah bagaimana melakukan pembekuan aset Bank Century baik didalam maupun diluar negeri untuk membayar kerugian terhadap nasabah dan negara. Dengan demikian biaya yang ditanggung tidak terlalu besar dan beresiko kebocoran serta dapat melakukan tindakan hukum yang keras terhadap Bank Century, sehingga kebijakan ini diharapkan dapat pula  menjadi peringatan bagi dunia perbankan untuk tidak melakukan tindak kriminal.



C.    KARTEL BIROKRASI DALAM BAIL OUT BANK CENTURY

Pertarungan para auditor dan investigator (PPATK, BPK, KPK)  patut kita hargai namun sekali lagi tidak selalu dimaknai dengan independensi dan profesionalisme pada proses dan titik akhir meskipun sudah memaparkan data apa adanya atau ada yang harus diduga ditutupi[5], plus ditambah laporan elemen masyarakat. Kecurigaan harus tetap dijaga dalam koridor yang benar dengan akal sehat dan intuisi.[6] Karena siapa tahu pada babak terakhir proses politik (domain DPR) dan penegakan hukum (Kejagung, Polri, KPK)  sesungguhnya telah terjadi kompromi besar-besaran untuk mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. Meminjam filosofi  dari Ibu Kita Kartini yang dibalik,  Habis Terang Terbitlah Gelap “, sekaligus pula  membalikan statement SBY yang mengatakan, ”Buatlah Segalanya Terang Benderang“.

SBY  tipikal demokrat dan moderat tetapi ia harus sadar resiko dan konsekwensinya. Minimal 2 (dua) orang pembantu terdekatnya harus ia copot untuk point 1 dan 2, apalagi yang point ke 3. Saya tidak dapat membayangkan jika itu benar sedikitnya  pasti ada seperti yang disinyalir PPATK, dan BPK juga telah menyatakan sebesar 500 M terhadap seorang nasabah yang diduga menjadi mafia.

Mengenai ranah politik fraksi Partai Demokrat akan muntang manting dan masuk angin (syukur tidak sakit perut), jika mereka tidak berjiwa legowo.   Sekali lagi minimal SBY dan Partai Demokrat harus sudah siap mental kehilangan 1 (satu) orang Wapres dan 1 (satu) orang Menkeu. Ini pembelajaran demokrasi garis batas itu harus jelas. Mana pemerintah dan partai pemenang, mana yang oposisi. Dan bukan tidak mungkin mosi tidak percaya jatuh terhadap pemerintahan SBY apabila partai-partai yang berkoalisi dan duduk dalam pemerintahan menyatakan demikian. Namun, seperti yang sudah-sudah umumnya Pansus Hak Angket  berjalan sangat lambat, mandul dan kurang memuaskan bagi keadilan. Sekali lagi kita harus sudah siap tidak berharap pada mereka.

D.    ASSET 11 s/d 13  TRILYUN ASSET  BANK CENTURY DI LUAR NEGERI

Melihat fenomena kejadian secara kronologis terbaca bahwa kasus Bank Century ini adalah kasus penipuan dan perampokan besar-besaran uang nasabahnya (Suara Surabaya, 30/11/2009). Saya sependapat dengan Kwik Kian Gie  yang mengupas dari awal dan jernih. Kini tugas berat bagi  Polri dengan Kabag Reskim Baru Ito Sumardi  dan Kejagung melakukan kordinasi recovery menangkap serta mensita asset mereka yang ternyata berdasarkan laporan terakhir, besarnya 11,6-13  Trilyun di luar negeri yang diduga dilarikan dan pencucian uang (money laundring)  (Republika,4/12/2009). Informasi terakhir 13  Trilyun (Media Indonesia, 30 Nov. 2009) ini harus digarap benar kita berharap pada Kabag Reskim yang baru Ito Sumardi dan Kejagung begitupula PPATK yang juga ikut mengejar aliran dana tersebut hingga ke luar negeri yang diduga  disimpan di 13 negara, di antaranya Inggris, Hong Kong, dan Singapura. Aset senilai Rp 11 triliun itu diparkir di luar negeri oleh tiga pemilik Bank Century, yaitu Robert Tantular, Hesham Alwarraq, dan Rafat Ali Rizvi (Koran Tempo,3/12/2009).

Pantas saja Kabag Reskim yang lama, Susno Djuadi ketika  berhadapan dengan Komisi 3 DPR RI bicara tentang Bank Century, meskipun tidak ada relevansinya dengan pemanggilannya terkait rekaman suara Anggodo di Gedung MK, sangat tidak nyambung, dan malah menawarkan diri sebagai makelar untuk pengembalian aset tersebut dari pemilik yang melarikan diri. Ini tentu juga sangat mengherankan, ada apa sebenarnya dibalik kriminalisasi Bibit Chandra dengan Bank Century.

E.     HUKUM HARUS DITEGAKAN DENGAN ADIL

Pengembalian aset Bank Century semoga ini dapat menyelamatkan uang negara sebesar 6, 7 Trilyun, namun proses hukum tindak pidana kriminal ini harus tetap jalan terus. Jangan


kemudian yang terjadi adalah semacam barter politik,  ekonomi, dan hukum (bargaining of power)[7] antara banyak pihak yang terlibat dengan kasus tersebut. Bagaimanapun hukum harus

ditegakan dengan adil meskipun pahit dan beresiko besar  membawa disintegrasi dan disharmony bangsa yang mengarah pada konflik  horisontal dan vertikal. Penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas sebelum dampak besar lainnya menyusul dimasa datang.

Dana tersebut memang bukan dari APBN tetapi dari LPS yang ujungnya merupakan dana BI milik rakyat juga, secara  simultan ini juga mempengaruhi perekonomian negara  dan investasi ditanam yang kian berkurang, yang rugi adalah pemerintah dengan menalangi Bank Century. Belum tentu pengembalian hutang tersebut dalam tempo singkat dapat kembali  dalam waktu  5 tahun. Jadi terlalu mengada-ada sekali pemerintah ketika pada awalnya melakukan bail  out, kasus Bank Century akan membawa efek domino dan sistemik terhadap bank lainnya seperti krisis multidimensi tahun 1997-1998, apalagi ditambah dikaitkan situasi Amerika Serikat. Logika yang salah lagi dan berbeda dengan situasi yang dihadapi. Fundamental ekonomi kita masih cukup kuat dan pengaruh krisis finansial hanya 20 % ekspor kita ke AS.

Saya membayangkan jika saja tidak ada kejahatan kriminal  Bank Century dan kebijakan yang salah kaprah dari pemerintah, maka  dana 6,7 Trilyun tersebut dapat digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, tentu ini akan lebih bermanfaat bagi bangsa ini.



BAB III
KESIMPULAN

Kasus Bank Century, sekarang bernama Bank Mutiara, mencuat akibat dugaan membengkaknya dana talangan (bailout) yang digulirkan oleh LPS sebesar Rp6,7 triliun. Sementara itu, jumlah dana talangan yang disetujui oleh DPR hanyalah sebesar Rp1,3 triliun.Selisih dari angka tersebut ditengarai oleh banyak pihak sebagai praktik penyimpangan di dalam proses penyelamatan Bank Century. Seperti kita ketahui, banyak elemen masyarakat, seperti pengamat, politisi, atau LSM menduga bahwa dana bailout Bank Century telah disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu di luar tujuan penyelamatan bank itu sendiri.

Dugaan penyelewengan dana talangan berkembang secara beragam dan tidak terarah namun bermuara pada upaya mendiskreditkan Pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia,Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK), serta Menteri Keuangan dan pejabat di LPS. Sebagian pihak menuding bahwa dana itu digunakan untuk membiayai kampanye calon presiden/ wakil presiden tertentu. Sebagian lainnya menganggap kucuran dana bailout Bank Century diperuntukkan untuk menutupi kerugian seseorang yang dianggap telah “berjasa” dalam kegiatan politik calon presiden tertentu.

Sementara itu, terdapat dugaan lain yang mensinyalir bahwa kucuran dana talangan tersebut dinikmati oleh para pejabat yang berkuasa pada saat kasus itu terjadi sehingga mengindikasikan adanya tindak pidana korupsi. Semua dugaan tersebut di atas berkembang sedemikian rupa di tengah-tengah minimnya informasi tentang fakta yang sebenarnya melatari kasus Bank Century. Dalam banyak hal, situasi tersebut menimbulkan silang pendapat, kontroversi, dan persepsi yang sebenarnya belum teruji secara faktual.





Jadi, tidk hanya perilaku menyimpang masyarakat saja yang menjadi tontonan dalam kasus tersebut, akan tetapi dalam dugaan kasus mega skandal bail out bank century ini juga berpotensi menimbulkan label-label kepada para tersangka dugaan penyelewengan dana talangan tersebut.
1.      Proses Labeling
Persepsi subjektif masyarakat terhadap pejabat yang berkaitan dengan kasus Bank Century bila secara terus menerus diberitakan oleh media massa, maka persepsi negatif akan terkonstruksi terhadap pejabat tersebut sehingga tindakan yang pernah dilakukannya seolah-olah telah merupakan sebuah penyimpangan (deviasi). Hal tersebut dapat dijelaskan melalui teori labeling dari Frank Tannenbaum bahwa proses pelabelan terjadi pada seseorang akibat dari cap yang diberikan masyarakat secara terus menerus terhadap perbuatannya yang diyakini sebagai sebuah penyimpangan dari pranata yang ada pada masyarakat tersebut.Padahal pembuktian secara empiris belum terjadi.Kondisi ini,membuat stigma negatif bagi orang tersebut dalam pandangan masyarakat sehingga orang tersebut dipaksa menyesuaikan dirinya pada situasi tersebut. Akibat proses labeling, tidak tertutup kemungkinan seorang pelaku kejahatan mengalami perubahan identitas pribadi.

Suatu tindakan penghukuman yang keras dan terus menerus justru dapat menjadi kontraproduktif. Pada akhirnya mengakibatkan si pelaku merasa dirinya layak disebut sebagai pelaku kejahatan. Mengacu pada teori tersebut, bila kita membahas tentang Bank Century maka telah terjadi proses labeling terhadap para pejabat yang terkait dalam proses penyelamatan Bank Century. Bahkan,sebagaimana aksi protes yang marak akhir-akhir ini dua tokoh pejabat sentral dalam kasus Bank Century, yaitu mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati selaku Ketua KSSK dicap “melanggar hukum” sehingga didesak mengundurkan diri dari jabatannya tersebut.Padahal data yang dimiliki oleh masyarakat tentang kasus Bank Century masih sangat minim bahkan masih bersifat simpang siur. Implikasi dari labeling terhadap kedua pejabat tersebut di atas secara mikro akan mengganggu ketenangan di dalam melakukan tugasnya, bahkan juga akan mengusik rasa keadilan bagi diri dan


keluarganya. Secara makro, akan mempengaruhi kredibilitas perbankan Indonesia di hadapan masyarakat Indonesia dan global.
2.      Politisasi
Selain labeling, isu Century ini juga sudah mengarah pada politisasi, bahkan impeachment. Isu ini sejatinya juga bukan hanya kali ini menerpa kepemimpinan SBY. Lima tahun pertama masa pemerintahannya lalu isu semacam ini juga banyak muncul.Hanya saja,masyarakat tak banyak merespons manuver para elite karena dianggap terlalu politis dan hanya mementingkan kekuasaan. Dengan kata lain, rakyat masih percaya pada SBY. Mereka juga membuat justifikasi konstitusional melalui sejumlah pasal UUD 1945. Sejauh ini, Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dijadikan sebagai landasan justifikasi upaya impeachment tersebut.Di sana dinyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara,korupsi,penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.

Namun, sesederhana itukah masalah pemakzulan presiden? Di masa lalu, aksi-aksi esktraparlementer berupa penggalangan mosi tidak percaya dan demonstrasi massa memang terasa begitu mudah berujung pada pemakzulan presiden. Akan tetapi, satu hal yang sering kali dilupakan oleh banyak pihak adalah aksi ekstraparlemeter yang berujung pada pemakzulan presiden semacam itu sesungguhnya tidak bekerja sendirian, melainkan membutuhkan kehadiran struktur politik yang mendukung.

Soekarno,Soeharto,dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dapat dijatuhkan dari kursi kekuasaan karena adanya dukungan dari MPRS dan MPR selaku lembaga tertinggi negara yang



memiliki kewenangan untuk memilih dan menjatuhkan presiden. Seiring dengan berkembangnya berbagai pemikiran dan keinginan untuk mengembangkan demokrasi di Indonesia,kewenangan  untuk memilih dan menurunkan presiden pun dihilangkan sehingga tidak lagi melekat dalam diri MPR dewasa ini. Dengan kata lain MPR tak bisa menjatuhkan Presiden lagi, sebagaimana yang terjadi pada kasus Gus Dur. Kita berharap semua pihak, terutama elite dapat berpikir jernih untuk melihat isu Century. Jangan sampai masyarakat dijejali pelabelan dan politisasi sehingga mengaburkan kebenaran itu sendiri.
3.      Solusi Permasalahan
Untuk menjernihkan permasalahan Bank Century dan menghindari terjadinya proses labelingyang berkelanjutan,maka penyelesaian kasus Bank Century harus berlangsung di tiga ranah yang saling berkaitan. Ranah pertama adalah ranah politik di DPR, di mana panitia khusus (pansus) Bank Century yang akan dibentuk harus dapat menginvestigasi secara objektif proses pengambilan kebijakan dan implementasinya dalam rangka penyelamatan Bank Century[8]. Dengan demikian, upaya politisasi terhadap kasus Bank Century harus dihindari demi memperoleh hasil yang objektif dari kerja pansus tersebut. Ranah kedua merupakan ranah penegakan hukum bila di dalam proses investigasi kasus Bank Century ditemukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ketentuan, baik pada saat kebijakan diputuskan maupun saat kebijakan diimplementasikan. Ranah ketiga merupakan ranah sosial,dimana perlu pencerahan masyarakat mengenai latar belakang dan tujuan penyelamatan Bank Century pada kondisi saat itu.

Dengan demikian, masyarakat dapat memahami bahwa penyelamatan Bank Century adalah upaya untuk menghindari kerugian yang lebih besar (efek domino) dari dunia perbankan yang dapat mengakibatkan keruntuhan ekonomi Indonesia. Dengan ketiga ranah solusi di atas, diharapkan masyarakat di masa mendatang tidak gegabah melakukan proses labeling terhadap seseorang, khususnya pejabat publik, sebelum terjadi pembuktian atas tindakannya. Dengan demikian, citra bangsa dan negara kita tidaktercorengdimatainternasional.


[1] Jurnal Ekonomi Politik; Kartel Investor dan Mafia Politik Perbankan. Hal 24, Edisi V, Setjend DPR RI, tahun 2009.
[2] Prahara Pembangunan; Developmentaslisme dan Keadilan Yang Cacat; Opini Kompas; Ikhsanuddin Noorsy, 26  Maret 2010.
[4] Primair Online; Rumor Aliran Dana Bail Out Untuk Oknum LSM, 27 / 11/ 2009.
[5] Sinar Indonesia Baru; Transparansi Audit BPK dan PPATK,  26/11/2009,
[6] Gurita Ekonomi; Salaman Hamdani, “Intuisi Akal Sehat Para Bankir”, Hlm. 38, 2005, Sinar Harapan Perss.
[7] Politik Isu Tunggal; Eman Hermawan, Hal 38, 2003, Klik R, Yogyakarta
[8] Jurnal Parlemen; Politik Kebijakan Bail Out Bank Century, Hal 57, Edisi X, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan ini adalah hasil kesimpulan bacaan dari beberapa sumber media> Monggo silahkan berkomentar. Salam