Minggu, 29 April 2012

NEGOSIASI

"Negosiasi" adl perlengkapan utk mempertahankan hidup yg lebih penting.
"Negosiasi sesungguhnya bukan tentang perlombaan yang tidak akan     menang jika orang lain tidak kalah.
"Negosiasi adl upaya utk mencapai persetujuan.
"Negosiasi, ia adalah tentang kerja sama.

Menjadi Indonesia Di Tengah Gelombang Tradisionalisme Pesantren;

Sejarah kelahiran dan dinamika pesantren dengan segala keunikannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses kesejarahan panjang integritas bangsa ini yang termanifestasikan dalam spirit nasionalisme kebangsaan.

Hal itu bisa dilihat pada zaman penjajahan. Saat itu, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren. Hal itu mengisyaratkan bahwa eksistensi pendidikan pesantren tidak pernah lepas dari spirit perjuangan bangsa untuk merajut integritas yang kokoh. Dalam lembaran sejarah, banyak gerakan perlawanan itu dimotori dimotori oleh para penghuni pesantren. Lihat saja misalnya pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, (Sartono Kartodirjo; 1984) Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak 1786-1875).

Dan sebagai medan pendidikan agama (Islam), pesantren memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada titik ini, pesantren tidak hanya identik dengan makna ke-Islam-an tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya.

Indigeneous ini lah yang menjadikan dunia pendidikan pesantren tetap eksis dan tegar di tengah kepuangan budaya modernitas yang kian membrutal. Lika-liku perjalanannya sarat dengan anggapan minor, penilaian miring, hujatan, stigma dan labelisasi, utamanya dalam persoalan ketradisionalannya. Namun hal itu tetap tak menggoyahkan akar kesejarahannya yang menancap begitu kuat di aras kultur lokal.

Dunia pesantren memang sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya itu, tidak salah kiranya C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa).

Sementara itu, banyak orang yang seringkali salah kaprah memaknai watak tradisional yang inheren dalam tubuh pesantren, dan ditempatkan bukan pada proporsinya. Tradisionalisme yang melekat begitu lama itu sejak awal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda.

Tradisionalisme pesantren di satu sisi melekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme As’ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia (Abdurrahman Wahid, 1997).

Sementara tradisional dalam pengertian lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Namun demikian, sesungguhnya karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren tidak selamanya buruk.

Terlepas dari itu, dinamika perjalanan pesantren tak selamanya mulus. Ia harus berkelit-kelindang dalam tiap fase kesejarahan dengan tingkat problem yang berbeda. Pesantren, sebelum abad 20, masih menemukan ruang kebebasan dan kekhasannya. Yang menarik saat itu, pendidikan pesantren sama sekali belum testandardisasi secara kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren Indonesia yang sistemik.

Namun libido negara tampaknya begitu besar untuk menjamah ruang pesantren. Khususnya pada era Orde Baru, intervensi negara terhadap dunia pesantren begitu besar. pada gilirannya, hal itu justru mengacak-acak kebebasan, kekhasan dan independensi pesantren sendiri. Pesantren dibonsai sedemikian rupa dan dijauhkan dari persoalan kebangsaan. Pada konteks ini, pesantren menjadi sebentuk etalase zaman yang perannya disempitkan hanya sekedar urusan belajar tanpa diberi ruang lebar untuk berbicara tentang kebangsaan. Dan sejak Orde Baru ini, ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik tajam, pendidikan pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap.

Pasca Orba, dunia pendidikan pesantren tak terurus lantaran Kiai yang mengendalikan penuh proses pendidikan disana tengah sibuk dan larut dalam kumparan politik praksis kenegaraan. Para kiai yang menjadi benteng pertahanan kemudian sibuk dengan pembicaraan-pembicaraan politik kekuasan, bukan politik kebangsaan.

Mendorong Pesantren Berbicara Masalah Kebangsaan
Fenomena maraknya kiai yang berasyik-masyuk dengan politik kekuasaan membuat keprihatinan tersendiri dalam dunia pendidikan pesantren. Sebab, disadari atau tidak akan mengalahkan tugas utamanya sebagai seorang pengajar, pendidik dan pengawal.

Tidak sekedar membengkalaikan tugas utamanya, namun keterlibatan dalam ruang politik praksis ini pada gilirannya akan memfragmentasi pesantren kedalam golongan atau blok-blok tertentu. Sebagai konsekuensi logisnya, para kiai yang merupakan simbol tertinggi dan representasi dari dunia pesantren akan berbicara dalam konteks kepentingan pribadinya, dan lepas dari persoalan kebangsaan.

Sementara itu, di ranah yang lebih luas (kebangsaan), silang-sengkarut diskursus, pertentangan ideologi, pergesekan kepentingan yang turut mempengaruhi formasi sosial kian membrutal. Persinggungan-persinggungan itu tak hanya muncul sebagai pengkaya atas keberagaman bangsa ini, namun yang lebih mengerikan justru memporak-porandakan basis kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri. Contoh yang paling sederhana adalah yang terjadi saat ini, bagaimana khawatir dan risauhnya para penggede agama, khususnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, ketika melihat fakta bahwa gerakan-gerakan transnasional belakangan ini kian merebak, yang dinilai bisa mengancam keutuhan NKRI.

Namun sayangnya, kegelisahan ini hanya dimiliki segelintir tokoh agama atau kiai. Sementara para kiai yang lain masih tetap sibuk dengan urusan politik praksis untuk memenuhi hasrat pribadinya. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka tidak menutup kemungkinan pesantren tidak hanya mengalami pergeseran tapi akan kehilangan peran, utamanya untuk peran pada domain kebangsaan.

Perlu kiranya menegaskan kembali bahwa pendidikan di tengah medan kebudayaan (culture area), berproses merajut dua substansi aras kultural, yaitu di samping terartikulasi pada upaya pemanusiaan dirinya, juga secara berkesinambungan mewujud ke dalam pemanusiaan dunia di sekitarnya (man humanizes himself in humanizing the world around him) (J.W.M. Bakker, SJ; 2000: 22).
Pada konteks yang terkhir ini meniscayakan suatu usaha yang tidak ringan. Sebab demikian, seyogyanya para kiai bisa mengontrol hasrat politiknya dan kembali ke pesantren untuk lebih melakukan penguatan baik pada wilayah suprastruktur santri maupun pada praksis gerakan yang mengarah pada penjagaan dan penguatan integritas bangsa yang sedang terancam ini.
Jika tak ingin memutus garis kesejarahan, maka itu adalah suatu keniscayaan yang tak boleh dienyahkan dalam rangkaian proses perjalanan dunia pesantren agar lebih peka terhadap realitas zaman. Untuk itu, penyemaian wacana dan pemahaman tentang kebangsaan yang dilambari dengan spirit persatuan di aras pendidikan pesantren menjadi suatu kemustian demi mempertahankan dan merajut kesatuan bangsa yang tengah terkoyak


NU dan Keragaman dalam Visi Kebangsaannya


Banyak harapan kepada NU, tetapi banyak juga gagasan untuk NU, baik secara konseptual maupun yang operasional.

Nu adalah wadah yang sudah dirancang sejak awal sebagai tempat berpadunya berbagai paham keagamaan yang dibatasi oleh koridor ahlussunnah wal jamaah. Mengagumkan sekali bahwa para founding fathers NU dalam hal fiqih tidak hanya mengakui, merujuk, dan mengamalkan paham mazdhab syafii, tetapi juga mau membuka diri kepada tiga madzhab utama yang lain. Padahal kita tahu diantara ke empat mazdhab tersebut memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Pada masa itu, menyediakan wadah bagi tergali dan terwujudnya paham ke empat madzhab ditengah masyarakat sungguh suatu langkah visioner. Demikian halnya dalam menyatukan paham tauhid dari imam Asy’ari dan Maturidi.

Ibarat semakin tinggi dan rindang sebuah pohon, semakin kencang dan besar pula angin yang menerpanya. Bagitulah yang dialami Nahdlatul Ulama (NU) saat ini. Dalam perspektif sosial-historis, NU memiliki tanggung jawab yang berat untuk mengawal bangsa ini dari perjuangan prakemerdekaan hingga sekarang.

Sebagai organisasi kultural keagamaan yang mengusung nilai-nilai aswaja, NU adalah bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa sekaligus sebagai wujud kegairahan luhur para ulama dalam membangun peradaban. NU bukan ormas yang eksklusif terhadap perbedaan dan keragaman. Justru keragaman dan pluralitas itulah spirit yang hendak diembuskan NU. Kebhinekaan dan kemajemukan menjadi roh NU dalam menancapkan misi perjuangannya. NU secara terang-terangan mengatakan Pancasila adalah asas final bagi Indonesia. NU pun tampil menjadi ormas garda depan yang berwatak kebangsaan.

Pergumulan NU dan Paham Kebangsaan Indonesia ini menjelaskan secara gamblang cara NU dalam mentransformasikan misi organisasinya dalam konteks kebangsaan. Seperti ditulis Ali Masykur Musa, sikap dasar kebangsaan NU jelas, yakni keseimbangan antara ukhuwah islamiah (persaudaraan sesama Islam), ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia), dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa).

Pandangan NU tentang paham kebangsaan digali dari pemikiran-pemikiran politik Sunni Abad Pertengahan. Al-Ghazali dan al-Mawardi merupakan tokoh utamanya. NU melihat pandangan dua tokoh itu senapas dengan watak orang Jawa yang mementingkan keselarasan hubungan antarmanusia, seperti sikap moderat dan cenderung memilih "jalan damai". Ini karena jalan tengah dirasa senapas dengan tradisi Jawa yang ditandai pencarian suatu harmoni yang dicita-citakan dalam kehidupan masyarakat.

Karena itu, dalam perjalanannya, NU adalah organisasi terbesar di Indonesia yang tampil dan mampu mengikuti arah zaman. Ia menerjemahkan prinsip-prinsip dasar yang dicanangkannya ke dalam kehidupan konkret. Dalam bidang pendidikan, NU mewujudkannya dalam bentuk pesantren, lembaga pendidikan yang mengajarkan moral dan adiluhung dalam hidup dan berbangsa.

Dalam bidang sosial-ekonomi, NU mengusung ekonomi kerakyatan dan transformasi-transformasi sosial yang terejawantahkan dalam aksi-aksi sosial dengan membela kaum minoritas dan termarjinalkan. Dalam ranah teologi, NU menampilkan wajah Islam yang ramah: terhadap budaya lokal, adat setempat, dan agama-agama. Sementara itu dalam bidang politik, NU mengajak kepada moralitas politik, bukan tipu muslihat politik.

Memang, organisasi yang berdiri pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) oleh KH Hasyim Asy'ari ini pernah masuk ke dalam politik praktis. Itu terlihat pasca kemerdekaan Indonesia, orientasi NU lebih terkonsentrasi pada transformasi bidang sosial-politik. Tapi "politik" tampaknya bukanlah "rumah" NU yang sesungguhnya. Karena itu, era transformasi bidang sosial-politik itu berakhir saat NU memutuskan kembali ke Khitah 1926 dalam muktamar 1984 di Situbondo. Mulai saat itu, NU membuka lembaran baru dalam rangka transformasi bidang sosial-ekonomi.

Menariknya, NU dikenal sebagai organisasi yang moderat, yaitu sikap yang mengedepankan jalan tengah. Dalam bahasa NU, prinsip ini dikenal dengan istilah tawassuth yang mencakup tawazun (keseimbangan dan keselarasan), i'tidal (teguh dan tidak berat sebelah), dan iqtishad (bertindak seperlunya dan sewajarnya, tidak berlebihan).

Dalam mentransformasikan visi kebangsaan, NU selalu menampilkan dua watak, yakni kebijaksanaan dan keluwesan. Kebijaksanaan, bagi NU, adalah tindakan yang kondusif untuk memperoleh manfaat/menghindari kerugian. Kewajiban untuk mengurangi atau menghindari segala bentuk risiko atau akibat buruk juga merupakan salah satu tema sentral dalam tradisi ijtihad politik NU. Sementara itu, keluwesan NU adalah sikap kompromistis dan menghindari segala bentuk ekstremisme.

Naskah Pidato Dalam rangka acara “Inagurasi dan Penutupan PKM/Pelatihan Kader Madya” PMII Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Yogyakarta, 30 April 2012

Asslamualaikum Wr. Wb
Yang saya hormati,  Ketua Umum PMII Cabang D.I.Yogyakarta,
Yang saya hormati,  Ketua Komisariat PMII UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Yang saya hormati, segenap tamu undangan dan peserta Pelatihan Kader Madya (PKM) PMII Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Sahabat-sahabat yang berbahagia;
Marilah pada kesempatan yang baik dan Insya Allah, penuh berkah ini, sekali lagi kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena kepada kita masih diberikan nikmat kesempatan, nikmat kekuatan, dan semoga nikmat kesehatan untuk melanjutkan ibadah kita, karya kita, serta tugas dan pengabdian kita kepada masyarakat, bangsa, dan negara tercinta. Kita juga bersyukur ke hadirat Allah SWT karena pada malam hari ini dapat bersama-sama menghadiri acara “Inagurasi dan Penutupan Pelatihan Kader Madya (PKM) PMII Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta”.

Saya juga mengajak sahabat-sahabat se-pergerakan sekalian untuk menghaturkan shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikut Rasulullah, insya Allah, termasuk kita-kita semua sampai akhir zaman.

Sahabat-sahabat PMII yang sangat saya banggakan;
Sejak Tahun 1960 sampai hari ini, PMII terus tumbuh menjadi organisasi yang memproduksi kader secara terus-menerus. Dengan berlandaskan Islam Ahlusunnah wal jamaah sebagai landasan teologinya, sudah seharusnya PMII sebagai organisasi pergerakan mampu “mendayung” ditengah rotasi zaman yang serba kompleks dan berubah secara terus-menerus.

Sahabat-sahabat;
Membangun negara dan bangsa dengan populasi penduduk -+ 230 juta orang, letak geografis yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dengan kompleksitas permasalahan dan tantangan yang kita hadapi tidak semudah membalik telapak tangan. Kita tahu semuanya itu diperlukan tekad yang membaja, kerja keras, persatuan dan kebersamaan seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, saya berharap, PMII betul-betul menjadi motor penggerak, menjadi agent of change dan agent of development menuju kebangkitan dan masa depan bangsa yang lebih baik.

Sejak kelahirannya, pada tahun 1960, kemudian 3, 4, 5 tahun negara kita mengalami prahara politik. Dan PMII telah menunjukkan jasanya yang luar biasa. Demikian juga, sepanjang perjalanan. Oleh karena itu, kita tidak boleh hanya membanggakan prestasi masa lampau tapi mesti mengukir prestasi-prestasi terbaru di masa depan.

Sahabat-sahabat Peserta PKM / Pelatihan Kader Madya PMII Komisariat UIN Sunan kalijaga Yogyakarta yang saya banggakan;
Membangun paradigma gerakan memang sulit, bahkan sesulit membaca kenyataan yang semestinya menjadi pijakan paradigma itu. Gerakan manapun yang dibangun tanpa landasan kenyataan hanya akan menjadi korban sejarah atau, katakanlah, tidak pernah menjadi struktur apalagi sebuah peradaban.

Paradigma yang baik adalah paradigma yang mampu menjadikan sejarah sebagai bahan penyusun yang dipadukan dengan kenyataan hari ini. Sejarah memiliki peranan penting dalam penyusunan paradigma gerakan karena sejarah menyimpan masa lalu sebagai pijakan untuk menyusun masa kini dan masa depan. Jadi, dengan mengkombinasikan antara sejarah dan real-life hari ini, kita akan mampu membaca kenyataan secara baik dan benar sehingga kita tidak akan terjebak dalam kenyataan mediatik yang manipulatif dan menyesatkan.

Dengan selalu berangkat dari kenyataan real, kita akan mampu menangkap struktur apa yang saat ini sedang bergerak dan gerakan yang kita jalankan akan mampu memutus roda-gila (free-wheel) peradaban yang hegemonik.

Sahabat-sahabat PMII yang saya hormati dan saya banggakan;
Memang, saat ini orang selalu berfikir instan dan hanya mau melihat hasil tanpa mau melihat bagaimana sebuah proses terjadi untuk mewujudkan utopia. Sehingga benturan pertama bagi sebuah paradigma untuk berjalan adalah dampak jangka-pendeknya. Atau dengan kata lain, problem survival menuntut kita untuk meninggalkan pikiran-pikiran panjang kita. Paradigma gerakan harus mampu berkayuh di antara gelombang panjang dan gelombang pendek agar gelombang panjang tetap terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk menghancurkan biduk kita yang rapuh.

Sahabat-sahabat peserta PKM / Pelatihan Kader Madya PMII Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang saya banggakan;
Paradigma menempati posisi yang sangat penting dalam gerakan sebagai pemandu-gerak. Diawali dengan pembacaan realitas masalah yang demikian kompleks, maka paradigma harus mencerminkan masalah sebenarnya yang tengah dihadapi oleh kita semua sebagai komunitas besar "bangsa" Indonesia. Tanpa diawali dengan pembacaan semacam ini, perdebatan paradigma pasti akan terjebak ke dalam logosentrisme yang sia-sia.


Sahabat-sahabta yang saya cintai dan saya banggakan;
PMII, selama 52  tahun usianya telah menghantarkan generasi berikut menuju tangga gerakan yang lebih tinggi. PMII tetap menjadi bagian dari tata peradaban bangsa yang memiliki kontribusi pembangunan yang tak dapat dielakkan.
Oleh sebab itu, paradigma gerakan PMII sudah seharusnya ditujukan untuk kemajuan (progress) komunitas besar dari mana ia berasal. Kemajuan dalam pengertian "naik-kelas" dari komunitas yang tidak dapat berbuat apa-apa, menjadi bersuara dan didengar oleh orang lain.

Dari situlah kerja-kerja gerakan adalah kerja-kerja sistem peradaban itu sendiri, sehingga para kader PMII memiliki gerakan dengan tingkat survival yang tinggi dan tidak terjebak dalam kenikmatan sesaat yang ditawarkan oleh sistem yang hendak diubahnya.

Sahabat-sahabat peserta PKM / Pelatihan Kader Madya PMII Komisariat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang saya hormati;
Akhirnya, PMII ke depan teruslah menjadi pelopor, pembaharu, dan satu elemen yang melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Dengan pesan dan harapan itu, melalui sarana PKM / Pelatihan Kader Madya maka sekali lagi, saya mengucapkan selamat melakukan konsolidasi kaderisasi secara nasional. Semoga apa yang sahabat-sahabat lakukan dapat memberikan kontribusi yang maha dahsyat, bukan hanya kepada PMII sendiri, bukan hanya kepada keluarga besar Nahdlatul Ulama, bukan hanya kepada umat Islam, tetapi juga kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai.

Sekian,

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thariq
Wassalamualaikum Wr.Wb

Rentang Perjalanan Mencari makna; Sebuah Refleksi Pribadi


"Tidak ada yang mampu menelanjangi manusia lebih jujur daripada perang - Piramida adalah lambang kekuasaan".

"Semakin tinggi semakin mengecil, akn tetapi daya jangkau & daya kuasa lihatnya bertambah luas". Itulah kekuasaan.

"Semakin tinggi semakin sulit utk di gapai. Itulah kekuasaan. Lebih banyak orang yang tergelincir daripada orang yang mampu menggapainya". Itulah kekuasaan.

Cukup menantang, bukan..?!!

Selayang Pandang The Red Liverpool

Bila dilihat dari sisi jumlah piala yang telah dimenangkan, Liverpool dapat dianggap sebagai tim paling sukses di Inggris. Hal itu karena The Reds merupakan juara terbanyak Divisi Satu Inggris selama 18 kali, dan juga di ajang Piala Eropa/Liga Champions selama 5 kali. Sayangnya tim ini belum pernah sekalipun merasakan gelar juara sejak Liga Primer Inggris dimulai.
 
Tetapi kalau peringkat di klasemen Liga Primer hingga sekarang ini yang menjadi patokannya, maka fans Liverpool dapat menjadi optimis kalau tahun ini akhirnya akan menjadi waktu di mana trofi juara domestik di Inggris akan bermarkas kembali di Anfield.
Sama seperti klub saingannya Manchester United, Liverpool juga sarat dengan sejarah, tragedi, dan prestasi. Sehingga ada masanya sepakbola Inggris identik dengan tim merah dari daerah Merseyside ini.
Selain The Beatles, klub ini menjadi hal lain yang membanggakan bagi kota Liverpool. Tetapi apakah The Beatles mempunyai sepuluh fakta menarik yang menghiasi The Reds? Mari kita simak fakta-fakta tersebut di bawah ini.

1.   Sejarah Liverpool sebagai sebuah klub sepakbola berawal pada suatu hari di tahun 1892 saat terjadi perselisihan antara Everton yang menyewa lapangan Anfield dengan John Houlding yang saat itu menjadi pemilik stadion Anfield. Houlding ingin menaikkan biaya sewa dari £100 ke £250 per tahun. Hal itu ditolak Everton dan mereka akhirnya pindah ke stadion baru di Goodison Park. Houlding yang tak mau melihat lapangannya tak terpakai, akhirnya malah memutuskan untuk membentuk sebuah tim sepakbola sendiri yang akan memakai Anfield. Tim baru yang lahir pada 15 Maret 1892 itu akhirnya diberi nama Liverpool Football Club.
2.   Liverpool sejak pertama kali terbentuk telah selalu bermarkas di Anfield. Stadion itu sendiri dibangun tahun 1884 dan berada di seberang Stanley Park. Tribun yang paling terkenal di Anfield tentunya adalah The Kop yang dinamakan berdasarkan sebuah bukit di propinsi Kwazulu-Natal, Afrika Selatan bernama Spion Kop. Bukit tersebut menjadi terkenal karena menjadi ajang pertempuran antara Lancashire Regiment yang kebanyakan berasal dari Liverpool dengan kaum Boer di Perang Boer Kedua. Nama The Kop itu diberikan oleh editor olahraga Liverpool Echo Ernest Edwards. Sekarang selain Liverpool, banyak tim sepakbola lain yang menamakan tribun mereka The Kop juga. Antara lain Sheffield United, Leicester City, Coventry City, dan Sheffield Wednesday.
3. Pada awalnya warna seragam Liverpool bukanlah merah seperti sekarang ini, melainkan biru dan putih. Baru sejak 1894, warna merah mulai digunakan sebagai warna seragam dan putih untuk celana. Akhirnya sejak 1964, semua pemain Liverpool mengenakan warna merah dari seragam, celana, dan kaos kaki. Menurut seorang legenda Liverpool Ian St. John dalam otobiografinya, ini terjadi saat manajer saat itu Bill Shankly merasa merah akan memberikan keuntungan psikologis bagi mereka. Shankly makin yakin timnya harus mengenakan warna merah setelah melihat salah satu pemainnya Ronnie Yeats terlihat lebih garang dalam balutan seragam dan celana merah. St. John kemundian mengusulkan kepada Shankly agar kaos kakinya juga berwarna merah.
4.      Obor yang berada di logo Liverpool sekarang, ditambahkan untuk mengenang 96 suporter yang tewas saat Bencana Hillsborough. Kemalangan itu terjadi pada 15 April 1989 saat berlangsungnya pertandingan semi-final Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest. Terlalu banyaknya penonton yang hadir membuat bagian tribun yang diperuntukkan bagi fans Liverpool menjadi sangat padat dan mereka pun akhirnya menjadi sangat berdesak-desakan dan tidak bisa keluar karena masih dihalangi oleh pagar kawat yang tinggi. Akibatnya banyak yang mengalami sesak napas dan meninggal. Pertandingan pun dihentikan enam menit setelah dimulai karena banyaknya penonton yang mencoba memanjat pagar untuk menghindari kepadatan itu. Kejadian ini membuat seluruh stadion di Inggris diubah menjadi stadion yang hanya memiliki tempat duduk dan pagar yang memisahkan penonton dengan lapangan dihilangkan.
5.  Walaupun Liverpool mempunyai sejarah yang gemilang dengan prestasi mereka di lapangan. Sebagian diantaranya menjadi ternoda karena hooliganisme dari para suporternya. Hal itu menjadi puncaknya pada 29 Mei 1985 ketika terjadinya Bencana Heysel. Heysel menjadi stadion tempat dilangsungkannya final Piala Eropa antara Liverpool melawan Juventus. Satu jam sebelum pertandingan dimulai, sebagian besar kelompok suporter Liverpool menerjang pagar yang memisahkan mereka dengan suporter Juventus dan kemudian menyerang para fans Bianconeri. Hal itu membuat para suporter Juve berlarian mundur untuk menghindari serangan dan terpojok di tembok stadion. Tembok itu akhirnya roboh dan menimpa penonton lain yang berada di bawahnya. Situasi kemudian menjadi kacau balau, dan wasit memutuskan untuk terus melanjutkan pertandingan untuk menghindari kerusuhan lebih lanjut lagi. Peristiwa ini mengakibatkan hilangnya nyawa 39 orang yang kebanyakan merupakan suporter Juventus dan juga skorsing bagi semua klub Inggris untuk tidak mengikuti semua kompetisi Eropa yang diadakan UEFA. Skorsing itu akhirya baru dicabut di musim 1990-91.
6.   Ian Callaghan adalah pemain yang tampil paling banyak bagi Liverpool sebanyak 857 kali dalam karir yang berlangsung selama 19 musim di Anfield. Legenda lainnya Ian Rush memegang rekor sebagai pemain yang paling banyak mencetak gol bagi Liverpool dengan 346 gol. Sedangkan Phil Neal merupakan pemain yang paling banyak menjadi juara di Liverpool karena ia telah berhasil memiliki medali pemenang sebanyak 20 buah. Rekor Neal ini juga bertahan bagi Inggris sebelum dipecahkan musim lalu oleh Ryan Giggs dari Manchester United.
7.  Kemenangan terbesar yang pernah dicatat oleh Liverpool terjadi pada 1974 saat mereka menghancurkan Stromsgodset IF dengan skor akhir 11-0. Tetapi mereka juga pernah tampil buruk sekali dan mengalami kekalahan terbesar ketika digebuk Birmingham City 1-9 20 tahun sebelum kemenangan terbesar Liverpool terjadi.
8.   Lagu kebanggaan yang selalu dinyanyikan para penonton di Anfield dan fans Liverpool di seluruh dunia berjudul You’ll Never Walk Alone (YNWA) yang aslinya merupakan sebuah lagu di drama musikal Carousel. Lagu itu dinyanyikan pertama kali di Anfield saat band Gerry and the Pacemakers yang juga berasal dari Liverpool berhasil mencapai nomor satu di jenjang tembang berkat lagu itu. Suporter yang ikut bernyanyi saat lagu-lagu dari jenjang tembang itu diputar tidak berhenti menyanyikan YNWA mesikipun lagu itu sudah tidak masuk daftar lagi. Sejak itulah tradisi menyanyikan lagu tersebut di Anfield lahir. Lagu yang sama juga kemudian diadopsi oleh pendukung klub lain seperti Glasgow Celtic, Hibernian, Feyenoord Rotterdam, dan FC Twente.
9.  Kepemilikan Liverpool sekarang berada di tangan dua orang Amerika Serikat Tom Hicks dan George Gillett sejak 6 February 2007 ketika mereka membeli saham terakhir dari ketua sebelumnya David Moores. Hubungan antara Hicks dan Gillett kemudian dilaporkan memburuk sehingga membuat Dubai International Capital tertarik untuk menjadi pemilik Liverpool. Setahun sebelumnya, Liverpool telah mendapatkan izin untuk membangun stadion baru di Stanley Park. Tetapi desain stadion baru itu diubah setelah masuknya Hicks & Gillett dan kini pembangunan stadion menjadi tertunda karena adanya krisis finansial yang melanda global dunia.
10.  Kemampuan Liverpool untuk terus bermain dan pantang menyerah sangat terlihat di dalam dua pertandingan final yang mereka hadapi. Saat final Piala FA 2006 melawan West Ham United berlangsung, Liverpool dengan cepat tertinggal 1-2 dalam waktu 32 menit pertama. Skor berubah lagi menjadi 3-2 bagi West Ham hingga akhirnya kapten Steven Gerrard mencetak satu gol di menit perpanjangan waktu terakhir yang merubah skor 3-3 yang harus diakhiri lewat adu penalti. The Reds akhirnya menjadi juara setelah kiper Pepe Reina mampu memblok tendangan penalti 3 pemain West Ham. Final lainnya terjadi di ajang Liga Champions 2005 melawan AC Milan di Istanbul, Turki. Menjelang turun minum, Liverpool telah kebobolan 0-3. Lalu, The Reds mampu menyamakan kedudukan dengan mencetak tiga gol juga di babak kedua. Hasil seri itu bertahan hingga peluit akhir dan memaksa diadakannya adu penalti lagi. Kali ini pahlawan Liverpool adalah penjaga gawang Jerzy Dudek yang berhasil menepis tendangan penalti terakhir Andriy Shevchenko

Sabtu, 28 April 2012

In-Efisiensi BBM Berusbsidi, Pemerintah Tidak Disiplin

Senin, 27 Februari 2012

Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia yang dipengaruhi oleh  kenaikan harga minyak mentah dunia pada harga 120 dolar per barel dimaklumi oleh banyak kalangan. Pemerintah beralasan bahwa, bila harga BBM tak dinaikkan, maka APBN bisa collaps dan program pembangunan akan terhambat.
Namun, alibi pemerintah yang menyatakan bahwa pembangunan akan terhambat lantaran subsidi BBM yang terlalu memberatkan APBN tidak selamanya benar. Sebab subsidi tetap penting diberikan terutama kepada masyarakat nelayan untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional, yaitu mengendalikan inflasi yang didorong oleh administered price (barang yang harganya dikendalikan oleh pemerintah).
Di sisi lain, inefisiensi dan ketidak disiplinan pemerintah dalam pengelolaan subsidi energi menjadi pemicu pembengkakan subsidi, hal tersebut berdampak dan menyebabkan kontribusi APBN terhadap pembangunan ekonomi Indonesia sangat minim. Hal lain yang perlu dicermati adalah kegagalan pemerintah dalam melakukan perombakan dan reformasi birokrasi. Sejauh ini, buruknya penataan birokrasi pemerintahan hanya menjadi ruang bagi adanya praktik korupsif dan manipulatif sehingga peran APBN dalam pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan semakin kecil dan sangat terhambat.
BBM Bersubsidi Untuk Nelayan
Berkaitan dengan rencana kenaikan harga BBM, kenaikan harga solar menjadi Rp 4.500 per liter dari sebelumnya Rp. 4.300 per liter dipastikan akan menambah beban hidup dan operasional para nelayan, karena selama ini bahan bakar menyumbang 50%-60% biaya nelayan. Tekanan ekonomi nelayan akan semakin sulit sejalan dengan kenaikan biaya operasional serta kebutuhan dasar lain seperti pangan, papan, pendidikan dan kesehatan.
Lemahnya komitmen pembangunan di sektor kelautan membuat warga di desa dan kawasan pesisir masih dilanda kemiskinan akut. Pembangunan di sektor ini sama sekali belum mencapai target kesejahteraan, apalagi memberi kontribusi bagi perekonomian daerah. Padahal undang-undang yang mengatur sektor kelautan maupun pembangunan pesisir jelas mendorong peningkatan kesejahteraan para nelayan di kawasan pesisir.
Ironisnya, penyalahgunaan BBM bersubsidi untuk nelayan tradisional oleh pelaku industri marak terjadi karena Peraturan Presdien No. 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM tertentu tidak sedikitpun menyinggung permaslahan tersebut. Faktanya, banyak oknum aparat pemerintah yang nakal menimbun stok BBM bersubsidi untuk para nelayan tradisional. Mereka juga mempersulit nelayan untuk memperoleh subsidi melalui mekanisme izin dan retribusi.
Selain itu, pendistribusian BBM bagi nelayan tradisional tidak pernah tersedia secara berkelanjutan. Nelayan tradisional justru dikriminalisasi atas tuduhan penimbunan BBM karena melakukan pembelian BBM dengan menggunakan drum atau jirigen di SPBU.
Alibi pertumbuhan konsumsi BBM dan efisiensi anggaran negara tidak boleh menjadi alasan bagi berkurangnya alokasi BBM bersubsidi bagi nelayan tradisional. Sebab tujuan dari pembangunan adalah terciptanya kesejahateraan serta terpenuhinya taraf hidup masyarakat, yaitu ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Oleh karena itu, sebagai anggota Komisi VII Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR RI yang memiliki komitmen serta kepedulian terhadap keberlangsungan hidup masyarakat nelayan (pesisir), saya menghimbau kepada pemerintah agar seluruh nelayan tetap mendapatkan harga BBM bersubsidi dan tidak ada kenaikan harga.
Dengan tetap memberikan subsidi bagi para nelayan, berarti kita turut serta mendukung dan peduli dalam mendorong keberlangsungan mata pencaharian  masyarakat nelayan tradisional serta mendorong tercapainya proses pembangunan kesejahteraan secara berkelanjutan.

Insiden Pelabuhan Sape, Bukti Negara Gagal Melindungi Rakyatnya


Represifitas aparat dan tindakan In-humane di sektor energi kembali terjadi. Hampir tidak ada tambang besar di republik  ini (Freeport, Newmont dan lain-lain) yang tidak dilanda problem sosial.

Akar masalah sosial dan peristiwa berdarah di pelabuhan Sape Bima NTB tidak jauh berbeda dengan problem sosial yang melanda dan terjadi di PT. Freeport Indonesia.  Penyelesaian kasus sosial tambang yang terjadi di Bima NTB dan lain-lain harus direspon dalam kontek penyelesaian tambang secara nasional, tidak bisa diselesaikan dari kasus perkasus.


Mengenai kasus sosial tambang yang terus terjadi berulang-ulang dan merenggut nyawa masyarakat sekitar areal tambang menjadi bukti bahwa SOP dan tindakan aparat sudah kebablasan. Sikap “in-humane” aparat dalam merespon kasus demi kasus yang terjadi di areal pertambangan menunjukkan bahwa represifitas aparat tidak lain adalah bentuk “feodalisme” disektor energi kembali berlaku.

Banyaknya kasus kekerasan (sosial pertambangan) yang terjadi antara perusahaan tambang dan masyarakat sipil, maka kami mengutuk tindakan represif aparat dan mendesak kepada pemerintah agar melakukan moratorium izin pembukaan tambang hingga kasus sosial pertambangan dapat diselesaikan secara nasional.

Penutupan izin pembukaan tambang, atau perusahaan-perusahan tambang nakal yang mengakibatkan terjadinya kasus kekerasan sosial dan kerusakan lingkungan mendesak dan harus segera dilakukan. Insiden kekerasan dan sikap “in-humane” aparat seperti yang terjadi di Pelabuhan Sape Bima NTB jelas akan menjadi bom waktu jika pemerintah tidak sigap dalam merespon kasus-kasus sosial pertambangan yang terjadi.

Kita tidak anti dengan kegiatan apapun, apalagi jika kegiatan tersebut yang memiliki dampak positif terhadap pembangunan kesejahteraan masyarakat, bahkan kegiatan pertambangan sekalipun. Akan tetapi kami tidak bisa membiarkan pola kerja birokrasi atau aparat yang korup, represif, feodal, hukum yang lemah dan UU pertambangan yang penuh rekayasa dan tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Oleh sebab itu, penghentian sementara pembukaan izin pertambangan atau perusahaan tambang nakal mendesak dan harus segera dilakukan. 
 

Minggu, 25 Desember 2011