Selasa, 17 Juli 2012

Analisis Permasalahan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia beserta Pemberian Solusi dari Sudut Pandang Hukum dan Sosial



Minyak dan gas bumi merupakan sektor penting suatu negara, terkait dengan adanya kebutuhan akan energi dan kemajuan perekonomian bangsa. Berangkat dari semangat konstitusi kita pada pasal 33 UUD 1945, bahwa cabang produksi vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Undang-Undang no 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi perubahan atas Undang-Undang nomor 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara telah membawa banyak perubahan berarti sejak tahun 2001 baik positif maupun negatif. Digantinya UU Migas yang lama dengan yang baru karena UU yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman termasuk perkembangan teknologi. Seiring dengan perkembangan waktu, permintaan masyarakat akan energi semakin meningkat sedangkan Pertamina sendiri kewalahan dalam memenuhi karena kurangnya staf ahli, teknologi serta dana, maka persaingan pun tak lagi dimonopoli oleh Pertamina. Persaingan dibuka untuk umum.
Perubahan yang paling besar dampaknya adalah perubahan status Pertamina yang dulunya merupakan “penguasa tunggal” pengelola minyak dan gas bumi (Badan Usaha Milik Negara) menjadi Perusahaan perseroan, yang menurut definisi UU no 19 tahun 2003 tentang BUMN, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Jadi Pertamina tidak lagi mengatur pengelolaan, distribusi, pemurnian, eksploitasi, dll. Pertamina menjadi salah satu pihak atau perusahaan yang akan mengusahakan pengelolaan energi. Pertamina yang tidak lagi memonopoli pengelolaan migas digantikan oleh BP Migas untuk sektor hulu dan BPH Migas untuk sektor hilir. BP dan BPH migas ini sesuai dengan UU 22/2001 pasal 4 ayat 3 dibentuk oleh Pemerintah dan pertanggungjawabannya juga langsung ke Pemerintah.
Namun UU Migas yang baru, selain memberikan solusi, ternyata juga menimbulkan permasalahan tersendiri. Sisi positifnya adalah, sejak tahun 2001, dari segi pelayanan, produksi, dan produk, Pertamina sudah jauh lebih baik dari yang dulu. Dapat kita lihat sendiri dengan adanya Pertamina Pasti Pas, kemudian SPBU yang semakin bersih dan rapi, dari segi pelayanan, kemudian BBM yang tidak lagi ber-timbal, dst. Hal ini merupakan dampak adanya persaingan terbuka yang mendorong masing-masing pengusaha untuk memperbaiki mutunya. Sisi positif lainnya adalah, konsumen semakin bebas menentukan bahan bakar atau gas yang ingin mereka gunakan. Tergantung kebutuhan.
Permasalahan pada UU ini adalah kembali lagi kepada persaingan usaha. Karena bebasnya persaingan, perusahaan asing pun bisa berinvestasi untuk mengelola energi bangsa ini. Muncul ketakutan bahwa perusahaan-perusahaan asing itu akan menguasai pasar, atau melakukan eksploitasi besar-besaran. Pada pasal 22 ayat (1) pun dijelaskan bahwa Badan Usaha Tetap paling banyak menyerahkan 25% untuk kebutuhan dalam negeri. Jadi jelas bahwa pengusaha-pengusaha asing itu akan mengeruk keuntungan yang sangat banyak dari “bisnis” ini. Kita sungguh tidak ingin kasus seperti Freeport itu terulang lagi di negara ini.
Juga menurut Hanan Nugroho dalam presentasinya di Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Pasca Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia & Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, Jakarta, 8-9 Desember 2004, mengatakan bahwa peraturan-peraturan turunan berupa PP dibentuk terlalu lama. Sehingga dalam masa transisi bentuk Pertamina, terjadi kekacauan sistem, kesimpang-siuran wewenang dan tanggung jawab. Serta berlarutnya masalah transfer pembiayaan organisasi dari sebelumnya Pertamina ke Pemerintah.
Kemudian terkait dengan hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh pihak asing sesuai dengan UU Agraria adalah hanya hak pakai dan hak sekunder lainnya setelah mendapat izin pemerintah. Waktu yang diberikan oleh UU no 22 tahun 2001, itu maksimal 50 tahun. Jika dibandingkan dengan waktu yang ditetapkan oleh UU Agraria, 50 tahun termasuk waktu yang cukup lama.
Pasal 22 ayat 1, pasal 12 ayat 3, dan pasal 28 ayat 2 dan 3 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi membuktikan bahwa UU tersebut secara keseluruhan harus dikaji kembali dan di revisi setelah 10 tahun berlaku dengan aroma liberalisme yang kuat.
Jadi walaupun pengelolaan minyak dan gas bumi tidak sepenuhnya dikontrol oleh pemerintah, pemerintah haruslah tetap melakukan pengawasan dan kontrol pada Kegiatan Usaha Hulu maupun Kegiatan Usaha Hilir. Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh BP dan BPH Migas haruslah berjalan sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing. Liberalisasi ekonomi yang sedang Indonesia masuki saat ini sebaiknya tidak dikontrol sepenuhnya oleh pasar. Konstitusi sendiri mengatur bahwa sektor usaha yang terkait dengan kepentingan masyarakat luas haruslah digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Rakyat sudah seharusnya menikmati kekayaan alam yang Indonesia miliki dengan sebaik-baiknya.
Tenaga kerja terdidik dan terlatih juga harus dicetak oleh Negara ini. Sungguh sia-sia sekali kekayaan alam yang melimpah yang kita punya tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal, bahkan dikuasai bertahun-tahun oleh pihak asing. Juga terkait Kontrak Kerja Sama yang telah diatur oleh Undang-Undang harus dilakukan pengawasan ketat, agar perjanjian yang disepakati tidak mengambil hak rakyat, sesuai dengan konstitusi. Regulasi yang jelas dan kuat sudah seharusnya dibuat dengan segera terkait hal ini. Hanya bermodalkan Peraturan Pemerintah tidaklah cukup untuk memperkuat law enforcementnya. RUU Migas yang sudah dimasukkan dalam Prolegnas haruslah dikawal oleh kita semua agar tercapai kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan ini adalah hasil kesimpulan bacaan dari beberapa sumber media> Monggo silahkan berkomentar. Salam