Selasa, 17 Juli 2012

MAKALAH TEORI HUKUM

     “ANALISIS PUTUSAN HUKUM TERHADAP PENYELEWENGAN BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (BLBI)” (AMAR PUTUSAN MA NO 977, 979, 981 K/PID 2005)

BAB I
A.    PENDAHULUAN
                         I.   LATAR BELAKANG
Perkembangan hukum di Indonesia sejak era reformasi sampai hari ini sangat dipenguruhi oleh politik hukum, sehingga hukum yang berjalan seolah abai terhadap rasa keadilan masyarakat. Adanya fenomena campur tangan kekuasaan dan politik terhadap proses hokum yang berlaku justru mencedari independensi dn supremasi hokum itu sendiri. Yang terjadi justru proses hukum yang mengedepakan kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
Bahwa semua negara mengakui adanya asas Persamaan di Depan Hukum (Equality Before The Law) seperti asas rule of law yang dipakai oleh Negara Anglo Saxon yang meliputi Supremacy Of Law dan Constitution Based On Human Rights, jadi berdasarkan hal tersebut maka pemberlakuan Eguality Before The Law harus mengikat siapa saja baik laki-laki, perempuan, rakyat biasa, orang kaya, aparat hukum maupun pejabat sekalipun. Akan tetapi kebijakan politik hukum di Indonesia yang berkembang selama ini tidak bisa memenuhi criteria dan standarisasi supremasi hukum itu sendiri. Fenomena ini jelas tidak dapat memenuhi asas persamaan di depan hukum (Equality Before The Law) sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 27 ayat 1 dan pasal 28 ayat 1 UUD 1945, asas ini memberikan landasan bahwa penegakan hukum tidak boleh membedakan ras, suku, agama, jenis kelamin, kelompok, golongan dan singakatnya tidak boleh pandang bulu.
Dalam mengambil sebuah keputusan, seorang hakim harus berdasarkan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (1) berbunyi : “Bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai pilar utama pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi seorang hakim untuk menemukan, menentukan sebuah putusan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas.
Era reformasi adalah era dimana struktur kekuasaan saat ini menjadi sangat tetrbuka. Akibat adanya akses politik, kekuasaan, ekonomi dan hokum menjadikan seluruh masyarakat benar-benar menikmatyi efuria di era reformasi sat ini. Fenomena ini tentu menjadi hal penting yang sangat di idamkan oleh semua kelompok masyarakat tanpa terkecuali. Akan tetapi, uforia reformasi yang berlebihan justru menimbulkan  banyaknya tindakan0tindakan yang melanggar hokum. Maraknya kasus korupsi yang terungkap ke permukaan baik di daerah maupun pusat menyebabkan supremasi dan proses penegakan hokum di Indonesia menjadi lemah. Hal tersebut juga berdampak pada sikap apatisme masyarakat terhadap aparatur penegak hokum yang menjadi bagian terpenting dari struktur pemerintaha sebuah negara. Apatisme masyarakat terhadap aparatur penegak hukum terjadi karena elit negeri ini baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah telah berlomba-lomba melakukan perbuatan melawan hukum materill atau melakukan tindak pidana korupsi dengan unsur kesengajaan.

           II.              BATASAN PERMASALAHAN
Dari uraian di atas maka penulis akan mengemukakan penanganan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), sebab kasus tersebut adalah kasus tindak pidana korupsi yang sarat dengan aroma kekuasaan politik sehingga kekuasaan kehakiman menjadi macan ompong. Menurut L. Simanjuntak, dalam tesisnya yang berjudul Democratic Transition and the Politics of Corruption in Indonesia, bertahannya korupsi di Indonesia adalah karena struktur ekonomi politik masih secara jelas memfasilitasi struktur dan jejaring rente, sehingga biaya ekonomi yang harus dibayar sehari-hari hampir selalu lebih tinggi daripada seharusnya, dan hampir selalu ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari kondisi tersebut.
Disisi lain bertahannya korupsi juga karena masih sangat lemahnya kontrol publik terhadap elite-elite pemerintahan yang sebagian besar juga merupakan representasi pada struktur patrimonial yang masih hidup subur di dalam masyarakat kita. Dalam makalah teori hukum kali ini, penulis akan membuat batasan masalah mengenai kasus penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya dalam paper ini disingkat dengan BLBI adalah suatu kasus yang fenomenal dalam sejarah perekonomian, perbankan,  sistem serta praktek hukum yang terjadi di Indonesia. Kasus tersebut dikualifikasikan sebagai kasus yang sifatnya fenomenal, karena dalam penanganannya, yang semestinya murni sebagai hal-hal yang bersifat biasa dalam sistem perbankan universal, ternyata memiliki dimensi dimensi hukum, politis, perdata dan aspek pidana.
Skandal BLBI adalah salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia yang magnitudenya telah mendunia, melewati beberapa rezim pemerintahan dengan berbagai perannya. Pemerintahan Soeharto (1997 – 1998) mengundang IMF (internasional Monetary Bank) untuk merestrukturisasi perbankan yang mau kolaps dengan terms yang ketat melalui letter of intent. Pemerintahan Habibie (1998 – 1999) berperan dalam memperkenalkan assessmen untuk penanganannya antara lain dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan (BPPN). Pemerintahan Gus Dur (1999 – 2000) mengeksekusi penjualan aset aset di bawah BPPN. Pemerintahan Megawati (2000 – 2004) menerbitkan Release and Discharge kepada para pengemplang BLBI yang koperatif, dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004 – 2009) secara aktif dan selektif mengundang dengan karpet merah mereka mereka yang telah memperoleh Release and Discharge, tetapi kemudian mempersoalkan, membatalkan bahkan menangkapi dan memenjarakan para obligor BLBI yang telah dinyatakan sebelumnya tidak akan menghadapi tuntutan hukum.


BAB II
B.     ANALISIS SINGKAT KASUS BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA
       I.            Kronologi Bantuan Likuiditas bank Indonesia
Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997. Satu per satu mata uang negara-negara di Asia merosot nilainya. Kemajuan perekonomian negara-negara di Asia yang banyak dipuji oleh banyak pihak sebelumnya. Bahkan persis sebelum krisis, World Bank tahun 1997 menerbitkan laporan berjudul The Asian Miracle yang menunjukkan kisah sukses pembangunan di Asia. Ternyata keberhasilan pembangunan ekonomi di negara-negara Asia tidak berdaya menghadapi spekulan mata uang dan berujung pada krisis ekonomi. Menyusul jatuhnya mata uang Baht, Thailand, nilai rupiah ikut merosot. Untuk mengatasi pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%). Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6% menjadi 14% (Prasetyantono, 2000:26).
Tekanan yang semakin berat terhadap rupiah mendorong Bank Indonesia untuk melepas system kurs mengambang terkendali (managed floating) dan mengambangkan nilai rupiah sepenuhnya pada mekanisme pasar uang (free floating). Kebijakan ini juga diikuti dengan dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari kisaran 14%-17% sampai 28%-30%. Strategi lain yang dipergunakan oleh otoritas moneter adalah dengan menyimpan dana-dana dari BUMN dan yayasan milik pemerintah ke SBI. Kebijakan uang ketat ini mengakibatkan melonjaknya tingkat suku bunga inter-bank. Tingkat suku bunga yang awalnya hanya berkisar 16%-17% melonjak hingga 100%. Bahkan pada tanggal 22 Agustus 1997, suku bunga inter-bank melonjak hingga 300% yang membuat bank mengalami kelangkaan likuiditas. Kesulitan likuiditas yang dialami perbankan memaksa bank untuk meningkatkan suku bunga deposito untuk menghimpun dana masyarakat. Tetapi melonjaknya suku bunga deposito secara otomatis juga meningkatkan suku bunga pinjaman.  
Akibatnya, kredit bermasalah atau nonperforming loan pun semakin naik karena banyak kreditor tidak sanggup membayar bunga yang tinggi. Kebijakan uang ketat juga mengakibatkan banyak bank melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) di Bank Indonesia. GWM merupakan dana cadangan wajib bank di Bank Indonesia. BI menetapkan jumlah minimum GWM yang harus dipenuhi oleh bank-bank di Indonesia untuk mengikuti kliring. Tanggal 16 April 1997 Bank Indonesia telah memberlakukan peraturan yang mengharuskan bank mempunyai GWM 5% (meningkat dari sebelumnya 3%).
Kelangkaan likuiditas juga mengakibatkan banyak bank kalah kliring atau rekening gironya di Bank Indonesia bersaldo debet. Berita mengenai kalah kliring memicu keresahan di masyarakat yang akhirnya mendorong masyarakat untuk menarik uang mereka di bank secara serentak. Meluasnya keresahan yang berujung pada penarikan simpanan besar-besaran atau rush, juga turut dipicu oleh likuidasi 16 bank nasional. Padahal tujuan pencabutan ijin usaha 16 bank tersebut dimaksudkan untuk melakukan penataan perbankan nasional.

    II.            Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
Akibat rush, bank kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort. Istilah ini merujuk pada kewajiban BI untuk memberikan bantuan kepada bank dalam situasi darurat. Dana talangan yang dikucurkan oleh BI ini yang dikenal dengan BLBI2. Sesehat apa pun sebuah bank, apabila uang dari masyarakat ditarik serentak tentu tidak akan sanggup memenuhinya. Terutama karena dana simpanan tersebut disalurkan kembali ke masyarakat oleh bank dalam bentuk kredit yang tidak mungkin ditarik bank dalam waktu sekejap. Apalagi di saat krisis ekonomi, aktivitas sektor riil praktis berhenti dan tingkat kredit bermasalah (non-performing loan) semakin meningkat.
Dalam BLBI sendiri terdapat 5 fasilitas dengan ketentuan-ketentuan yang berbeda sebagai berikut;
a)      Fasilitas yang diberikan untuk mempertahankan kestabilan sistem pembayaran, yaitu bila terjadi mismatch antara penerimaan dan penarikan dana, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Fasilitas untuk jangka pendek dikenal dengan Fasilitas Diskonto I, sedangkan fasilitas jangka panjang disebut dengan Fasilitas Diskonto II.
b)      Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter (SBPU) lelang dan bilateral.
c)      Fasilitas dalam rangka penyehatan bank atau kredit likuiditas darurat dan kredit subordinasi.
d)     Fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan sistem pembayaran sehubungan dengan rush atau penarikan dana secara besar-besaran (penarikan cadangan wajib dan saldo negatif atau saldo debet (overdraft) rekening bank di Bank Indonesia.
e)      Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan kepada perbankan Indonesia (dana talangan untuk membayar kewajiban luar negeri dan dalam rangka penjaminan oleh pemerintah).

Persoalan lain adalah pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit). BMPK membatasi pemberian kredit kepada kelompok usaha sendiri. Tetapi kenyataannya justru kredit bank justru diberikan ke unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan. Penyimpangan BLBI dimulai ketika BI memberikan dispensasi kepada bank-bank untuk mengikuti kliring meskipun rekening gironya di BI bersaldo debet. Dispensasi diberikan kepada semua bank tanpa melakukan pre-audit untuk mengetahui apakah bank tersebut benar-benar membutuhkan bantuan likuiditas dan kondisinya sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI.



 III.            Peran BI Terhadap Penyimpangan Penyaluran BLBI
Adapun Peran BI terhadap penyimpangan penggunaan BLBI oleh bank penerima antara lain:
a)      Tidak melaksanakan fungsi pengawasan perbankan
b)      Tidak menerapkan sanksi secara tegas dan konsekuen terhadap setiap pelanggaran yang terjadi.
c)      Mengabaikan langkah-langkah pengamanan yang diperlukan terhadap bank-bank yang pada laporan berkalanya telah menunjukkan adanya pelanggaran yang cukup material, seperti:
ü  Kejanggalan-kejanggalan mutasi akuntansi dalam laporan yang disampaikan bank-bank ke BI.
ü  Adanya diskriminasi penyaluran BLBI kepada bank-bank tertentu yang kepemilikan sahamnya mempunyai keterkaitan dengan BI.
ü  Melakukan intervensi valas melalui bank-bank yang rekening giro rupiahnya telah bersaldo debet.
ü  Tidak melaksanakan program penjaminan yang telah ditetapkan dalam Keppres No. 26 tahun 1998 dan ketentuan pelaksanaannya dan tetap membiarkan bank-bank menyelesaikan kewajiban jatuh tempo melalui mekanisme kliring.



 IV.            Korelasi Kasus BLBI Terhadap Aturan Hukum Perundang-Undangan
1.    Inpres No. 8 Tahun 2002 Release And Discharge Cacat Hukum
Kebijakan Release and Discharge yang bersumber pada Inpres No. 8 Tahun 2002 adalah cacat  hukum karena telah melanggar dan/atau bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan yang lebih tinggi, antara lain:
a)      UUD 1945
Pasal 1 ayat 3 menyatakan: “ Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum”. Ketentuan tersebut memberikan makna segala permasalahan negara harus diselesaikan bukan dengan kekuasaan semata, tetapi harus sesuai dengan prosedur hukum. Kenyataannya Inpres No.8 Tahun 2002 menunjukkan bahwa Presiden telah mengintervensi kekuasaan yudikatif dengan menginstruksikan membebaskan seseorang yang tersangkut kasus pidana tanpa proses hokum melalui peradilan, atau dengan kata lain Presiden menyelesaikan permasalahan hukum dengan kekuasaan semata.
b)     Ketetapan MPR
Setidaknya ada tiga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) yang pada intinya            menyebutkan bahwa upaya pemberantasan dan penindakan hukum dalam perkara korupsi harus dilakukan secara tegas dan sungguh-sungguh. Pertama, TAP MPR No.IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme khususnya dalam pasal 4 secara tegas menyebutkan: “ Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.” Kedua, TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dengan maksud untuk mempercepat dan lebih menjamin efektifitas pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, maka pasal 2 ayat 2 merekomendasikan untuk ; “Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat beratnya.”
Ketiga, TAP MPR No. X/MPR/2001, yang isinya antara lain, memberi penugasan pada Presiden dalam Pengelolaan dan penjualan asset-aset yang dikelola BPPN, antara lain, “ c) Pemerintah perlu konsisten menjalankan MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) dan MRA (Master of Refinancing Agreement), dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang PROPENAS butir C Nomor 2, 3, 4 perlu diambil tindakan tegas.”;

Bahwa berdasarkan Ketetapan MPR tersebut diatas, Presiden sebagai Madataris MPR dalam membuat kebijakan, dan atau keputusan Presiden tidak boleh bertentangan dan harus berpedoman pada apa yang telah digariskan oleh MPR, yaitu dalam hal kebijakan dan keputusan yang menyangkut pelaku tindak pidana KKN, Presiden harus bertindak tegas, tanpa pandang bulu terhadap semua kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, termasuk dalam hal penyelesaian masalah hutang para Konglomerat hitam yang telah banyak merugikan keuangan negara, yaitu dengan dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya jika terbukti bersalah.

Berdasarkan uraian tersebut karena Inpres No.8 Tahun 2002 memberikan pembebasan dan ampunan pada debitur tersangka kasus korupsi maka Inpres tersebut melanggar dan/atau bertentangan TAP MPR dalam hal pemberantasan korupsi.
a)      UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 4 UU No. 31 tahun 1999, menyebutkan ; “ Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”; Bahwa Release and Discharge diberikan kepada debitur BLBI karena dianggap telah mengembalikan hutang/uang negara. Hal ini sama dengan pengertian tersangka telah mengembalikan kerugian negara dalam rumusan pasal 4 UU No. 31 tahun 1999. Oleh karena itu Inpres No.8 Tahun 2002 yang menyatakan pemberian Release and Discharge membebaskan debitur dari tuntutan pidana karena dianggap sudah mengembalikan uang negara, adalah bertentangan ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya seseorang.
b)     UU No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1991, menyebutkan antara lain ; “... kejaksaan, adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan”. Demikian juga pasal 1 ayat (3) menyatakan ; “ Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”

Selanjutnya penjelasan umum UU No.5 Tahun 1991,menyatakan antara lain; “…Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah pisahkan yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan YME dan senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya didalam hukum”.

Ketentuan UU Kejaksaan tersebut telah secara tegas menyatakan “ Kejaksaan melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan “ artinya Presiden sebagai kepala Pemerintahan tidak dapat semena semena memerintahkan pada Kejaksaan untuk membebaskan seseorang yang terdapat cukup bukti diduga melakukan tindak pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi. UU 31 Tahun 1999 sudah secara tegas menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya seseorang, maka menurut hukum Kejaksaan harus tetap melimpahkan tersangka debitur BPPN ke pengadilan walaupun sudah mendapatkan Release and Discharge dari BPPN.
Jika Jaksa Agung menggunakan hak opurtunitasnya untuk membebaskan debitur dengan alas an “kepentingan umum” karena telah mendapat Release and Discharge , artinya Jaksa Agung telah menyalah tafsirkan pengertian “ kepentingan umum“ karena Tap MPR telah secara tegas menggariskan komitmen seluruh Rakyat Indonesia bahwa kepentingan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah terhadap para koruptor harus ditindak tegas tanpa pandang bulu dan harus dihukum seberat-beratnya. Jika ternyata Jaksa Agung berdasarkan Inpres tersebut membebaskan para debitur dari tuntutan pidana maka artinya Jaksa Agung menjalankan tugas dan wewenangnya menyimpang dari UU No.5 Tahun 1991, karena telah bertentangan dengan keadilan dan kebenaran, dan telah mengingkari prinsip setiap orang bersamaan kedudukannya di depan hukum (equality before the law).
Dengan pertimbangan bahwa Inpres No. 8 Tahun 2002 adalah cacat hukum maka penghentian penyidikan (SP3) yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2003 terhadap sedikitnya 10 debitur BLBI yang telah mendapatkan R&D harus juga dinyatakan sebagai cacat hukum. Pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada debitur yang dinilai kooperatif hanya menghilangkan aspek keperdataannya sedangkan secara pidana proses hukum terhadap debitur yang diduga melakukan penyimpangan dana BLBI harus terus berjalan hingga ke tahap pengadilan.

2.         Tidak Ada Alasan Penghapusan Pidana Bagi Para Debitur Yang Melakukan Penyimpangan Dana Blbi
Dalam teori ilmu hukum pidana terdapat beberapa alasan yang menghapuskan pidana seseorang yang terdiri atas;
a)      Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapaskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar
b)       Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana , tetapi dia tidak dipidana karena tidak ada kesalahan.
c)       Alasan penghapusan penuntutan, dengan dasar pertimbangan utilitas atau kemanfaatan dimasyarakat (atau istilah lainya kepentingan umum), maka sesorang meskipun dinilai melakukan perbuatan melawan hukum, pemerintah dapat tidak mengajukan penuntutan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang penghapusan pidana antara lain:
a)      Pasal 48 KUHP; Tidak dapat dipidana barangsiapa yang melakukan perbuatan, karena pengaruh daya paksa (overmacht).
b)      Pasal 51 ayat (1) KUHP; Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
c)      Pasal 50 KUHP; Tidak dapat dipidana, barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melakukan ketentuan undang-undang.

Pada prinsipnya, penyaluran dana BLBI hanya boleh dipergunakan untuk membayar atau melunasi kewajiban bank kepada pihak ketiga atau dalam hal ini dana nasabah. Namun kenyataannya dari total penerimaan BLBI pada 48 bank, yaitu senilai Rp. 144,53 triliun, audit investigasi BPK tahun 2000 telah ditemukan berbagai pelanggaran yang dilakukan para Bank Penerima BLBI. Sebanyak 11 jenis penyimpangan yang ditemukan dalam penggunaan dana BLBI yang nilainya mencapai Rp. 84,84 triliun atau 59,7% dari keseluruhan BLBI (per 29 Januari 1999).
Apa yang dilakukan oleh para oleh para debitur dalam menggunakan dana BLBI- yang dinilai sebagai penyimpangan oleh BPK dan merugikan keuangan negara- tidaklah tepat untuk diterapkan ketentuan penghapusan pidana sebagaimana yang diatur dalam beberapa ketentuan KUHP tersebut. Karena perbuatan yang dilakukan para debitur tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan yang dilakukan dalam kondisi memaksa/darurat (overmacht), melaksanakan perintah jabatan, maupun melaksanakan ketentuan undangundang.
Selain penghapusan pidana, KUHP juga mengatur mengenai peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut yang diatur secara umum dalam bab VIII buku I KUHP antara lain :
a)      Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap mengenai tindak pidana yang sama (nebis in idem) (pasal 76 KUHP);
b)      Terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP);
c)      Perkara tersebut daluwarsa (pasal 78 KUPH);
d)     Terjadinya penyelesaian di luar persidangan (pasal 82 KUHP)

Jika melihat dari kriteria-kriteria tersebut, maka tidak ada satupun kriteria yang dapat dijadikan alasan untuk menghentikan penyidikan atas kasus BLBI. Selain ketentuan yang diatur dalam KUHP, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi dalam pasal 4 jelas menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.
Dengan demikian Surat Keterangan Lunas atau release and discharge bukan merupakan alasan penghapusan pidana atau peniadaan tuntutan sehingga para debitur BLBI yang dinilai tidak memliki itikad baik dan melakukan penyimpangan penggunaan dana BLBI harus tetap diproses hingga di pengadilan.
3.      Putusan Represif Negara Penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
Mencermati uraian di atas ternyata jelas menampakan dan memperlihatkan kekuasaan politik semakin merajalela dalam proses pengambilan keputusan hukum. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya pelaku korupsi penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang di hukum ringan kemudian melarikan diri, bahkan ada di antara mereka yang belum di proses secara hukum, sungguh ironis Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum tetapi telah berubah menjadi negara berdasarkan kekuasaan sehingga telah melakukan pembiaran terhadap orang-orang yang telah melakukan tindakan melawan hokum serta berakibat tetrhadap bangkrutnya kekayaan Negara.
Fenomena para pelaku tindak pidana dalam kasus tersebut telah mencederai proses penegkan hukum dengan keterlibatan kekuatan politik sehingga para tersangka tidak dapat di sentuh secara hukum padahal telah melakukan perbuatan melawan hukum materiil.
Dalam hal penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menunjukkan kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Rakyat jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian utang. Sementara para penjahat diampuni dan tetap dapat ‘bertengger’ dengan leluasa di atas pundi-pundi uang yang dicuri. Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara.
Dengan perkembangan kasus penyimpangan Bantuan Likuiditas bank Indonesia (BLBI), jelas terlihat proses hukum yang dipergaruhi oleh kekuatan politik sehingga putusan sebuah proses hukum menyebabkan suatu pemerintah yang sedang berkuasa akan menjadi represif. Jika pemerintah berlaku represif maka tidak ada lagi memperhatikan kepentingan orang-orang disekitarnya, karena rezim represif menempatkan seluruh kepentingan tanpa lagi memperhatikan rambu-rambu hukum positif maupun norma-norma yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sehingga aturan hukum yang berlaku menjadi tidak bermanfaat untuk di pergunakan dalam kehidupan sehari karena dari awal telah adanya unsur kesengajaan untuk melupakan dan meninggalkan aturan hukum tersebut.
Dalam rangka penegakan hukum bagi hakim (dalam kasus apapaun), maka ilfiltrasi kekuasaan politik terhadap proses putusan hukum menjadi “Hukum Represif” yang mempengaruhi kekuasan hakim dalam memutuskan suatu perkara di persidangan. Hal tersebut terlihat secara sistimatis dan menunjukan karakter antara lain sebagai berikut;
a)      Institusi hukum secara langsung dapat di akses oleh kekuatan politik, hukum diindentifikasikan sama dengan Negara dan ditempatkan dibawah tujuan Negara (raison d”etat).
b)      Langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang paling penting dalam  administrasi hukum, kenyamanan administrasi menjadi titik berat perhatian.
c)      Lembaga-lembaga kontrol yang terstruktur seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan lembaga lainnya, menjadi pusat kekuasaan yang independen, mereka terisolasi dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak serta mampu menolak otoritas politik.
d)     Sebuah rezim hukum berganda (dual law) keadilan berdasarkan kelas dengan cara mengkonsolidasikan dan melegitimasi pola-pola suburdinasi social.
e)      Hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan, terhadap hukum yang akan menang.
Jadi berdasarkan uraian diatas maka apabila di hubungan dengan pendapat Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam bukunya Low and Society in Transition: Toward Responsive Law yang mengatakan: “Politik Hukum Nasional bertujuan menciptakan sebuah system hukum nasional yang rasional, transparan, demokrastis, otonom, dan responsive terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum yang bersifat menindas, ortodoks, dan reduksionistik”.
Sehingga permasalahan dalam rangka menciptakan sistem hukum yang digambarkan oleh Nonet, dan Selznick; otonom atau menindas, ‘Responsive atau Ortodoks, Imperatif atau Fakultatif” tersebut bukanlah perkara mudah namun diperlukan kerjasama berbagai pihak baik pemerintah, partai politik dan masyarakat untuk mewujudkannya. Sebab apabila kepentingan politik yang ditonjolkan dalam rangka penegakan hukum maka jelas menyebabkan hal-hal sebagai berikut;
a)      Pranata-pranata hukum secara langsung disediakan bagi kekuasaan politik dan hukum diidentifikasikan dengan negara dan tunduk pada kepentingan Negara.
b)      Kelestarian kekuasaan adalah tugas dari penegakan hokum dan alat-alat kendali khusus pengendalian khusus, seperti polisi menjadi pusat kekuasaan yang bebas.

PERBAIKAN SISTEMATIKA BAHASAN MAKALAH PADA BAB II, ROMAWI V, HALAMAN 22, TENTANG “ANALISIS PUTUSAN HUKUM TERHADAP PENYELEWENGAN BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (BLBI)”


V.                PUTUSAN MA NO 977, 979, 981 K/PID 2005 Tentang Penyelewengan   Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

Putusan terhadap 3 mamntan direktur BI pada 21-06-2005 PN Jakpus mengirimkan putusan MA tentang kasus BLBI denngan terpidana 3 mantan direktur BI yakni; Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, Heru Supratomo. Dalam putusan tersebut, mereka dihukum 2 tahun 6 bulan dengan denda 200 juta (terdakwa merugikan negara sebanyak 2, 21 Triliun). Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebutkan secara sah dan meyakinkan bahwa ketiganya telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berkelanjutan.

Bahwa sejarah kasus BLBI bermula adanya pinnjaman yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter di Indonesia, skema ini dilakukan atas dasar perjanjian dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Dalam kasus tersebut beberapa mantan Direktur BI telah menjadi narapidana antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, 3 tahun penjara, Hendro Bidiyanto 2,5 tahun penjara dan Heru Supratomo 3 tahun penjara, hukuman tersebut jelas terlalu ringan jika melihat kerugian negara ratusan triliun.
Bahwa menyimak uraian di atas mengenai PUTUSAN MA NO 977, 979, 981 K/PID 2005 tentang Penyelewengan   Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ternyata jelas menampakan dan memperlihatkan kekuasaan politik semakin merajalela hal ini disebabkan karena telah merambah ke para koruptor, hal tersebut dapat dibuktikan banyaknya pelaku korupsi penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang di hukum ringan kemudian melarikan diri, bahkan ada di antara mereka yang belum di proses secara hukum, sungguh ironis Indonesia sebagai negara yang berdasarkan hukum tetapi telah berobah menjadi negara berdasarkan kekuasaan sehingga telah melakukan pembiaran terhadap orang-orang yang telah membuat bangkrutnya negara ini yang tidak dapat di sentun secara hukum padahal telah melakukan perbuatan melawan hukum materiil, dan disaat para koruptor BLBI bisa hidup tenang dan aman tanpa tersentuh hukum maka pada saat itu juga rakyat Indonesia di landa kesusahan dan kemiskinan sehingga rasa keadilan telah di cabik-cabik oleh penegakan hukum yang tidak jelas, tidak adil dan tidak pasti.

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum begitulah kata Konstitusi, namun hukum tidak bisa ditegakan kalau tidak ada kekuasaan yang menegakannya, persoalannya sekarang adalah sering sekali hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara korupsi terhalang tembok kekuasaan (politik) sehingga hukum dalam kenyataan hanya berpihak kepada kelompok penguasa saja dan hukum bukan lagi sebagai Instrumen untuk mengatur prilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-hari tetapi sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan terhadap kelompok-kelompok yang berkepentingan untuk itu.



BAB III
C.      PENUTUP
         I.     KESIMPULAN PUTUSAN
a)        Tidak Adanya Keseriusan dan Transparansi Aparat Penegak Hukum
Setelah menelaah lebih jauh mengani kasus penyelewengan tersebut, maka penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa adanya intervensi dari presiden menjadi salah  satu  sebab yang menghambat  penyelesaian kasus BLBI. Sejak kasus korupsi BLBI mulai ditangani oleh kejaksaan tahun 2000, dari 65 orang tersangka yang dilakukan pemeriksaan, saat ini baru 16 orang tersangka atau kurang dari 25 persen yang telah dilimpahkan ke pengadilan.
Beberapa tersangka seperti Indarto Hovart Tantular (korupsi BLBI Bank Central Dagang senilai Rp 1,4 triliun) dan I Gede Darmawan ( korupsi BLBI Bank Aken senilai Rp 17 miliar ) sejak tahuN 2001 kasusnya sudah pada tahap penyidikan namun hinggá saat ini belum juga dilimpahkan ke pengadilan.  Kejaksaan Agung dibawah pimpinan Abdul Rachman Saleh juga tidak menunjukkan langkah kongkrit untuk segera menyelesaikan kasus korupsi BLBI yang selama ini mandeg ditingkat penyidikan.
Langkah yang dilakukan  pihak kejaksaan hanya sebatas evaluasi dan rencana. Pada 12 Juli 2005 Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Hendarman Supandji, menyatakan berencana mengevaluasi sekitar 30 kasus terkait BLBI tahun 1998-2003. Masing-masing kasus akan dievaluasi selama dua bulan, dan berkas kasus yang lengkap akan segera diajukan ke persidangan.10 Namun sempai akhir tahun 2005 tidak ada satupun kasus korupsi BLBI yang dilimpahkan ke pengadilan.
Begitu pula dengan rencana Kejaksaan yang akan mengajukan persidangan secara in absentia (tanpa kehadiran terdakwa) terhadap Agus Anwar Bos Bank Pelita yang diduga telah merugikan keuangan negara senilai Rp 1, 9 triliun dan melarikan diri ke Singapura. Rencana ini akhirnya gagal direalisasikan tanpa alasan yang jelas.

b)       Membutuhkan waktu yang lama hingga putusan berkekuatan hukum dapat di ekskusi
Pada asasnya proses pengadilan dilaksanakan secara cepat, sederhana dan murah. Namun prakteknya proses pengadilan di Indonesia (baik pidana maupun perdata) tidak cepat, tidak sederhana dan tidak murah. Butuh waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun suatu perkara memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Proses yang memakan waktu lama ini disebabkan karana hukum di Indonesia tidak mengenal adanya limitasi waktu penyelesaian perkara baik ditingkat pertama, banding, kasasi hingga peninjauan kembali. Selain itu juga disebabkan karena para pihak dimungkinkan untuk mengajukan upaya hukum apabila tidak menerima putusan yang dijatuhkan hakim.

Hal yang sama juga terjadi dalam penyeleaian kasus korupsi BLBI yang prosesnya telah dilimpahkan ke pengadilan. Dari 16 kasus korupsi yang telah dilimpahkan baru 5 kasus yang telah divonis di tingkat kasasi dan telah berkekuatan hukum tetap), selebihnya atau 11 kasus masih dalam proses dan tidak jelas. Waktu pemeriksaan yang lama hingga adanya putusan inkracht kenyataanya juga menjadi peluang bagi para terdakwa untuk melarikan diri. Hendrawan Haryono terpidana korupsi BLBI Bank Aspac misalnya, proses hukumnya memakan waktu 4 tahun mulai dari diadili hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hokum tetap dan dapat dieksekusi. Herdawaan mulai diadili pada tahun 2001 dan baru bisa dieksekusi setelah adanya putusan Peninjauan Kembali MA yang memvonisnya 1 tahun penjara pada tahun 2005.

      II.          Catatan Dan Rekomendasi
a)      Penyalahgunaan dana BLBI yang merugikan keuangan negara adalah perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk), sehingga memenuhi rumusan  perundang-undangan pidana sebagai tindak pidana korupsi;
b)      Pemberian release and discharge sebagaimana tertuang dalam Inpres Nomor 8 tahun 2002 dapat dianggap sebuah kebijakan yang telah menjungkir-balikkan asas-asas hukum yang menjadi sendi dari sebuah negara hukum; dan dapat mengakibatkan disfungsionalisasi hukum pidana;
c)      Kebijakan pemerintah dalam penyelesaian kasus BLBI yang lebih mengutamakan pengembalian utang dari para konglomerat pada akhirnya  telah mengabaikan prinsip bahwa semua orang sama didepan hukum (equality before the law) dan bertindak jauh dari rasa keadilan dalam masyarakat karena memberikan keistimewaan bagi para pelaku korupsi BLBI serta mengaburkan pengertian “demi kepentingan hukum” sebagai suatu alasan untuk menghentikan penuntutan.
d)     Kebijakan pemerintah dalam penyelesaian perkara korupsi BLBI dalam bentuk Inpres No. 8 Tahun 2002 merupakan produk hukum yang cacat hukum karena bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undanagan yang lebih tinggi seperti UUD 45, TAP MPR, UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Kejaksaan. Selain itu Inpres ini merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap proses penegakan hukum yang sedang berjalan. Dengan demikian segala langkah/tindakan yang diambil berdasarkan Inpres tersebut juga dianggap cacat hukum.
e)      Tidak ada alasan penghapusan pidana bagi para debitur yang terbukti melakukan penyimpangan dalam penggunaan dana BLBI. Surat Keterangan Lunas maupun R&D hanya melepaskan dan membebaskan dari aspek keperdataannya namun secara pidana proses hukum harus tetap berjalan hingga proses ke pengadilan.
f)       Penanganan perkara korupsi BLBI yang selama ini ditangani oleh aparat penegak hukum khususnya kejaksaan pada prakteknya menunjukkan beberapa catatan buruk seperti ketidakseriusan kejaksaan dalam penuntasan perkara korupsi BLBI, tidak transparannya penanganan perkara korupsi , hasil yang tidak memuaskan ditingkat pengadilan, terdapat  indikasi judicial corruption dalam penanganan perkara.
Setelah penulis mengeksplore kasus tersebut diatas, maka penulis memberikan rekomendasi dalam menuntaskan kasus-kasus tersebut. Antara lain;
a)      Presiden harus mencabut Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang R&D karena bertentangan dengan sejumlah peraturan perundangan. Sebagai gantinya Presiden perlu menerbitkan Inpres baru mengenai kebijakan penyelesaian kasus BLBI yang transparan dan adil dengan tetap mengedepankan proses penegakan hukum. Perlu dipertimbngkan adanaya kebijakan khusus dalam bentuk jaminan pemberian grasi bagi para debitur BLBI yang bersedia menjalani proses hukum dan memenuhi kewajiban menyelesaikan hutang berikut bunganya kepada negara.
b)      KPK perlu mengambil alih proses hukum perkara korupsi BLBI yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan maupun Kepolisian. Beberapa fakta dalam penanganan perkara korupsi BLBI yang selama ini ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan telah memenuhi alasan bagi KPK untuk mengambil alih perkara tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan ini adalah hasil kesimpulan bacaan dari beberapa sumber media> Monggo silahkan berkomentar. Salam