“ANALISIS PUTUSAN HUKUM TERHADAP PENYELEWENGAN BANTUAN LIKUIDITAS BANK
INDONESIA (BLBI)” (AMAR PUTUSAN MA NO 977, 979, 981 K/PID 2005)
BAB
I
A. PENDAHULUAN
I. LATAR
BELAKANG
Perkembangan
hukum di Indonesia sejak era reformasi sampai hari ini sangat dipenguruhi oleh
politik hukum, sehingga hukum yang berjalan
seolah abai terhadap rasa keadilan masyarakat. Adanya fenomena campur tangan
kekuasaan dan politik terhadap proses hokum yang berlaku justru mencedari
independensi dn supremasi hokum itu sendiri. Yang terjadi justru proses hukum yang mengedepakan kepentingan kelompok atau golongan
tertentu.
Bahwa semua
negara mengakui adanya asas Persamaan di Depan Hukum (Equality
Before The Law) seperti asas rule
of law yang dipakai oleh Negara Anglo Saxon yang meliputi Supremacy Of Law dan Constitution Based On
Human Rights, jadi berdasarkan hal tersebut maka pemberlakuan Eguality Before The Law harus mengikat
siapa saja baik laki-laki, perempuan, rakyat biasa, orang kaya, aparat hukum
maupun pejabat sekalipun. Akan tetapi kebijakan politik hukum di Indonesia yang
berkembang selama ini tidak bisa memenuhi criteria dan standarisasi supremasi
hukum itu sendiri. Fenomena ini jelas tidak dapat memenuhi asas persamaan di
depan hukum (Equality Before The Law) sebagaimana yang disebutkan dalam
pasal 27 ayat 1 dan pasal 28 ayat 1 UUD 1945, asas ini memberikan landasan
bahwa penegakan hukum tidak boleh membedakan ras, suku, agama, jenis kelamin,
kelompok, golongan dan
singakatnya tidak boleh pandang bulu.
Dalam
mengambil sebuah keputusan, seorang hakim harus berdasarkan kekuasaan kehakiman
sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat
(1) berbunyi : “Bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai pilar utama pengadilan
dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi seorang hakim
untuk menemukan, menentukan sebuah putusan hukumnya dalam suatu perkara
meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas.
Era
reformasi adalah era dimana struktur kekuasaan saat ini menjadi sangat
tetrbuka. Akibat adanya akses politik, kekuasaan, ekonomi dan hokum menjadikan
seluruh masyarakat benar-benar menikmatyi efuria di era reformasi sat ini.
Fenomena ini tentu menjadi hal penting yang sangat di idamkan oleh semua
kelompok masyarakat tanpa terkecuali. Akan tetapi, uforia reformasi yang
berlebihan justru menimbulkan banyaknya
tindakan0tindakan yang melanggar hokum. Maraknya kasus korupsi yang terungkap
ke permukaan baik di daerah maupun pusat menyebabkan supremasi dan proses
penegakan hokum di Indonesia menjadi lemah. Hal tersebut juga berdampak pada
sikap apatisme masyarakat terhadap aparatur penegak hokum yang menjadi bagian
terpenting dari struktur pemerintaha sebuah negara. Apatisme masyarakat
terhadap aparatur penegak hukum terjadi karena elit negeri ini baik
pemerintahan pusat maupun pemerintahan
daerah telah berlomba-lomba melakukan perbuatan melawan hukum materill atau
melakukan tindak pidana korupsi dengan unsur kesengajaan.
II.
BATASAN PERMASALAHAN
Dari uraian
di atas maka penulis akan mengemukakan penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI), sebab kasus tersebut adalah kasus tindak pidana korupsi yang
sarat dengan aroma kekuasaan politik sehingga kekuasaan kehakiman menjadi macan
ompong. Menurut L.
Simanjuntak, dalam tesisnya yang berjudul Democratic Transition and the
Politics of Corruption in Indonesia, bertahannya korupsi di Indonesia
adalah karena struktur ekonomi politik masih secara jelas memfasilitasi
struktur dan jejaring rente, sehingga biaya ekonomi yang harus dibayar
sehari-hari hampir selalu lebih tinggi daripada seharusnya, dan hampir selalu
ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari kondisi tersebut.
Disisi lain
bertahannya korupsi juga karena masih sangat lemahnya kontrol publik terhadap
elite-elite pemerintahan yang sebagian besar juga merupakan representasi pada
struktur patrimonial yang masih hidup subur di dalam masyarakat kita. Dalam
makalah teori hukum kali ini, penulis akan membuat batasan masalah mengenai
kasus penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang
selanjutnya dalam paper ini disingkat dengan BLBI adalah suatu kasus yang
fenomenal dalam sejarah perekonomian, perbankan, sistem serta praktek
hukum yang terjadi di Indonesia. Kasus tersebut dikualifikasikan sebagai kasus
yang sifatnya fenomenal, karena dalam penanganannya, yang semestinya murni
sebagai hal-hal yang bersifat biasa dalam sistem perbankan universal, ternyata
memiliki dimensi dimensi hukum, politis, perdata dan aspek pidana.
Skandal
BLBI adalah salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia yang magnitudenya
telah mendunia, melewati beberapa rezim pemerintahan dengan berbagai perannya.
Pemerintahan Soeharto (1997 – 1998) mengundang IMF (internasional Monetary
Bank) untuk merestrukturisasi perbankan yang mau kolaps dengan terms
yang ketat melalui letter of intent. Pemerintahan Habibie (1998 –
1999) berperan dalam memperkenalkan assessmen untuk penanganannya antara lain
dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan (BPPN). Pemerintahan Gus Dur (1999
– 2000) mengeksekusi penjualan aset aset di bawah BPPN. Pemerintahan Megawati
(2000 – 2004) menerbitkan Release and Discharge kepada para pengemplang BLBI
yang koperatif, dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004 – 2009) secara aktif
dan selektif mengundang dengan karpet merah mereka mereka yang telah memperoleh
Release and Discharge, tetapi kemudian mempersoalkan, membatalkan bahkan
menangkapi dan memenjarakan para obligor BLBI yang telah dinyatakan sebelumnya
tidak akan menghadapi tuntutan hukum.
BAB II
B. ANALISIS
SINGKAT KASUS BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA
I.
Kronologi Bantuan
Likuiditas bank Indonesia
Berawal
dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per
satu mata uang negara-negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan
perekonomian negara-negara di Asia yang banyak dipuji oleh banyak pihak
sebelumnya. Bahkan persis sebelum krisis, World Bank tahun 1997
menerbitkan laporan berjudul The Asian
Miracle yang menunjukkan kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata
keberhasilan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia tidak berdaya
menghadapi spekulan mata uang dan berujung pada krisis ekonomi. Menyusul
jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi
pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi
kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304
(12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai
melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14% (Prasetyantono, 2000:26).
Tekanan
yang semakin berat terhadap rupiah mendorong Bank Indonesia untuk melepas
system kurs mengambang terkendali (managed floating) dan mengambangkan
nilai rupiah sepenuhnya pada mekanisme pasar uang (free floating). Kebijakan ini juga diikuti dengan dinaikkannya
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari kisaran 14%-17% sampai
28%-30%. Strategi lain yang dipergunakan oleh otoritas moneter adalah
dengan menyimpan dana-dana dari BUMN dan yayasan milik pemerintah ke
SBI. Kebijakan uang ketat ini mengakibatkan melonjaknya tingkat suku
bunga inter-bank. Tingkat suku bunga yang awalnya hanya berkisar 16%-17%
melonjak hingga 100%. Bahkan pada tanggal 22 Agustus 1997, suku bunga
inter-bank melonjak hingga 300% yang membuat bank mengalami kelangkaan
likuiditas. Kesulitan likuiditas yang dialami perbankan memaksa bank
untuk meningkatkan suku bunga deposito untuk menghimpun dana masyarakat.
Tetapi melonjaknya suku bunga deposito secara otomatis juga meningkatkan
suku bunga pinjaman.
Akibatnya,
kredit bermasalah atau nonperforming loan pun semakin naik karena banyak
kreditor tidak sanggup membayar bunga yang tinggi. Kebijakan uang
ketat juga mengakibatkan banyak bank melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum
(GWM) di Bank Indonesia. GWM merupakan dana cadangan wajib bank di Bank Indonesia.
BI menetapkan jumlah minimum GWM yang harus dipenuhi oleh bank-bank di Indonesia
untuk mengikuti kliring. Tanggal 16 April 1997 Bank Indonesia telah memberlakukan
peraturan yang mengharuskan bank mempunyai GWM 5% (meningkat dari sebelumnya
3%).
Kelangkaan
likuiditas juga mengakibatkan banyak bank kalah kliring atau rekening gironya
di Bank Indonesia bersaldo debet. Berita mengenai kalah kliring memicu
keresahan di masyarakat yang akhirnya mendorong masyarakat untuk menarik
uang mereka di bank secara serentak. Meluasnya keresahan yang berujung
pada penarikan simpanan besar-besaran atau rush, juga turut dipicu oleh
likuidasi 16 bank nasional. Padahal tujuan pencabutan ijin usaha 16 bank tersebut
dimaksudkan untuk melakukan penataan perbankan nasional.
II.
Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia
Akibat rush, bank kemudian
meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort. Istilah ini
merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi
darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI2.
Sesehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak
tentu tidak akan sanggup memenuhinya. Terutama karena dana simpanan tersebut
disalurkan kembali ke masyarakat oleh bank dalam bentuk kredit yang tidak
mungkin ditarik bank dalam waktu sekejap. Apalagi di saat krisis ekonomi,
aktivitas sektor riil praktis berhenti dan tingkat kredit bermasalah (non-performing
loan) semakin meningkat.
Dalam BLBI sendiri terdapat 5
fasilitas dengan ketentuan-ketentuan yang berbeda sebagai berikut;
a) Fasilitas
yang diberikan untuk mempertahankan kestabilan sistem pembayaran, yaitu bila
terjadi mismatch antara penerimaan dan penarikan dana, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Fasilitas untuk jangka pendek dikenal dengan Fasilitas
Diskonto I, sedangkan fasilitas jangka panjang disebut dengan Fasilitas
Diskonto II.
b) Fasilitas
dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter (SBPU)
lelang dan bilateral.
c) Fasilitas
dalam rangka penyehatan bank atau kredit likuiditas darurat dan kredit
subordinasi.
d) Fasilitas
untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan sistem pembayaran
sehubungan dengan rush atau penarikan dana secara besar-besaran
(penarikan cadangan wajib dan saldo negatif atau saldo debet (overdraft)
rekening bank di Bank Indonesia.
e) Fasilitas
untuk mempertahankan kepercayaan kepada perbankan Indonesia (dana talangan
untuk membayar kewajiban luar negeri dan dalam rangka penjaminan oleh
pemerintah).
Persoalan lain adalah pelanggaran
BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit). BMPK membatasi pemberian kredit kepada
kelompok usaha sendiri. Tetapi kenyataannya justru kredit bank justru diberikan
ke unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan. Penyimpangan
BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi kepada bank-bank untuk mengikuti
kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan
kepada semua bank tanpa melakukan pre-audit untuk mengetahui apakah bank
tersebut benar-benar membutuhkan bantuan likuiditas dan kondisinya sehat.
Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI.
III.
Peran BI Terhadap
Penyimpangan Penyaluran BLBI
Adapun Peran BI terhadap
penyimpangan penggunaan BLBI oleh bank penerima antara lain:
a)
Tidak melaksanakan
fungsi pengawasan perbankan
b)
Tidak menerapkan sanksi
secara tegas dan konsekuen terhadap setiap pelanggaran yang terjadi.
c)
Mengabaikan
langkah-langkah pengamanan yang diperlukan terhadap bank-bank yang pada laporan
berkalanya telah menunjukkan adanya pelanggaran yang cukup material, seperti:
ü Kejanggalan-kejanggalan
mutasi akuntansi dalam laporan yang disampaikan bank-bank ke BI.
ü Adanya
diskriminasi penyaluran BLBI kepada bank-bank tertentu yang kepemilikan
sahamnya mempunyai keterkaitan dengan BI.
ü Melakukan
intervensi valas melalui bank-bank yang rekening giro rupiahnya telah bersaldo
debet.
ü Tidak
melaksanakan program penjaminan yang telah ditetapkan dalam Keppres No. 26
tahun 1998 dan ketentuan pelaksanaannya dan tetap membiarkan bank-bank
menyelesaikan kewajiban jatuh tempo melalui mekanisme kliring.
IV.
Korelasi Kasus BLBI Terhadap Aturan
Hukum Perundang-Undangan
1.
Inpres No. 8 Tahun 2002
Release And Discharge Cacat Hukum
Kebijakan Release and Discharge yang
bersumber pada Inpres No. 8 Tahun 2002 adalah cacat hukum karena telah melanggar dan/atau
bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan yang lebih tinggi, antara
lain:
a)
UUD 1945
Pasal
1 ayat 3 menyatakan: “ Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum”. Ketentuan
tersebut memberikan makna segala permasalahan negara harus diselesaikan bukan
dengan kekuasaan semata, tetapi harus
sesuai dengan prosedur hukum. Kenyataannya Inpres No.8 Tahun 2002 menunjukkan
bahwa Presiden telah mengintervensi kekuasaan yudikatif dengan menginstruksikan
membebaskan seseorang yang tersangkut kasus pidana tanpa proses hokum melalui peradilan,
atau dengan kata lain Presiden menyelesaikan permasalahan hukum dengan
kekuasaan semata.
b)
Ketetapan MPR
Setidaknya
ada tiga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) yang pada intinya menyebutkan bahwa upaya
pemberantasan dan penindakan hukum dalam perkara korupsi harus dilakukan secara tegas
dan sungguh-sungguh. Pertama, TAP
MPR No.IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme khususnya dalam pasal 4 secara tegas menyebutkan: “ Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat
negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak
swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan
prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.” Kedua, TAP MPR No.
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dengan maksud untuk mempercepat dan lebih
menjamin efektifitas pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, maka pasal 2
ayat 2 merekomendasikan untuk ; “Melakukan penindakan hukum yang lebih
bersungguh sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah
terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi
hukuman yang seberat beratnya.”
Ketiga,
TAP MPR No. X/MPR/2001, yang isinya
antara lain, memberi penugasan pada Presiden dalam Pengelolaan dan penjualan
asset-aset yang dikelola BPPN, antara lain, “ c) Pemerintah perlu konsisten menjalankan
MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) dan MRA (Master of
Refinancing Agreement), dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya
sesuai dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS butir C Nomor
2, 3, 4 perlu diambil tindakan tegas.”;
Bahwa
berdasarkan Ketetapan MPR tersebut diatas, Presiden sebagai Madataris MPR dalam
membuat kebijakan, dan atau keputusan Presiden tidak boleh bertentangan dan
harus berpedoman pada apa yang telah digariskan oleh MPR, yaitu dalam hal kebijakan
dan keputusan yang menyangkut pelaku tindak pidana KKN, Presiden harus
bertindak tegas, tanpa pandang bulu terhadap semua kasus korupsi, kolusi dan
nepotisme, termasuk dalam hal penyelesaian masalah hutang para Konglomerat
hitam yang telah banyak merugikan keuangan negara, yaitu dengan dijatuhi
hukuman yang seberat-beratnya jika terbukti bersalah.
Berdasarkan uraian tersebut karena
Inpres No.8 Tahun 2002 memberikan pembebasan dan ampunan pada debitur tersangka
kasus korupsi maka Inpres tersebut melanggar dan/atau bertentangan TAP MPR
dalam hal pemberantasan korupsi.
a) UU
No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 4 UU No. 31 tahun 1999,
menyebutkan ; “ Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara
tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 3”; Bahwa Release and Discharge diberikan kepada
debitur BLBI karena dianggap telah mengembalikan hutang/uang negara. Hal ini
sama dengan pengertian tersangka telah mengembalikan kerugian negara dalam
rumusan pasal 4 UU No. 31 tahun 1999. Oleh karena itu Inpres No.8 Tahun 2002
yang menyatakan pemberian Release and Discharge membebaskan debitur dari
tuntutan pidana karena dianggap sudah mengembalikan uang negara, adalah bertentangan
ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan
negara tidak menghapuskan dipidananya seseorang.
b)
UU No.5 Tahun 1991
tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun
1991, menyebutkan antara lain ; “... kejaksaan, adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan”. Demikian juga pasal 1 ayat
(3) menyatakan ; “ Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim di sidang pengadilan.”
Selanjutnya penjelasan umum UU No.5
Tahun 1991,menyatakan antara lain;
“…Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah pisahkan
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan dan
kebenaran berdasarkan Ketuhanan YME dan senantiasa menjunjung tinggi prinsip
bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya didalam hukum”.
Ketentuan UU Kejaksaan tersebut
telah secara tegas menyatakan “ Kejaksaan melaksanakan kekuasaan negara
dibidang penuntutan “ artinya Presiden sebagai kepala Pemerintahan tidak dapat
semena semena memerintahkan pada Kejaksaan untuk membebaskan seseorang yang
terdapat cukup bukti diduga melakukan tindak pidana, khususnya dalam tindak
pidana korupsi. UU 31 Tahun 1999 sudah secara tegas menyatakan bahwa
pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya seseorang,
maka menurut hukum Kejaksaan harus tetap melimpahkan tersangka debitur BPPN ke
pengadilan walaupun sudah mendapatkan Release and Discharge dari BPPN.
Jika Jaksa Agung menggunakan hak
opurtunitasnya untuk membebaskan debitur dengan alas an “kepentingan umum”
karena telah mendapat Release and Discharge , artinya Jaksa Agung telah
menyalah tafsirkan pengertian “ kepentingan umum“ karena Tap MPR telah secara
tegas menggariskan komitmen seluruh Rakyat Indonesia bahwa kepentingan bagi
seluruh rakyat Indonesia adalah terhadap para koruptor harus ditindak tegas
tanpa pandang bulu dan harus dihukum seberat-beratnya. Jika ternyata Jaksa
Agung berdasarkan Inpres tersebut membebaskan para debitur dari tuntutan pidana
maka artinya Jaksa Agung menjalankan tugas dan wewenangnya menyimpang dari UU
No.5 Tahun 1991, karena telah bertentangan dengan keadilan dan kebenaran, dan
telah mengingkari prinsip setiap orang bersamaan kedudukannya di depan hukum (equality
before the law).
Dengan pertimbangan bahwa Inpres
No. 8 Tahun 2002 adalah cacat hukum maka penghentian penyidikan (SP3) yang
dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2003 terhadap sedikitnya 10 debitur
BLBI yang telah mendapatkan R&D harus juga dinyatakan sebagai cacat hukum.
Pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada debitur yang dinilai kooperatif
hanya menghilangkan aspek keperdataannya sedangkan secara pidana proses hukum
terhadap debitur yang diduga melakukan penyimpangan dana BLBI harus terus
berjalan hingga ke tahap pengadilan.
2.
Tidak Ada Alasan
Penghapusan Pidana Bagi Para Debitur Yang Melakukan Penyimpangan Dana Blbi
Dalam teori ilmu hukum pidana
terdapat beberapa alasan yang menghapuskan pidana seseorang yang terdiri atas;
a)
Alasan pembenar yaitu
alasan yang menghapaskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang
dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar
b)
Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan
kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan
hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana , tetapi dia tidak dipidana karena
tidak ada kesalahan.
c)
Alasan penghapusan penuntutan, dengan dasar
pertimbangan utilitas atau kemanfaatan dimasyarakat (atau istilah lainya
kepentingan umum), maka sesorang meskipun dinilai melakukan perbuatan melawan
hukum, pemerintah dapat tidak mengajukan penuntutan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) sendiri terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang
penghapusan pidana antara lain:
a)
Pasal 48 KUHP; Tidak dapat
dipidana barangsiapa yang melakukan perbuatan, karena pengaruh daya paksa
(overmacht).
b)
Pasal 51 ayat (1) KUHP;
Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
c)
Pasal 50 KUHP; Tidak
dapat dipidana, barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melakukan ketentuan
undang-undang.
Pada
prinsipnya, penyaluran dana BLBI hanya boleh dipergunakan untuk membayar atau melunasi kewajiban
bank kepada pihak ketiga atau dalam hal ini dana nasabah. Namun kenyataannya dari
total penerimaan BLBI pada 48 bank, yaitu senilai Rp. 144,53 triliun, audit
investigasi BPK tahun 2000 telah ditemukan berbagai pelanggaran yang dilakukan
para Bank Penerima BLBI. Sebanyak 11 jenis penyimpangan yang ditemukan dalam
penggunaan dana BLBI yang nilainya mencapai Rp. 84,84 triliun atau 59,7% dari
keseluruhan BLBI (per 29 Januari 1999).
Apa
yang dilakukan oleh para oleh para debitur dalam menggunakan dana BLBI- yang
dinilai sebagai penyimpangan oleh BPK dan merugikan keuangan negara- tidaklah
tepat untuk diterapkan ketentuan penghapusan pidana sebagaimana yang diatur
dalam beberapa ketentuan KUHP tersebut. Karena perbuatan yang dilakukan para
debitur tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan yang dilakukan
dalam kondisi memaksa/darurat (overmacht), melaksanakan perintah jabatan,
maupun melaksanakan ketentuan undangundang.
Selain
penghapusan pidana, KUHP juga mengatur mengenai peniadaan penuntutan atau
penghapusan hak menuntut yang diatur secara umum dalam bab VIII buku I KUHP
antara lain :
a)
Telah ada putusan hakim
yang berkekuatan hukum tetap mengenai tindak pidana yang sama (nebis in idem)
(pasal 76 KUHP);
b)
Terdakwa meninggal
dunia (pasal 77 KUHP);
c)
Perkara tersebut
daluwarsa (pasal 78 KUPH);
d)
Terjadinya penyelesaian
di luar persidangan (pasal 82 KUHP)
Jika
melihat dari kriteria-kriteria tersebut, maka tidak ada satupun kriteria yang
dapat dijadikan alasan untuk menghentikan penyidikan atas kasus BLBI. Selain
ketentuan yang diatur dalam KUHP, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana korupsi dalam pasal 4 jelas menyebutkan bahwa pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.
Dengan
demikian Surat Keterangan Lunas atau release and discharge bukan
merupakan alasan penghapusan pidana atau peniadaan tuntutan sehingga para
debitur BLBI yang dinilai tidak memliki itikad baik dan melakukan penyimpangan
penggunaan dana BLBI harus tetap diproses hingga di pengadilan.
3.
Putusan Represif Negara
Penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Mencermati uraian di atas ternyata jelas menampakan dan memperlihatkan
kekuasaan politik semakin merajalela dalam proses pengambilan keputusan hukum. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya
pelaku korupsi penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang di hukum
ringan kemudian melarikan diri, bahkan ada di antara mereka yang belum di
proses secara hukum, sungguh ironis Indonesia sebagai negara yang berdasarkan
hukum tetapi telah berubah menjadi negara berdasarkan kekuasaan sehingga telah
melakukan pembiaran terhadap orang-orang yang telah melakukan tindakan melawan
hokum serta berakibat tetrhadap bangkrutnya kekayaan Negara.
Fenomena para pelaku tindak pidana dalam kasus tersebut telah mencederai
proses penegkan hukum dengan
keterlibatan kekuatan politik sehingga para tersangka tidak dapat di sentuh
secara hukum padahal telah melakukan perbuatan melawan hukum materiil.
Dalam hal penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) telah menunjukkan kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus
ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Rakyat jadi korban karena efek
berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian utang. Sementara para penjahat
diampuni dan tetap dapat ‘bertengger’ dengan leluasa di atas pundi-pundi uang
yang dicuri. Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi
terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil
audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang
dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan berpotensi
merugikan negara.
Dengan perkembangan kasus penyimpangan Bantuan Likuiditas bank Indonesia
(BLBI), jelas terlihat proses hukum yang dipergaruhi oleh kekuatan politik
sehingga putusan sebuah proses hukum menyebabkan suatu pemerintah yang sedang
berkuasa akan menjadi represif. Jika pemerintah berlaku represif maka tidak ada
lagi memperhatikan kepentingan orang-orang disekitarnya, karena rezim represif
menempatkan seluruh kepentingan tanpa lagi memperhatikan rambu-rambu hukum
positif maupun norma-norma yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat sehingga aturan hukum yang berlaku menjadi tidak bermanfaat untuk di
pergunakan dalam kehidupan sehari karena dari awal telah adanya unsur
kesengajaan untuk melupakan dan meninggalkan aturan hukum tersebut.
Dalam rangka penegakan hukum bagi hakim (dalam kasus apapaun), maka
ilfiltrasi kekuasaan politik terhadap proses putusan hukum menjadi “Hukum
Represif” yang mempengaruhi kekuasan hakim dalam memutuskan suatu perkara di
persidangan. Hal tersebut terlihat secara sistimatis dan menunjukan karakter
antara lain sebagai berikut;
a)
Institusi hukum secara langsung
dapat di akses oleh kekuatan politik, hukum diindentifikasikan sama dengan
Negara dan ditempatkan dibawah tujuan Negara (raison d”etat).
b)
Langgengnya sebuah otoritas
merupakan urusan yang paling penting dalam administrasi hukum, kenyamanan
administrasi menjadi titik berat perhatian.
c)
Lembaga-lembaga kontrol yang
terstruktur seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan lembaga lainnya,
menjadi pusat kekuasaan yang independen, mereka terisolasi dari konteks sosial
yang berfungsi memperlunak serta mampu menolak otoritas politik.
d)
Sebuah rezim hukum berganda (dual
law) keadilan berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi
pola-pola suburdinasi social.
e)
Hukum pidana merefleksikan
nilai-nilai yang dominan, terhadap hukum yang akan menang.
Jadi
berdasarkan uraian diatas maka apabila di hubungan dengan pendapat Philippe
Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Low and Society in
Transition: Toward Responsive Law yang mengatakan: “Politik Hukum Nasional bertujuan menciptakan sebuah system hukum
nasional yang rasional, transparan, demokrastis, otonom, dan responsive
terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem
hukum yang bersifat menindas, ortodoks, dan reduksionistik”.
Sehingga
permasalahan dalam rangka menciptakan sistem hukum yang digambarkan oleh Nonet,
dan Selznick; otonom atau menindas, ‘Responsive atau Ortodoks, Imperatif atau Fakultatif” tersebut
bukanlah perkara mudah namun diperlukan kerjasama berbagai pihak baik
pemerintah, partai politik dan masyarakat untuk mewujudkannya. Sebab apabila
kepentingan politik yang ditonjolkan dalam rangka penegakan hukum maka jelas
menyebabkan hal-hal sebagai berikut;
a)
Pranata-pranata hukum secara
langsung disediakan bagi kekuasaan politik dan hukum diidentifikasikan dengan
negara dan tunduk pada kepentingan Negara.
b)
Kelestarian kekuasaan adalah tugas dari penegakan hokum dan alat-alat kendali khusus pengendalian khusus, seperti
polisi menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
PERBAIKAN SISTEMATIKA BAHASAN
MAKALAH PADA BAB II, ROMAWI V, HALAMAN 22, TENTANG “ANALISIS PUTUSAN HUKUM
TERHADAP PENYELEWENGAN BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (BLBI)”
V.
PUTUSAN MA NO 977, 979, 981
K/PID 2005 Tentang Penyelewengan
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Putusan terhadap 3 mamntan direktur BI pada 21-06-2005 PN Jakpus
mengirimkan putusan MA tentang kasus BLBI denngan terpidana 3 mantan direktur
BI yakni; Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, Heru Supratomo. Dalam
putusan tersebut, mereka dihukum 2 tahun 6 bulan dengan denda 200 juta
(terdakwa merugikan negara sebanyak 2, 21 Triliun). Dalam pertimbangannya,
majelis hakim menyebutkan secara sah dan meyakinkan bahwa ketiganya telah
bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan
berkelanjutan.
Bahwa sejarah kasus BLBI bermula
adanya pinnjaman yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank-bank yang
mengalami likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter di Indonesia, skema
ini dilakukan atas dasar perjanjian dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Dalam
kasus tersebut beberapa mantan Direktur BI telah menjadi narapidana antara lain
Paul Sutopo Tjokronegoro, 3 tahun penjara, Hendro Bidiyanto 2,5 tahun penjara
dan Heru Supratomo 3 tahun penjara, hukuman tersebut jelas terlalu ringan jika
melihat kerugian negara ratusan triliun.
Bahwa menyimak uraian di atas mengenai
PUTUSAN MA NO 977, 979, 981 K/PID
2005 tentang Penyelewengan Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ternyata jelas menampakan dan
memperlihatkan kekuasaan politik semakin merajalela hal ini disebabkan karena
telah merambah ke para koruptor, hal tersebut dapat dibuktikan banyaknya pelaku
korupsi penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang di hukum ringan
kemudian melarikan diri, bahkan ada di antara mereka yang belum di proses
secara hukum, sungguh ironis Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum
tetapi telah berobah menjadi negara berdasarkan kekuasaan sehingga telah
melakukan pembiaran terhadap orang-orang yang telah membuat bangkrutnya negara
ini yang tidak dapat di sentun secara hukum padahal telah melakukan perbuatan
melawan hukum materiil, dan disaat para koruptor BLBI bisa hidup tenang dan
aman tanpa tersentuh hukum maka pada saat itu juga rakyat Indonesia di landa
kesusahan dan kemiskinan sehingga rasa keadilan telah di cabik-cabik oleh
penegakan hukum yang tidak jelas, tidak adil dan tidak pasti.
Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum begitulah kata Konstitusi, namun hukum tidak bisa ditegakan
kalau tidak ada kekuasaan yang menegakannya, persoalannya sekarang adalah
sering sekali hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara korupsi
terhalang tembok kekuasaan (politik) sehingga hukum dalam kenyataan hanya
berpihak kepada kelompok penguasa saja dan hukum bukan lagi sebagai Instrumen
untuk mengatur prilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari tetapi sebagai
alat untuk melegitimasi kekuasaan terhadap kelompok-kelompok yang berkepentingan
untuk itu.
BAB
III
C. PENUTUP
I. KESIMPULAN
PUTUSAN
a)
Tidak Adanya
Keseriusan dan Transparansi Aparat Penegak Hukum
Setelah menelaah lebih jauh
mengani kasus penyelewengan tersebut, maka penulis dapat memberikan kesimpulan
bahwa adanya intervensi dari presiden menjadi salah satu
sebab yang menghambat penyelesaian kasus BLBI. Sejak kasus korupsi BLBI mulai
ditangani oleh kejaksaan tahun 2000, dari 65 orang tersangka yang dilakukan
pemeriksaan, saat ini baru 16 orang tersangka atau kurang dari 25 persen yang
telah dilimpahkan ke pengadilan.
Beberapa tersangka seperti Indarto Hovart Tantular
(korupsi BLBI Bank Central Dagang senilai Rp 1,4 triliun) dan I Gede Darmawan (
korupsi BLBI Bank Aken senilai Rp 17 miliar ) sejak tahuN 2001 kasusnya sudah
pada tahap penyidikan namun hinggá saat ini belum juga dilimpahkan ke
pengadilan. Kejaksaan Agung dibawah
pimpinan Abdul Rachman Saleh juga tidak menunjukkan langkah kongkrit untuk
segera menyelesaikan kasus korupsi BLBI yang selama ini mandeg ditingkat
penyidikan.
Langkah yang dilakukan pihak
kejaksaan hanya sebatas evaluasi dan rencana. Pada 12 Juli 2005 Jaksa Agung
Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Hendarman Supandji, menyatakan berencana
mengevaluasi sekitar 30 kasus terkait BLBI tahun 1998-2003. Masing-masing kasus
akan dievaluasi selama dua bulan, dan berkas kasus yang lengkap akan segera
diajukan ke persidangan.10 Namun sempai akhir tahun 2005 tidak ada satupun
kasus korupsi BLBI yang dilimpahkan ke pengadilan.
Begitu pula dengan rencana Kejaksaan yang akan
mengajukan persidangan secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa)
terhadap Agus Anwar Bos Bank Pelita yang diduga telah merugikan keuangan negara
senilai Rp 1, 9 triliun dan melarikan diri ke Singapura. Rencana ini akhirnya
gagal direalisasikan tanpa alasan yang jelas.
b)
Membutuhkan waktu yang
lama hingga putusan berkekuatan hukum
dapat di ekskusi
Pada
asasnya proses pengadilan dilaksanakan secara cepat, sederhana dan murah. Namun
prakteknya proses pengadilan di Indonesia (baik pidana maupun perdata) tidak
cepat, tidak sederhana dan tidak murah. Butuh waktu berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun suatu perkara memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Proses yang memakan
waktu lama ini disebabkan karana hukum di Indonesia tidak mengenal adanya
limitasi waktu penyelesaian perkara baik ditingkat pertama, banding, kasasi
hingga peninjauan kembali. Selain itu juga disebabkan karena para pihak
dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum apabila tidak menerima putusan yang
dijatuhkan hakim.
Hal
yang sama juga terjadi dalam penyeleaian kasus korupsi BLBI yang prosesnya
telah dilimpahkan ke pengadilan. Dari 16 kasus korupsi yang telah dilimpahkan
baru 5 kasus yang telah divonis di tingkat kasasi dan telah berkekuatan hukum
tetap), selebihnya atau 11 kasus masih dalam proses dan tidak jelas. Waktu
pemeriksaan yang lama hingga adanya putusan inkracht kenyataanya juga
menjadi peluang bagi para terdakwa untuk melarikan diri. Hendrawan Haryono
terpidana korupsi BLBI Bank Aspac misalnya, proses hukumnya memakan waktu 4
tahun mulai dari diadili hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan
hokum tetap dan dapat dieksekusi. Herdawaan mulai diadili pada tahun 2001 dan
baru bisa dieksekusi setelah adanya putusan Peninjauan Kembali MA yang
memvonisnya 1 tahun penjara pada tahun 2005.
II.
Catatan Dan
Rekomendasi
a)
Penyalahgunaan dana BLBI yang
merugikan keuangan negara adalah perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk),
sehingga memenuhi rumusan perundang-undangan pidana sebagai
tindak pidana korupsi;
b)
Pemberian release and discharge
sebagaimana tertuang dalam Inpres Nomor 8 tahun 2002 dapat dianggap sebuah
kebijakan yang telah menjungkir-balikkan asas-asas hukum yang menjadi sendi
dari sebuah negara hukum; dan dapat mengakibatkan disfungsionalisasi hukum
pidana;
c)
Kebijakan pemerintah
dalam penyelesaian kasus BLBI yang lebih mengutamakan pengembalian utang dari
para konglomerat pada akhirnya telah
mengabaikan prinsip bahwa semua orang sama didepan hukum (equality before
the law) dan bertindak jauh dari rasa keadilan dalam masyarakat karena
memberikan keistimewaan bagi para pelaku korupsi BLBI serta mengaburkan
pengertian “demi kepentingan hukum” sebagai suatu alasan untuk menghentikan
penuntutan.
d)
Kebijakan pemerintah
dalam penyelesaian perkara korupsi BLBI dalam bentuk Inpres No. 8 Tahun 2002
merupakan produk hukum yang cacat hukum karena bertentangan dengan sejumlah
peraturan perundang-undanagan yang lebih tinggi seperti UUD 45, TAP MPR, UU No.
31 Tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Kejaksaan. Selain itu Inpres ini
merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap proses penegakan hukum yang
sedang berjalan. Dengan demikian segala langkah/tindakan yang diambil
berdasarkan Inpres tersebut juga dianggap cacat hukum.
e)
Tidak ada alasan
penghapusan pidana bagi para debitur yang terbukti melakukan penyimpangan dalam
penggunaan dana BLBI. Surat Keterangan Lunas maupun R&D hanya melepaskan
dan membebaskan dari aspek keperdataannya namun secara pidana proses hukum
harus tetap berjalan hingga proses ke pengadilan.
f)
Penanganan perkara
korupsi BLBI yang selama ini ditangani oleh aparat penegak hukum khususnya kejaksaan
pada prakteknya menunjukkan beberapa catatan buruk seperti ketidakseriusan
kejaksaan dalam penuntasan perkara korupsi BLBI, tidak transparannya penanganan
perkara korupsi , hasil yang tidak memuaskan ditingkat pengadilan, terdapat indikasi judicial corruption dalam
penanganan perkara.
Setelah penulis mengeksplore kasus
tersebut diatas, maka penulis memberikan rekomendasi dalam menuntaskan
kasus-kasus tersebut. Antara lain;
a)
Presiden harus mencabut
Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang R&D karena bertentangan dengan sejumlah
peraturan perundangan. Sebagai gantinya Presiden perlu menerbitkan Inpres baru
mengenai kebijakan penyelesaian kasus BLBI yang
transparan dan adil dengan
tetap mengedepankan proses penegakan hukum. Perlu dipertimbngkan adanaya
kebijakan khusus dalam bentuk jaminan pemberian grasi bagi para debitur BLBI
yang bersedia menjalani proses hukum dan memenuhi kewajiban menyelesaikan
hutang berikut bunganya kepada negara.
b)
KPK perlu mengambil
alih proses hukum perkara korupsi BLBI yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan
maupun Kepolisian. Beberapa fakta dalam penanganan perkara korupsi BLBI yang
selama ini ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan telah memenuhi alasan bagi
KPK untuk mengambil alih perkara tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulisan ini adalah hasil kesimpulan bacaan dari beberapa sumber media> Monggo silahkan berkomentar. Salam