“Peralihan Regulasi dari UU
No.8 Tahun 1971
Ke UU No. 22 Tahun 2001 Tentang
Minyak dan Gas Bumi”
Magister
Ilmu Hukum Universitas Trisakti
BAB I
A.
PENDAHULUAN
I.
LATAR
BELAKANG
Pertambangan
migas sejak dahulu telah menjadi perhatian penting bahkan sebelum di
deklarasikannya kemerdekaan Negara Republic Indonesia. Hal ini dipicu juga oleh
perkembangan revolusi industri yang merubah wajah dunia menjadi sangat haus
migas sebagai penopang mesin-mesin industri. Selama puluhan tahun perekonomian
Indonesia ditopang dari hasil pengerukan Minyak dan Gas Bumi. Pertambangan
minyak dan gas bumi merupakan sumber alam yang sangat penting dan vital bagi
Negara Indonesia. Sampai saat ini, masyarakat Indonesia sangat tergantung
kepada migas, tidak hanya karena migas dapat menggerakkan mesin-mesin industri,
tetapi migas juga banyak dipergunakan untuk keperluan rumah tangga,
transportasi baik darat, laut maupun udara. Hal lain yang tidak kalah penting
bahwa migas merupakan komoditas strategis yang menjadi salah satu andalan
pendapatan bagi Indonesia.
Minyak bumi mulai dikenal oleh bangsa Indonesia mulai abad pertengahan.
Penemuan sumber minyak yang pertama di Indonesia terjadi pada tahun 1883 oleh
seorang Belanda bernama A.G. Zeijlker di lapangan minyak Telaga Tiga dan Telaga
Said di dekat Pangkalan Brandan. Penemuan ini kemudian disusul oleh penemuan
lain yaitu di Pangkalan Brandan dan Telaga Tunggal. Selanjutnya, menjelang akhir abad ke-19
terdapat beberapa perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Pada tahun
1935 untuk mengeksplorasi minyak bumi di daerah Irian Jaya dibentuk perusahaan
gabungan antara B.P.M., N.P.P.M., dan N.K.P.M. yang bernama N.N.G.P.M. (Nederlandsche
Nieuw Guinea Petroleum Mij) dengan hak eksplorasi selama 25 tahun.
Hasilnya pada tahun 1938 berhasil ditemukan lapangan minyak Klamono dan disusul
dengan lapangan Wasian, Mogoi, dan Sele. Namun, karena hasilnya dianggap tidak
berarti akhirnya diserah terimakan
kepada perusahaan SPCO dan kemudian diambil alih oleh Pertamina tahun 1965.[1]
Setelah perang kemerdekaan di era revolusi fisik tahun 1945-1950 terjadi
pengambil alihan semua instalasi minyak oleh pemerintah Republik
Indonesia. Pada tahun 1945 didirikan P.T. Minyak Nasional Rakyat yang pada
tahun 1954 menjadi perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara. Pada tahun 1957
didirikan P.T. Permina oleh Kolonel Ibnu Sutowo yang kemudian menjadi P.N.
Permina pada tahun 1960. Pada tahun 1959, N.I.A.M. menjelma menjadi P.T.
Permindo yang kemudian pada tahun 1961 berubah lagi menjadi P.N. Pertamin. Pada
waktu itu juga telah berdiri di Jawa Tengah dan Jawa Timur P.T.M.R.I
(Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia) yang menjadi P.N. Permigan dan
setelah tahun 1965 diambil alih oleh P.N. Permina. Pada tahun 1961 sistem
konsesi perusahaan asing dihapuskan diganti dengan sistem kontrak karya. Tahun
1964 perusahaan SPCO diserahkan kepada P.M. Permina. Tahun 1965 menjadi momen
penting karena menjadi sejarah baru dalam perkembangan industri perminyakan
Indonesia dengan dibelinya seluruh kekayaan B.P.M. – Shell Indonesia oleh P.N.
Permina. Pada tahun itu diterapkan kontrak bagi hasil (production
sharing) yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan
daerah konsesi P.N. Permina dan P.N. Pertamin. Perusahaan asing hanya bisa
bergerak sebagai kontraktor dengan hasil produksi minyak dibagikan bukan lagi
membayar royalty.[2]
Sejak tahun 1967 eksplorasi besar-besaran dilakukan baik di darat maupun di
laut oleh P.N. Pertamin dan P.N. Permina bersama dengan kontraktor asing. Tahun
1968 P.N. Pertamin dan P.N. Permina digabung menjadi P.N. Pertamina dan menjadi
satu-satunya perusahaan minyak nasional. Di tahun 1969 ditemukan lapangan
minyak lepas pantai yang diberi nama lapangan Arjuna di dekat Pemanukan, Jabar.
Tidak lama setelah itu ditemukan lapangan minyak Jatibarang oleh Pertamina.
Kini perusahaan minyak kebanggaan kita ini tengah berbenah diri menuju
perusahaan bertaraf internasional.[3] Saat ini, peran
pihak nasional dalam pengusahaan minyak dan gas bumi (migas), khususnya di
bidang hulu, di Indonesia terus
berkembang, dimana peran nasional saat ini telah tumbuh menjadi sekitar 29 persen.
Peran ini amat strategis dan penting mengingat pengusahaan migas memiliki ciri
padat modal, padat teknologi dan beresiko tinggi. Pengusahaan sumber daya migas
memiliki ciri padat modal, padat teknologi dan mengandung resiko investasi yang
besar. Untuk itulah pengusahaan migas sejak awal telah membuka ruang bagi
investor asing. Kendati demikian, seiring dengan berkembangnya kemampuan
nasional, peran perusahaan nasional dalam bidang pengelolaan migas juga
senantiasa memperlihatkan kemajuan.[4]
Berdasarkan Nota Keuangan penerimaan sumber
daya migas dalam APBN 2004 tercatat sebesar 44.0002,3 trilliun sedangkan dalam
APBN Perubahan sebesar 87.647,4 trilliun. Angka tersebut diperoleh dari minyak
bumi sebesar 28.247,9 trilliun dalam APBN dan 63.863,9 trilliun dalam APBN
Perubahan. Sedangkan Gas Alam menyumbangkan 15.754,4 trilliun dan 23.783,5
trilliun masingmasing dalam APBN dan APBN Perubahan. Catatan penerimaan bukan
pajak dari sector sumber daya migas pada APBN tahun 2005 sebanyak 47.121,1
trilliun, angka tersebut disumbangkan oleh sektor minyak bumi sebesar 31.855,7
trilliun dan gas alam sebanyak 15.265,4 trilliun[5].
Tetapi yang tidak dapat dilupakan bahwa kondisi
saat ini Indonesia berada dalam tahapan akhir pemanfaatan minyak dan gas bumi sebagai
pasokan energi utama, sering disebut dengan istilah “net importer” dimana
produksi minyak dan gas bumi tidak dapat lagi di ekspor bahkan tidak mencukupi
lagi untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Eksploitasi sumber daya alam sektor
minyak dan gas bumi yang dilakukan secara terus menerus mengakibatkan cadangan
yang tersimpan di perut bumi semakin manipis, untuk Kalimantan Timur
diperkirakan 2014 cadangan migasnya diperkirakan habis. Pertambangan minyak dan
gas bumi merupakan salah satu andalan pendapatan bagi Indonesia, begitu
pentingnya kedudukan sektor pertambangan migas, maka pengaturannya dilakukan
secara terpisah dari pertambangan umumnya yaitu saat ini diatur dalam UU No. 22
tahun 2001. Sesuai dengan kemampuan negara maka model pengusahaan pertambangan
migas bervariasi.
Ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945
menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Sedangkan ayat (3)
menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kedua ayat ini menegaskan adanya "penguasaan oleh negara" dan
“penggunaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” terhadap sumber daya alam
dan cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak. Minyak dan gas bumi merupakan kekayaan alam yang penting
abgi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga penguasaanya berada
di tangan negara dan penggunaanya harus dilakukan dengan memperhatikan
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sebagai bagian dari sistem perekonomian
nasional, maka pengelolaan sumber daya alam harus diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Berangkat dari amanat hasil rekomendasi Panitia
Khusus Hak Angket tentang Kebijakan Kenaikan Harga BBM (Pansus BBM) revisi
undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi (UU Migas)
menjadi salah satu agenda lesgislasi nasional pada saat itu. Rekomendasi
tersebut, peraturan
sektor migas di Indonesia saat ini memakai Undang-undang no.22 tahun 2001 atau
biasa disebut UU Migas. Sampai saat ini, undang-undang tersebut masih menuai
kontroversi di kalangan masyarakat karena dinilai amat pro-liberalisasi
yang tidak menjamin pasokan BBM dan gas bumi dalam negeri. Meskipun
peraturan ini resmi disahkan pada tahun 2001, belakangan kembali ramai
terdengar isu merevisi undang-undang tersebut dan ini dinilai sebagai agenda
mendesak mengingat jika keadaan dibiarkan seperti sekarang, Indonesia rentan
terkena krisis energi. Substansi dalam UU tersebut yang dinilai tidak
melindungi kepentingan nasional, malah menjadi tonggak liberalisasi dan
privatisasi sektor migas di indonesia karena UU ini dianggap telah mengebiri
hak monopoli Pertamina dan menciptakan sistem birokrasi yang rumit bagi
investor.
Jika dilihat, sejarah lahirnya UU No 22 tahun 2001 tentang
minyak dan gas bumi, substansi UU ini merupakan bagian dari paket Letter of
Intent (LoI), yang dipaksakan oleh IMF dan kartel ekonomi politik
internasional seperti; World Bank, untuk me-liberalisasi dan men-deregulasi
sektor-sektor strategis di Indonesia.[6]
Minyak dan gas bumi adalah salah satunya. Kita tahu, bahwa LoI tersebut
merupakan sejumlah ketentuan yang wajib dilakukan oleh Indonesia, sebagai
syarat untuk menerima “bantuan” dalam penanganan krisis moneter satu dekade
lalu. Secara substantif, dalam kerangka liberalisasi tadi, UU ini bertujuan
untuk memecah (unblunded) sektor hulu dan hilir
minyak dan gas bumi yang tadinya terintegrasi. Di sektor hulu, dari dulu pihak
asing memang sudah lenggang kangkung di Indonesia, dan menguasai 80% cadangan
minyak dan gas bumi Indonesia. Di sektor hulu, UU ini telah melucuti kewenangan
Pertamina sebagai satu-satunya pemegang kuasa pertambangan minyak dan
gas bumi. Pertamina dibuat sebagai pemain “biasa”, disamakan
dengan kontraktor migas mana pun di Indonesia. Pertamina
juga harus memecahkan dirinya ke dalam ranting-ranting usaha hulu dan hilir
yang terpisah[7].
Menanggapi
berbagai permasalahan di sektor migas, DPR mengambil kebijakan untuk membahas
pembentukan UU Migas yang baru. RUU tentang perubahan UU No.22 Tahun 2001 sudah
masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2011. Namun sampai saat
ini belum ada draft RUU migas yang dikeluarkan, memang tidak dapat dipungkiri
adanya tarik ulur kepentingan dalam proses pembuatan UU Migas yang baru, tetapi
permasalahan sektor migas di Indonesia butuh jawaban segera, dan jawaban itu
diharapkan ada dalam UU Migas yang sedang dibahas oleh DPR. Selain itu perlu
adanya komitmen dari pemerintah dan berbagai pihak yang terkait dalam
menjalankan UU Migas yang berlaku, karena sektor migas tidak akan bertambah
baik, jika landasan hukumnya hanya dijadikan sebuah wacana, tetapi harus
benar-benar diimplementasikan dengan baik untuk kesejahteraan rakyat yang
sebesar-besarnya.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Lahirnya Undang-undang Nomor 22 tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi, merupakan tonggak penting dalam pengaturan
pengusahaan pertambangan migas di Indonesia. Salah satu ketentuan menarik
adalah tentang kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract).
Akan tetapi dalam makalah ini rumusan masalah yang akan diulas adalah mengenai;
1.
Sejarah kelahiran Undang-Undang Nomor 22 tahun
2001 tentang Minyak dan gas Bumi.
2.
Apakah UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak
dan gas Bumi sesuai dengan Teori Friederich Carl Von Savigny atau tidak?
BAB II
A.
PEMBAHASAN
I.
KAJIAN
FILOSOFIS
Pengelolaan dan
pengusahaan Minyak dan Gas Bumi merupakan kegiatan pengelolaan bahan galian
strategis baik untuk perekonomian negara maupun untuk kepentingan pertahanan
dan keamanan nasional. Rangkaian pengelolaan dan pengusahaan yang dinamakan sebagai kegiatan Eksplorasi dan
Eksploitasi dalam dunia perminyakan harus dikuasai oleh negara mengingat
nilainya yang sangat tinggi dan dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan energi guna
kesejahteraan kehidupan rakyat.
Konsep
penguasaan oleh negara ini secara filosofis sejalan dengan semangat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
serta kekayaan bumi, air, udara,
dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Kedua ayat ini menegaskan "penguasaan
oleh negara" dan “penggunaannya untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat” terhadap sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang
penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Penguasaan oleh
negara terhadap sumber daya alam bertujuan untuk
menciptakan Ketahanan Nasional di bidang energi (National Energy Security) di Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
sasaran utama penyediaan dan pendistribusian energi di dalam negeri. Pemerintah
berkewajiban menyediakan dan mendistribusikan energi ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketahanan
Nasional di bidang energi menuntut kemampuan Pemerintah untuk melakukan
pengelolaan energi, dengan memperhatikan prinsip berkeadilan,
kemandirian, berkelanjutan, serta berwawasan lingkungan[8]. Walaupun negara memiliki kekuasaan mutlak untuk melakukan konsep penguasaan
terhadap pengelolaan dan penguasaan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 UUD 1945, tetapi secara praktikal hal tersebut tidak dapat
dijalankan (non executable), sehingga perlu ada pihak yang dikuasakan untuk
menjalankan kewenangan tersebut, dalam arti diatur dan diselenggarakan oleh
pihak-pihak yang diberi wewenang oleh negara dan bertindak untuk dan atas nama
negara berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pihak yang diberi
kewenangan oleh negara dan bertindak untuk dan atas nama negara dalam
menjalankan pengelolaan dan pengusahaan minyak dan gas bumi, melakukan kegiatan
yang holistik di bidang Migas, meliputi kegiatan pengelolaan dan pengusahaan
pengolahan, pemurnian, pengangkutan, pendistribusian, penyimpanan dan
pemasaran, atau dengan kata lain melakukan kegiatan hulu dan hilir migas.
Pemberian kewenangan ini melahirkan konsep kuasa pertambangan.
Konsep kuasa
pertambangan ini diharapkan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan negara yang
diberikan kepada pihak yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan,
untuk melakukan kegiatan menyeluruh terhadap migas, yang meliputi diantaranya eksplorasi, eksploitasi,
pemurnian/pengilangan, pengangkutan dan penjualan migas, yang bertujuan untuk
tercapainya kemakmuran rakyat.
II.
KAJIAN
SOSIOLOGIS
Minyak bumi mulai dikenal oleh bangsa Indonesia mulai abad pertengahan.
Penemuan sumber minyak yang pertama di Indonesia terjadi pada tahun 1883 oleh
seorang Belanda bernama A.G. Zeijlker di lapangan minyak Telaga Tiga dan Telaga
Said di dekat Pangkalan Brandan. Penemuan ini kemudian disusul oleh penemuan
lain yaitu di Pangkalan Brandan dan Telaga Tunggal. Selanjutnya, menjelang akhir abad ke-19
terdapat beberapa perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Pada tahun
1902 didirikan perusahaan yang bernama Koninklijke Petroleum Maatschappij
yang kemudian dengan Shell Transport Trading Company
melebur menjadi satu bernama The Asiatic Petroleum Company atau Shell
Petroleum Company. Pada tahun 1907 berdirilah Shell
Group yang terdiri atas B.P.M., yaitu Bataafsche Petroleum
Maatschappij dan Anglo
Saxon. Pada waktu itu di Jawa timur juga terdapat suatu perusahaan
yaitu Dordtsche
Petroleum Maatschappij namun kemudian diambil alih oleh B.P.M[9]
Pada tahun 1912, perusahaan minyak Amerika mulai masuk ke
Indonesia. Pert kali dibentuk perusahaan N.V. Standard Vacuum Petroleum Maatschappij
atau disingkat SVPM. Perusahaan ini mempunyai cabang di Sumatera Selatan dengan
nama N.V.N.K.P.M (Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij)
yang sesudah perang kemerdekaan berubah menjadi P.T. Stanvac Indonesia. Untuk
menandingi perusahaan Amerika, pemerintah Belanda mendirikan perusahaan
gabungan antara pemerintah dengan B.P.M. yaitu Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij.
Dalam perkembangan berikutnya setelah perang dunia ke-2, perusahaan ini berubah
menjadi P.T. Permindo dan pada tahun 1968 menjadi P.T. Pertamina. Pada tahun
1920 masuk dua perusahaan Amerika baru yaitu Standard Oil of California dan Texaco.
Kemudian, pada tahun 1930 dua perusahaan ini membentuk N.V.N.P.P.M
(Nederlandsche Pasific Petroleum Mij) dan menjelma menjadi P.T. Caltex Pasific
Indonesia, sekarang P.T. Chevron Pasific Indonesia. Perusahaan ini mengadakan
eksplorasi besar-besaran di Sumatera bagian tengah dan pada tahun 1940
menemukan lapangan Sebangga disusul pada tahun berikutnya 1941 menemukan
lapangan Duri. Di daerah konsesi perusahaan ini, pada tahun 1944 tentara Jepang
menemukan lapangan raksasa Minas yang kemudian dibor kembali oleh Caltex pada
tahun 1950.[10]
Pada tahun 1935 untuk mengeksplorasi minyak bumi di daerah Irian Jaya
dibentuk perusahaan gabungan antara B.P.M., N.P.P.M., dan N.K.P.M. yang bernama
N.N.G.P.M. (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Mij)
dengan hak eksplorasi selama 25 tahun. Hasilnya pada tahun 1938 berhasil
ditemukan lapangan minyak Klamono dan disusul dengan lapangan Wasian, Mogoi,
dan Sele. Namun, karena hasilnya dianggap tidak berarti akhirnya
diseraterimakan kepada perusahaan SPCO dan kemudian diambil alih oleh Pertamina
tahun 1965.[11]
Setelah perang kemerdekaan di era revolusi fisik tahun 1945-1950 terjadi
pengambilalihan semua instalasi minyak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada
tahun 1945 didirikan P.T. Minyak Nasional Rakyat yang pada tahun 1954 menjadi
perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara. Pada tahun 1957 didirikan P.T.
Permina oleh Kolonel Ibnu Sutowo yang kemudian menjadi P.N. Permina pada tahun
1960. Pada tahun 1959, N.I.A.M. menjelma menjadi P.T. Permindo yang kemudian
pada tahun 1961 berubah lagi menjadi P.N. Pertamin. Pada waktu itu juga telah
berdiri di Jawa Tengah dan Jawa Timur P.T.M.R.I (Perusahaan Tambang Minyak
Republik Indonesia) yang menjadi P.N. Permigan dan setelah tahun1965 diambil
alih oleh P.N. Permina. Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing dihapuskan
diganti dengan sistem kontrak karya. Tahun 1964 perusahaan SPCO diserahkan
kepada P.M. Permina. Tahun 1965 menjadi momen penting karena menjadi sejarah
baru dalam perkembangan industri perminyakan Indonesia dengan dibelinya seluruh
kekayaan B.P.M. – Shell Indonesia oleh P.N. Permina. Pada tahun itu diterapkan
kontrak bagi hasil (production sharing) yang menyatakan
bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah konsesi P.N. Permina dan P.N.
Pertamin. Perusahaan asing hanya bisa bergerak sebagai kontraktor dengan hasil
produksi minyak dibagikan bukan lagi membayar royalty.[12]
Sejak tahun 1967 eksplorasi besar-besaran dilakukan baik di darat maupun di
laut oleh P.N. Pertamin dan P.N. Permina bersama dengan kontraktor asing. Tahun
1968 P.N. Pertamin dan P.N. Permina digabung menjadi P.N. Pertamina dan menjadi
satu-satunya perusahaan minyak nasional. Di tahun 1969 ditemukan lapangan
minyak lepas pantai yang diberi nama lapangan Arjuna di dekat Pemanukan, Jabar.
Tidak lama setelah itu ditemukan lapangan minyak Jatibarang oleh Pertamina.
Kini perusahaan minyak kebanggaan kita ini tengah berbenah diri menuju
perusahaan bertaraf internasional.[13] Saat ini, peran
pihak nasional dalam pengusahaan minyak dan gas bumi (migas), khususnya di
bidang hulu, di Indonesia terus
berkembang, dimana peran nasional saat ini telah tumbuh menjadi sekitar 29
persen. Peran ini amat strategis dan penting mengingat pengusahaan migas
memiliki ciri padat modal, padat teknologi dan beresiko tinggi. Pengusahaan
sumber daya migas memiliki ciri padat modal, padat teknologi dan mengandung
resiko investasi yang besar. Untuk itulah pengusahaan migas sejak awal telah
membuka ruang bagi investor asing. Kendati demikian, seiring dengan
berkembangnya kemampuan nasional, peran perusahaan nasional dalam bidang
pengelolaan migas juga senantiasa memperlihatkan kemajuan.[14]
Berdasarkan ciri pengusahaan sumber daya migas di atas dan keinginan untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara, sejak tahun 1964 telah
diberlakukan pola Production Sharing Contract (PSC).
Pola ini menempatkan negara sebagai pemilik dan pemegang hak atas sumber daya
migas. Sedang perusahaan sebagai kontraktor. Pada pola PSC, investasi
ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan (sebagai kontraktor). Resiko investasi antara lain berupa hilangnya
modal karena tidak menemukan migas menjadi beban kontraktor. Namun jika
mendapatkan migas, investasi yang telah dikeluarkan kontraktor di-cover oleh
hasil produksi atau dikenal dengan cost recovery. Selain itu hasil
produksi migas juga dibagi antara negara dengan kontraktor yang diatur dalam
kontrak. Pada saat ini PSC sudah mengalami kemajuan dengan ditetapkan First
Tranche Petroleum (FTP) yaitu sebelum investasi dikeluarkan untuk
kontraktor dari hasil produksi, dipotong
dahulu (sekitar 20%) untuk negara.[15] Selain
telah memberikan peran bagi pihak nasional, sub sektor migas telah membuktikan
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi penerimaan/keuangan negara. Bahkan
pada tahun 1980-an, peran sub sektor migas terhadap APBN pernah mencapai lebih
dari 70 persen. Saat ini peran sub sektor migas terhadap penerimaan/keuangan
negara sebesar sekitar 31,62 persen. Berdasarkan study yang dilakukan oleh Wood
Mackenzie (2007), penerimaan bagian pemerintah (government take) untuk pengusahaan
bidang hulu migas di Indonesia mencapai 79% (USD 75/barel dari existing
asset) atau di atas rata-rata negara lain yaitu sebesar 73% (USD
68/barel).[16]
III.
KAJIAN
YURIDIS
Secara yuridis urgensi pembentukan Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 pada tanggal 21 Desember 2004. Putusan
dimaksud telah membatalkan Pasal 12 ayat
(3), Pasal 22 ayat (1), Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, karena bertentangan dengan Pasal 33
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian pasal-pasal tersebut tidak lagi
memiliki kekuatan hukum yang mengikat sehingga mempengaruhi implementasi dari
keseluruhan undang-undang tersebut.
Dengan dibatalkannya beberapa pasal dimaksud,
maka diperlukan suatu perumusan yang baru terhadap substansi pengaturan yang
ada, yang dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum dan langkah-langkah
pembaruan dan penataan kembali atas penyelenggaraan pengusahaan sumber daya
alam minyak dan gas bumi. Seperti diketahui bahwa sejak diproklamasikan negara
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, pengaturan mengenai kegiatan
pertambangan minyak dan gas bumi di Indoensia masih didasarkan atas peraturan
yang dibuat oleh Pemeirntah Hindia Belanda yakni Indische Mijnwet 1899. Baru
pada tahun 1960, pemerintah Presiden RI Sukarno melahirkan UU Nomor Undang-Undang
Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi. Undang-undang ini merupakan undang-undang yang pertama yang mengatur
kegiatan pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia sebagai pengganti dari Indische Mijnwet 1899.
Kemudian
dengan pergantian pemerintahan dari Presiden Sukarno kepada Suharto pada tahun
1967, pemerintahan Presiden RI Suharto menciptakan UU Nomor 8 Tahun 1971
tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara atau yang lajim
disebut dengan UU tentang Pertamina. Kedua undang-undang tersebut di atas tetap
dipergunakan sebagai peraturan hukum di bidang pertambangan minyak dan gas bumi
sampai tahun 2000. Dengan bergulirnya reformasi di berbagai bidang tahun 1999
dan disertai dengan pergantian pemerintahan, pada tahun 2001 terbentuk UU Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi untuk menggantikan UU Nomor 44 Prp. Tahun
1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi serta UU Nomor 8 Tahun 1971
tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. UU Nomor 22 tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi masih tetap dilaksanakan sampai saat ini
sebagai landasan yuridis dalam pengaturan kegiatan di sektor minyak dan gas
bumi[17].
B.
ANALISA
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI
I.
PROBLEMA
HUKUM MIGAS
Konstitusi memiliki peranan penting
dalam kehidupan perekonomian nasional Indonesia, karena konstitusi yang
mengatur dasar landasan perekonomian nasional. Banyak yang beranggapan bahwa
konstitusi hanyalah mengatur masalah kehidupan politik dan bukan perekonomian.
Pandangan demikian pada umumnya berlaku donegara-negara yang menganut ideology
sosialis, komunis yang saat ini semakin sedikit jumlahnya. Konstitusi tidak
hanya mengatur kehidupan politik, tetapi justru lebih besar dalam pengaturan
kehidupan perekonomian. Walaupun demikian, terbukti bahwa dengan semakin
kompleksnya kehidupan social dan ekonomi Negara-negara yang pada dasarnya
merupakan Negara dengan paham pasar bebas dengan tradisi hokum common law, dalam
dasawarsa terakhir dikenal sangat produktif dalam membuat aturan
perundang-undangan[18].
Dalam hukum ke Indonesia-an, menurut
Savigny dengan teori volkgeit-nya,[19]
menekankan bahwa terdapat hubungan yang organik, tidak terpisahkan, antara
hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum sejati tidak dibuat,
melainkan harus ditemukan. Jelaslah, penguasa atau para pakar hukum jangan
hanya duduk diam dalam membuat hukum menurut ide dan kemauannya saja, tapi
harus lebih giat menggali nilai hukum yang ada dalam masyarakat. Dalam Pancasila, “sila Kemanusiaan Yang Adil
dan beradab” mengandung nilai-nilai yang universal, universalitasnya tergambar
dalam kata adil dan beradabnya. Adil dalam hal ini adalah kelayakan dan
kesamaan setiap manusia Indonesia terhadap seluruh bidang kehidupan berbangsa
dan bernegara, beradab mempunyai makna bahwa nilai-nilai yang ada dalam
pancasila tidak lepas dari falsafah etika yang menganggap manusia punya
martabat yang sama, dan yang membedakan manusia dan hewan adalah martabat.
Manusia mempunyai martabat bagi dirinya, sedangkan hewan mempunyai martabat
jika sesuai dengan tujuan hidup manusia[20].
Dalam norma hak asasi manusia,
negara, khususnya pemerintah, berkedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty
barrier). Dalam hal ini, terdapat sekurang-kurangnya tiga kewajiban yang
melekat pada negara atas hak asasi manusia (HAM) sebagaimana yang diamanatkan
Pasal 8, Pasal 71, dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yaitu menghormati (to
respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill).
Dengan formulasi norma HAM seperti ini, salah satu kewajiban negara yang paling
fundamental dalam konteks penguasaan cabang-cabang produksi yang menyangkut
hajat hidup orang banyak adalah optimalisasi perlindungan negara terhadap
pemenuhan hak warga negara atas ketersediaan minyak dan gas (migas) dengan
harga yang murah, mudah, dan stabil.
Namun, berkaca dari fenomena
peningkatan harga migas dunia saat ini, atmosfer di atas dapur pematangan
kebijakan negara memperlihatkan tren untuk memilih opsi kenaikan harga BBM
bersubsidi sebesar Rp 1.500 per liter. Secara historis, kebijakan seperti ini
nyaris merupakan langganan tetap bagi pemerintah untuk men cari jalan pintas
dalam mengatasi krisis harga migas. Tidak mengherankan jika, dari sekian ribu
tombol solusi kehidupan berbangsa dan bernegara yang terpasang di meja pimpinan
negara, hanya satu tombol, yaitu tombol kenaikan harga migas, yang tampak
semakin tipis karena terlalu Bering dipencet oleh penggunanya. Sedangkan
tombol-tombol lainnya sebagian besar masih utuh, bahkan kebanyakan dalam status
perawan alias tak pernah dipakai. Terjadinya kisruh instabilitas harga
migas domestik yang selalu berujung pada intervensi negara melalui kebijakan
penyesuaian dengan harga migas dunia yang menimbulkan multiplier effect dalam
perekonomian negara dan masyarakat, sejatinya, berhulu dari lahirnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Kelahiran undang-undang mi
langsung menghapus berlakunya tiga undang-undang sebelumnya, yaitu UU Nomor 44
Prp/1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 15/1962 tentang
Penetapan PP Pengganti UU Nomor 2/1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak
Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, dan UU Nomor 8/1971 tentang Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara[21].
Sejak itu, terjadi perubahan norma
yang sangat fundamental tentang status penentuan harga migas domestik yang
semula berada di tangan negara, dan kini mengalami liberalisasi sebagaimana
yang tertuang pada Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 22/2001, yang berbunyi "harga
bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan
usaha yang sehat dan wajar". Meliberalisasi sektor hilir pengusahaan migas
seperti ini jelas-jelas mendahulukan kepentingan pengusaha-pengusaha swasta dan
asing serta tidak mengemban amanat Pasal 33 UUD 1945. Hal ini sangat kontras
dengan pola kebijakan negara sebelumnya yang senantiasa menyediakan BBM di mana
saja di Indonesia dengan harga seragam dan terjangkau.
Sesuai dengan paham liberal yang
dianut UU Nomor 22/2001 seperti terlihat pada Pasal 13 ayat (1), yang
mengisyaratkan wilayah kerja pertambangan yang digarap oleh perusahaan swasta,
dapat diklaim bahwa cadangan migas yang ditemukan melalui serangkaian kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi beserta leveragenya merupakan property mereka
masing-masing, selama masa kontrak dengan pemerintah Indonesia masih berlaku[22].
Begitu Pula halnya dengan penjualan hasil migas bagian negara yang kini
dijualkan oleh pihak pengusaha swasta dan asing (Pasal 44 ayat 3 huruf g UU
Nomor 22/2001).
Dalam keadaan seperti ini, pola
usaha migas dalam UU Nomor 22/2001 akan memisahkan hubungan yang abadi antara
bangsa Indonesia dan wilayah kuasa pertambangan migas. Selain itu, is tidak
melindungi pelaku ekonomi nasional, mempercepat dominasi asing dan munculnya
kembali monopoli atau oligopoli swasta, sehingga akhirnya seluruh rakyat
Indonesia tidak dapat memanfaatkan migas semaksimal mungkin. Dengan demikian,
UU Nomor 22/2001 terkesan mendekonstruksi secara revolusioner ketentuan Pasal
33 UUD 1945, khususnya pada ayat (2) "Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara", dan ayat (3) "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat". Betapa tidak, karena pengertian "dikuasai oleh
negara", dalam pemahaman mainstream konvensional, mencakup elemen
kekuasaan negara untuk menyelenggarakan semua kegiatan usaha migas (dari hulu
ke hilir): eksplorasi, eksploitasi, pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan
penjualan.
Dalam hal ini, negara (c.q.
Pertamina) menguasai seluruh usaha migas dari hulu ke hilir. Pertamina
diperbolehkan menjalin kerja sama dengan perusahaan swasta nasional maupun
asing dalam bentuk production sharing contract, sehingga Para pengusaha asing
dan nasional hanya berperan sebagai kontraktor jasa dari Pertamina. Bagi hasil
tersebut harus kembali kepada negara melalui Pertamina, yang ditugasi
menyelenggarakan pengusahaan migas. Selama pelaksanaan kontrak, bagi basil
tetap menjadi milik Pertamina dan tidak pernah bisa diklaim oleh kontraktor
bagi basil sebagai properti mereka.
Penguasaan oleh negara atas semua
kekayaan alam juga sejalan dengan Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 pra-amendemen
keempat UTJD 1945 tanggal 10/8/2002 yang menyatakan "Hanya perusahaan yang
tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang-seorang".
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang.
Sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi
jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak
ditindasnya".
Namun, dengan lahirnya UU Nomor 22
tahun 2001 pengertian “dikuasai negara” sebagaimana uraian diatas mengalami
pembiasan dan pengkerdilan. Tidak mengherankan jika sejak awal keberadaannya
hingga adanya pembahasan UU Migas di DPR, RUU telah mendapatkan tentangan dari
masyarakat karena dianggap bukan hanya menyimpang dari pasal 33 UUD 1945 tetapi
juga dapat merugikan perekonomian Negara. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa
sistem demokrasi yang sangat percaya pada suara terbanyak sebagai suara Tuhan
ternyata justru merefleksikan dominasi kemadlaratan dari pada manfaatnya. Tanpa
bermaksud untuk mencurigai terjadinya praktek money politic di balik hingar-bingar
pengesahan undang-undang tersebut, perubahan ini bukan mustahil terlahir dari
skenario besar yang dimainkan kaum kapitalis dengan memanfaatkan pengaruh dan
agen mereka dalam kekuatan politik parlemen.[23]
Dengan berbagai cara oleh kalangan yang
menentang kelahiran undang-undang ini, akhirnya hasil advokasi mereka ternyata
berbuah manis ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 28 ayat (2) UU
Nomor 22/2001 melalui Putusan Perkara Nomor 002/PUU-112003 (diputuskan pada 15
Desember 2004, dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada 21
Desember 2004). Pembatalan sebagian ketentuan undang-undang tersebut oleh MK
karena pengertian "dikuasai oleh negara" dalam UU Nomor 22/2001
sangat jauh berbeda dan tidak sesuai dengan pengertian istilah tersebut dalam
UUD 1945.
Anehnya, meski ketentuan tentang
mekanisme pasar sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 22/2001
telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh MK, sampai hats ini pemerintah tetap
ingin menaikkan harga migas untuk disesuaikan dengan standar harga
Internasional. Jika kita masih berpegang pada sistem negara hukum sebagaimana
mandat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, setiap kebijakan negara yang bertentangan
dengan konstitusi harus dinyatakan batal demi hukum (null and void) karena
peraturan yang rendah hares tunduk kepada aturan yang lebih tinggi (lex
superior derogate lex inferiors).
II.
KONFIGURASI
LAHIRNYA UU NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI
Undang-undang nomor 22 tahun 2001
tentang minyak dan gas bumi adalah aturan perundang-undangan produk dari agenda
Washington Consensus yang masuk melalui Letter of Intens (LOI)
yang ditanda tangani oleh pemerintah Indonesia dan International Monetary
Fund (IMF). Lembaga internasional tersebut mendampingi pemerintahan
Indonesia sejak era orde baru berkuasa, dan pengaruhnya semakin nyata saat
Presiden Soeharto mengundang IMF untuk berpartisipasi dalam mengatasi krisis
ekonomi yang menimpa Indonesia. Krisis ekonomi
yang berlangsung sejak tahun 1997 memaksa pemerintah untuk mencari dukungan IMF
untuk menyokong neraca pembayaran yang defisit akibat krisis kepercayaan dan
pelarian modal capital flight).
Dari sekian agenda reformasi ekonomi
yang tertuang dalam letter of intens, diantaranya adalah program
reformasi sector energy. Reformasi sector energy tercantum dalam butir
kesepakatan huruf F (The energy Sector) dalam Memorandum of Economic
and Financial Policies (Letter of Intens), 20 Januari 2000.[24].
reformasi sector energy Indonesia intinya adalah reformasi harga energy dan
reformasi kelembagaan pengelola energy. Reformasi sector energy bukan saja
merupakan pintu masuk bagi penghapusan subsidi BBM, tetapi sekaligus member
peluang besar dan sangat terbuka bagi masuknya perusahaan multinasional untuk
merambah sector hulu dan hilir migas di Indonesia. Poin krusial yang disorot
pihak kreditur adalah monopoli penyelewengan industry migas yang dituding
ebagai penyebab inefisiensi dan gurita praktik korupsi. Karen itu desain besar
reformasi energy adalah membuka pintu lebar-lebar agar pihak swasta dapat masuk
dan dilibatkan dalam kegiatan bisnis disektor tersebut.
Terkait dengan scenario tersebut,
maka posisi pertamina sedikit dilemahkan untuk member kesempatan pihak asing
bersaing di bisnis migas. Tanpa
intervensi tersebut, maka pihak World Bank, tidak akan ada yang menanam
investasi di bidang industry migas nasional karena system dan mekanisme yang
sangat tertutup. Sejalan denngan scenario tersebut, maka intervensi pemerintah
diterjemahkan melalui penerbitan PP No 31 tahun 2003 yang salah satu pasalnya
menyebutkan bahwa setelah mennjadi PT Persero, asset-aset bukan inti Pertamina
yang tidak secara langsung menunjang bisnis sector migas akan dikelola oleh
Menteri keuangan untuk ditetapkan statusnya lebih lanjut. Pasal tersebut
dianggap sebagai sebuah scenario untuk menjual asset yang dimiliki pertamina
sebaagai BUMN, sebagaimana direkomendasikan World Bank[25].
Agar agenda privatisasi dapat
berjalan lancer, maka pemerintah harus mengurangi keterlibatannya secara
langsung dalam bisnis migas melalui skema deregulasi. Senafas dengan minimal
state, kuasa pertambangan sebagai wujud dari kedaulatan Negara tidak
tercantum dalam UU nomor 22 tahun 2001. Hal tersebut termaktub dalam pasal (1)
angka (5) UU Migas secara tegas membatasi pengertian Kuasa Pertambangan pada
sector hulu yang menyangkut kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Sementara
kegiatan sector hulir yang mencakup pengilanngan, pengangkutan, penyimpanan dan
niaga tidak dilihat sebagai kesatuan kegiatan penguasaan pertambangan yang
dikuasai Negara[26].
Melalui UU Migas Nomor 22 tahun 2001, Kuasa Pertambangan diambil alih
pemerintah dan diserahkan kepada pelaku (badan usaha/bentuk usaha tetap) oleh
menteri ESDM (pasal 12 Ayat (3). Jika dilihat lebih dalam, menyerahkan Kuasa
Pertambangan kepada pelaku usaha sama halnya dengan menisbikan kedaulatan
Negara atas sumber daya alam strategis yang meguasai hajat hidup orang banyak.
Kekacauan pengelolaan sektor energi migas ini bermula pada perubahan
regulasi yang mengatur dunia energi migas Indonesia. Peralihan regulasi dari UU
No.8 tahun 1971 ke UU No.22 tahun 2001 (UU Migas) sontak menggoyahkan ketahanan energi nasional. Ruh revisi undang-undang
yang akrab kita sebut UU Migas ini mengindikasikan ketidak berpihakan pemerintah pada pemenuhan energi domestik. Akibatnya, kerugian
negara di
sana-sini dan tidak sedikitpun respon pemerintah dalam menangani kerugian
besar-besaran yang terjadi. Keputusan-keputusan tidak logis atau sebut saja
"kebodohan" pemerintah yang telah dilakukan antara lain menjual gas
dari blok Donggi Senoro kepada Mitsubishi dan menjual gas Tangguh di Papua
kepada Cina dengan harga yang tidak masuk akal yakni $3.35/MMBTU ketika harga
gas dunia memiliki rata-rata $13/MMBTU. Ironisnya perilaku pemerintah ini
menyebabkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengalami kekurangan pasokan gas
pada unit pembangkitnya yang mengakibatkan pembangkitan listrik yang seharusnya
berharga Rp 400 / kWh menjadi Rp 1300 / kWh karena menggunakan diesel dalam
pembangkitannya yang notabene berharga lebih mahal[27].
Dasar pengelolaan energi di Indonesia termaktub dalam konstitusi negara
Indonesia yaitu dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam pasal ini, ayat (2) dan (3)
secara berturut-turut berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Frase ‘cabang-cabang
produksi’ dalam ayat (2) menyatakan kegiatan hilir berada di bawah kuasa
pemerintah. Begitu pula dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang tercermin pada frase ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung’. Ini
artinya, pemerintah bertanggungjawab secara penuh atas keberlangsungan kegiatan
pengelolaan energi. Salah satu cerminan dari pasal 33 UUD tahun 1945 adalah UU
No.8 tahun 1971 yang mengatur tata kelola energi primer sektor migas.
Ketika UU No.8 tahun 1971 masih berlaku, Pertamina berperan sebagai satu-satunya
perusahaan migas negara dan sebagai pemegang kuasa bisnis (economic/business rights). Sistem Production Sharing Contract (PSC) yang diimplemetasikan oleh
Pertamina sejak tahun 1966 menjadi format kontrak yang paling cocok digunakan
di Indonesia. Di bawah kendali Pertamina, para investor mau bekerjasama dengan Pertamina atas kontrak-kontrak kerja yang telah disepakati. Pada saat itu,
pemenuhan kebutuhan energi Indonesia jauh lebih baik dibanding setelah UU Migas
diberlakukan[28]. Dapat
dibandingkan ketika blok-blok operasi migas masih dimiliki
atau dikuasai oleh Pertamina maka
pemasukan sektor migas kepada negara menjadi maksimal.
Berubahnya landasan hukum tata kelola sumber energi primer sektor migas
dari UU No.8 tahun 1971 menjadi UU Migas merubah pula secara
keseluruhan nilai dan proses ekenomi pada sektor migas di Indonesia. Faktanya,
latar belakang UU Migas tidak berdasarkan UUD 1945 pasal 33 dan tidak
disesuaikan dengan realita Indonesia. Berlakunya UU Migas merupakan bagian dari
komitmen Indonesia terhadap IMF untuk mendapatkan paket pinjaman dana sebesar $43 miliar
ketika krisis tahun 1997/1998 terjadi. Restrukturisasi ekonomi pada masa itu merujuk pada liberalisasi pasar di
sektor migas yang mengakibatkan UU No.8 tahun 1971 harus diganti. Tarik-menarik
pemegang kuasa pertambangan menjadikan penyelesaian pembahasan UU Migas
(1999-2001) lebih didasarkan pada kompromi. Kuasa pertambangan tidak dipegang oleh kementerian ESDM ataupun Pertamina tetapi dipegang oleh badan independen[29].
Dapat disimpulkan bahwa penggantian UU Pertamina menjadi UU Migas berawal
dari persengketaan kepemilikan blok tempat produksi migas, dengan kata lain
ketika sektor usaha hulu menjadi persengketaan maka berimbas ke sektor usaha
hilir. Penerapan liberalisasi sektor migas mengakhiri hak istimewa Pertamina dalam penyediaan dan pendistribusian
BBM dan menjadikan UU Migas yang diwarnai dengan
beberapa pasal yang mengedepankan pasar bebas.
Dampak dari penerapan UU Migas adalah aset pertamina jauh berkurang dari
asalnya. Saat ini Pertamina memiliki jumlah
aset 1/5 dibandingkan Petronas Malaysia yang
sesungguhnya blok produksi migas di Indonesia jauh lebih banyak. Akibat dari proses bisnis migas yang berbelit dan menimbulkan ongkos produksi migas di Indonesia semakin mahal dan berakibat
pada naiknya harga jual kepada
masyarakat. Selain itu dampak dari pelaksanaan UU migas adalah terbentuknya badan pengelola migas yaitu Badan Pelaksana
Migas (BP Migas). BP Migas kemudian mengambil alih kendali dan mendepak penuh Pertamina sebagai pemegang kuasa bisnis migas yang notabene National Oil Company di Indonesia. Keputusan
kontrak-kontrak kerja dengan investor dialihkan kepada badan ‘independen’ yang
bertitel badan hukum negara ini. Bahkan pada pasal 44 ayat (3) poin (b), salah
satu tugas BP Migas adalah melaksanakan penandatanganan kontrak kerja sama. Sedangkan
BP Migas adalah Badan Hukum Milik Negara yang tidak sewajarnya memiliki
kewenangan dalam pemutusan usaha migas karena erat kaitannya dengan dunia
politik dan birokrasi. Padahal tugas dari BP Migas hanya menjadi badan yang
memberikan pertimbangan dan melakukan pengawasan usaha migas di Indonesia.
Bayangkan saja segala transaksi bisnis dan keputusan usaha dilakukan oleh
sebuah badan hukum yang tidak mempunyai kegiatan utama dalam hal bisnis.
III.
TELAAH
UU NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI MENURUT FRIEDRICH CARL VON
SAVIGNY
“Law
as a tool of social engineering”. Seperti apa yang dikatakan oleh Roscoe Pound,
hukum sebagai rekayasa sosial. Yaitu penguasalah yang mempunyai wewenang untuk
menentukan ke arah mana masyarakat akan berkembang. Jadi, harus memiliki
kekuasaan agar dapat menentukan suatu hukum. Bicara mengenai kekuasaan tidak
terlepas dari politik suatu negara[30].
Berbeda dengan Friedrich Karl
Von Savigny yang menyatakan bahwa hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan
berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Konsep ini dipengaruhi oleh agama (supranatural),
seperti halnya yang berlaku di Indonesia (pengaruh mazhab sejarah) dengan
berlakunya hukum adat yang ditentukan oleh keseimbangan “magis-religius
(kosmis).
Berdasarkan inti teori Von Savigny :
“semua hukum pada mulanya dibentuk dengan cara seperti yang
dikatakan orang, hukum adat, dengan bahasa yang biasa tetapi tidak terlalu
tepat, dibentuk yakni bahwa hukum itu mulai-mula dikembangkan oleh adat
kebiasaan dan kepercayaan yang umum”. Baru kemudian oleh
yurisprudensi, jadi dimana-mana oleh kekuatan dalam yang bekerja diam, tidak
oleh kehendak sewenang-wenang dalam pembuatan undang-undang. Von Savigny
menekankan bahwa setiap masyararakat mengembangkan hukum kebiasaanya sendiri, karena
mempunyai bahasa, adat istiadat (termasuk kepercayaan) dan konstitusi yang
khas.
Seperti
yang dikatakan oleh Carl von Savigny, Fungsi utama hukum dan pembuatan huku
adalah; hukum bukan merupakan konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh
secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah
seiring perubahan social. Dengan
pernyataan Savigny yang demikian itu maka hukum di satu negara tidak dapat
diterapkan/ dipakai oleh negara lain karena masyarakatnya berbeda-beda begitu
juga dengan kebudayaan yang ada di suatu daerah sudah pasti berbeda pula, dalam
hal tempat dan waktu juga berbeda. Pokok-pokok ajaran mazhab historis yang
diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Hukum yang ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah
proses yang tidak disadari dan organis; oleh karena itu perundang-undangan
adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan;
b. Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami
dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern
kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung,
tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum
secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran
umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai
bahan mentah (kesadaran umum tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran
hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir;
oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting
daripada pembuat undang-undang; dan
c. Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap
masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa
adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa dan
hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan
daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu
sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgeist melalui penelitian sepanjang
sejarah.
Jadi, hukum itu berasal
dari bawah ke atas, bahwa hukum berasal dari masyarakat yang diwakilkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wakil rakyat di dalam pemerintahan. Apa
yang diinginkan oleh masyarakat akan diaspirasikan oleh DPR yang selanjutnya
dibuat undang-undangnya dengan atau tidak persetujuan dari Presiden, karena DPR
mempunyai hak inisiatif dalam pembuatan undang-undang yang dapat disebut bottom
up. Namun, inisiatif DPR dalam pembuatan undang-undang tidak mementingkan
kepentingan rakyat, karena tidak ada yang bottom up. “Tidak berimbangnya
perumusan undang-undang antara Pemerintah dan DPR”, seperti yang dikatakan oleh
Bismar Nasution.
Dari uiraian dan analisa diatas, UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi menunjukkan kekacauan pengelolaan
sektor energi migas. Kekacauan tersebut bermula pada peralihan regulasi dari UU No.8 tahun 1971 ke UU No.22 tahun
2001 tentang Minyak dan gas Bumi. Padahal dasar pengelolaan energi di Indonesia termaktub dalam konstitusi negara
Indonesia yaitu dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam pasal ini, ayat (2) dan (3)
secara berturut-turut berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Frase ‘cabang-cabang produksi’ dalam ayat (2) menyatakan kegiatan hilir
berada di bawah kuasa pemerintah. Begitu pula dengan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi yang tercermin pada frase ‘bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung’. Ini artinya, pemerintah bertanggungjawab
secara penuh atas keberlangsungan kegiatan pengelolaan energi. Salah satu
cerminan dari pasal 33 UUD tahun 1945 adalah UU No.8 tahun 1971 yang mengatur
tata kelola energi primer sektor migas.
Berubahnya landasan hukum tata kelola sumber energi primer sektor migas
dari UU No.8 tahun 1971 menjadi UU Migas merubah pula secara
keseluruhan nilai dan proses ekenomi pada sektor migas di Indonesia. Faktanya,
latar belakang UU Migas tidak berdasarkan UUD 1945 pasal 33 dan tidak
disesuaikan dengan realita Indonesia. Berlakunya UU Migas merupakan bagian dari
komitmen Indonesia terhadap IMF untuk mendapatkan paket pinjaman dana sebesar $43 miliar
ketika krisis tahun 1997/1998 terjadi.
Menurut Friederich Von
Savigny Seluruh undang-undang
yang dibentuk tidak boleh bertolak belakang dengan rechtzekerheid beginsel
(akar dari hukum itu) root of law, dalam konteks ini bicara tentang
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Jika berkaitan dengan teori diatas, maka hal utama yang perlu diperhatikan dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
menginstruksikan bahwa perekonomian Indonesia disusun serta berorientasi pada
ekonomi kerakyatan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui
pendekatan kesejahteraan dan mekanisme pasar. Perekonomian Indonesia tidak
menginginkan adanya sistem free fight liberalism yang mengeksploitasi
manusia atau dominasi perekonomian oleh negara serta persaingan curang dalam
berusaha dengan melakukan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu kelompok
tertentu saja. Praktek ini muncul dalam berbagai bentuk monopoli ataupun
monopsoni yang merugikan serta bertentangan dengan instruksi Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945.
Jelas, bahwa UU nomor 22
tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi menisbikan kedaulatan indonesia sebagai sebuah negara
bangsa. Kedaulatan rakyat yang ada di
Indonesia sekarang ini agak sedikit melenceng dari kedaulatan rakyat yang
terdapat dalam Pancasila, dewasa ini kedaulatan rakyat atau lebih populer
dengan nama demokrasi lebih condong pada pemahaman demokrasi dalam arti sempit,
demokrasi hanya diartikan dalam sistem voting atau onemanonevote
atau lebih barunya lagi 50% plus 1 suara untuk menentukan kebijakan. Bagaimana mungkin suatu kebenaran atau menemukan norma dalam masyarakat
hanya dengan mekanisme voting dan sebagainya, kebenaran tidak bisa ditentukan
dengan statistik dan angka-angka. Musyawarah dan mencari jalan terbaik dalam
segala persoalan, bahkan membuat peraturan, adalah mekanisme luhur bangsa
Indonesia, mekanisme ini bisa mengarahkan pada kebenaran yang hakiki, kebenaran
yang sesuai dengan norma dasar bangsa Indonesia, bukan kebenaran menurut nafsu
politisi atau kebenaran versi kapitalisme yang akan menghisap sumber daya yang
ada di Indonesia.
Hakikat
dari hukum atau UU yang dibentuk adalah keadilan, hukum berfungsi melayani
kebutuhan keadilan dalam masyarakat, keadilan merupakan keharusan dari rasio
manusia secara umum dan rasio manusia adalah rasio ilahi. Jadinya keadilan
merupakan suatu kehendak ilahi bagi manusia agar bisa hidup damai dan mencapi
sejahtera. J. J. Rousseau, Montesquieu dan Imanuel Kant berpendapat bahwa
negara dan hukum merupakan pribadi publik dan pribadi moral yang berasal dari
kontrak sosial untuk membela dan melindungi kepentingan bersama, di samping
epentingan pribadi dan milik pribadi. Hasil dari kontrak sosial adalah kemauan
bersama, dalam kemauan bersama inilah basis keadilan dan kesusilaan melekat
erat.[31]
Konsep
keadilan yang cocok bagi masyarakat Indonesia adalah konsep keadilan sosial yang
tentunya berbeda dengan konsep keadilan yang diterpakan di Eropa dan Amerika.
Filosofi keadilan yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945 adalah keadilan
sosial, sesuai dengan sifat manusia Indonesia yang kolektif-komunal, hal ini
berbeda dengan filosofi keadilan masyarakat Eropa dan Amerika, baik dalam
sistem civil law apa lagi dalam comon law, yang bersifat keadilan individu.
Pengambilan keputusan dengan mekanisme pemilihan atau voting akan menimbulkan
suatu kesempatan kekuasaan akan disalah gunakan, penyalah gunaan ini lebih
disebabkan oleh fusi beberapa kepentingan dalam proses pengambilan kebijakan,
lobi sana-sini dan suap-menyuap serta perilaku korup akan mengikuti proses ini.
Akibat fatalnya rakyat tidak mendapatkan hikmah apapun, karena yang dihasilkan
adalah kebijakan politik penguasa dan pengusaha, bukan kebijaksanaan pemimpin.
BAB III
KESIMPULAN
Globalisasi ekonomi membawa perubahan yang besar pada sistem perekonomian
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Masuknya perusahaan multinasional
sebagai perkembangan suatu badan yang benar-benar tanpa rasa kebangsaan dan
benar-benar mandiri dalam membawa peradaban yang berasal dari negaranya,
sehingga turut mempengaruhi pembangunan serta pembentukan hukum atau peraturan
perundang-undangan nasional. Globalisasi saat ini adalah manifestasi baru dari
perkembangan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional. Manakala ekonomi
menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum, aturan perundang-undanngan akan
mengikutinya, sehingga globalisasi
ekonomi juga menyebabkan terjadinya globalisasi hukum dan aturan
perundang-undangan.
Globalisasi hukum dan aturan perundang-undangan tersebut tidak hanya
didasarkan pada kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga tradisi
hukum dan budaya antar negara barat dan negara timur. UU Migas nomor 22 tahun
2001 tentang Minyak dan gas Bumi adalah salah satu produk nasional yang sudah
dibajak oleh pengaruh globalisasi dan liberalisasi. Hal-hal yang sangat
berpengaruh dalam bidang hukum dan aturan perundang-undangan adalah globalisasi
di bidang kontrak-kontrak bisnis internasional. Hal tersebut disebabkan
negara-negara maju membawa model kontrak baru ke negara berkembang. Maka
partner mereka dari negara-negara berkembang menerima model kontrak bisnis
internasional tersebut. Produk nasional yang berbentuk UU nomor 22 tahun 2001
tentang Minyak dan gas Bumi adalah salah satu dari kepentingan dalam model
kontrak baru mereka untuk memonopoli dan mengeksploiyasi sumber kekayaan
negara. Hal tersebut terjadi pada rezim Orde Baru Soeharto karena posisi tawar
Indonesia sangat lemah. UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
terutama yang mengatur tentang perseroan terbatas adalah bukti nyata dari
gerusan arus globalisasi dan liberalisasi UU.
Indonesia sebagai salah satu negara di dunia tidak bisa lepas dari adanya
pengaruh globalisasi, dampak tersebut sangat terasa saat adanya model dan
pranata ekonomi dan hukum asing di dalamnya. Akibat globalisasi ini, maka
terjadilah benturan sistem hukum Civil Law yang dibawa oleh
perusahaan-perusahaan multinasional yang umumnya berasal dari negara maju.
Perusahaan multinasional tersebut pada umumnya memilih perseroan terbatas
sebagai bentuk daru badan hukum untuk menjalankan kegiatan investasinya di
Indonesia secara langsung (direct investment) terutama karena
kemampuannya untuk mengkapitalisasi modal dan sebagai wahana yang sangat
potensial untuk memperoleh keuntungan investasi dalam skala yang lebih besar.
Adapun kesimpulan dan benang merah yang dapat ditarik dari penulisan
makalah ini, adalah; Bahwa, krisis ekonomi
yang berlangsung sejak tahun 1997 memaksa pemerintah untuk mencari dukungan IMF
untuk menyokong neraca pembayaran yang defisit akibat krisis kepercayaan dan
pelarian modal capital flight). Dalam rangka memnuhi keinginan investor
asing, agenda reformasi ekonomi yang tertuang dalam letter of intens, diantaranya
adalah program reformasi sector energy. Reformasi sector energy tercantum dalam
butir kesepakatan huruf F (The energy Sector) dalam Memorandum of
Economic and Financial Policies (Letter of Intens), 20 Januari 2000.
Bahwa, berubahnya landasan hukum
tata kelola sumber energi primer sektor migas dari UU No.8 tahun 1971 menjadi
UU Migas merubah pula secara keseluruhan nilai dan proses ekenomi pada sektor
migas di Indonesia. Faktanya, latar belakang UU Migas tidak berdasarkan UUD
1945 pasal 33 dan tidak sesuai dengan realita Indonesia. Pembentukan UU tersebut sangat dipengaruhi oleh suatu
kepentingan-kepentingan politik jelang kebangkrutan rezim Orde Baru. Walhasil, kekuasaan
politiklah yang memiliki kepentingan tersebut. Kekuasaan politik tersebut duduk
di dalam institusi untuk melakukan legislasi kepentingan. Jadi, kekuasaan
politik dapat mempengaruhi hukum. Kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk UU
tersebut justru menabrak sistem konstitusional berdasarkan check and balances,
abai terhadap kepentinngan masyarakat, menisbikan kedaulatan Negara sebagai
pemangku utama dan pemilik kekayaan sumber daya alam seperti yang dianut
Undang-Undang Dasar 1945.
Hakikat dari hukum atau UU yang dibentuk
adalah keadilan, hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat,
keadilan merupakan keharusan dari rasio manusia secara umum dan rasio manusia
adalah rasio ilahi. Jadinya keadilan merupakan suatu kehendak ilahi bagi
manusia agar bisa hidup damai dan mencapi sejahtera. Menurut Savigny dengan
teori volkgeit-nya,
menekankan bahwa terdapat hubungan yang organik, tidak terpisahkan, antara
hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum sejati tidak dibuat, melainkan harus ditemukan. Jelaslah,
penguasa atau para pakar hukum jangan hanya duduk diam dalam membuat hukum
menurut ide dan kemauannya saja, tapi harus lebih giat menggali nilai hukum
yang ada dalam masyarakat.
Dalam
hal ini pemerintah yang membuat undang-undang untuk dijalankan masyarakat,
lebih kepada suatu rekayasa sosial. Fakta yang terjadi, bahwa Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan gas Bumi tidak sesuai
dengan teori Friedrich Karl von Savigny (volkgeist)
yang menyatakan bahwa undang-undang dibentuk dari jiwa masyarakat karena
masyarakat diikutkan partisipasinya untuk menyampaikan aspirasinya seperti yang
diperintahkan oleh undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Suyitno Patmosukismo; MIGAS; POLITIK, HUKUM
& INDUSTRI “Politik Hukum Pengelolaan Industri Migas Indonesia dikaitkan
dengan Kemandirian dan Ketahanan Energi dalam pembangunan Perekonomian
Nasional.Penerbit Fikahati Aneska, 2011
2.
Prof. Widjajono Partowidagdo, Ph,D; “Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan
(2004)
3.
Prof. Widjajono Partowidagdo, Ph,D; “Manajemen dan Ekonomi Minyak dan Gas
Bumi”, (2002)
4.
M. Kholid Syairazi; DI BAWAH BENDERA ASING;
“Liberalisasi Industri Migas di Indonesia”. Penerbit LP3ES 2009
5.
Drs. Juli Panglima saragih, MM; ”Sejarah
Perminyakan Di Indonesia”, Penerbit Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan
Informasi Sekretariat jendral DPR RI, 2010
6.
Rutger Van Santen, Djan Khoe, Bram Vermeer; “Teknologi
Yang Akan Mengubah Dunia”, Penerbit Metagraf, Creative Imprint of Tiga
Serangkai
7.
Dr. Inosentius Samsul, SH. MH; “Politik
Hukum Pembentukan Undang-Undang”, Penerbit Pusat Pengkajian Pengolahan Data
dan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI, 2010
8.
Prof. Widjajono Partowidagdo, Ph,D “Migas
dan Energi di Indonesia, Permasalahan dan Analisis Kebijakan”, 2009
9.
Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan
(2004) dan Manajemen dan Ekonomi Minyak dan Gas Bumi (2002)
10.
Jimli
Asshiddiqie; “Konstitusi Ekonom”i, Hlm 98, Penerbit Buku Kompas, Januari
2010.
11.
Bernard
L. Tanya Dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, cet. III, 2010),
hlm. 126-128
12.
Satya
Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai
Implementasi, (Jakarta : Raja Grafindo, 2009),
[1] Ibid.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Kementerian ESDM, Peran Nasional dalam Pengusahaan Migas Terus Berkembang, dari http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/2369-peran-nasional-dalam-pengusahaan-migas-terus-berkembang.html, tanggal 15 Juli 2012.
[5] Drs. Juli Panglima Saragih, MM, Sejarah Perminyakandi Indonesia, Cetakan I Desember 2010,
Penerbit CV. Aghrindo Abadi, Jakarta, Hlm 31
[6] Ibid, hlm 39
[7] M. Kholid Syeirazi, Di Bawah Bendera Asing; Liberalisasi Industri
Migas di Indonesia, Cetakan pertama 2009, penerbit Pustaka LP3S Indonesia, Jakarta, Hlm 62.
[9]Suhardi, “Sejarah Perkembangan Industri Migas Di Indonesia;
Antara kemauan Politik dan Kesejahteraan Rakyat, http://www.perhimakbandung.org/index.php?option=com_content&view=article&id=82:sejarah-perkembangan-industri-migas-indonesia&catid=38:artikel&itemid=66, tanggal 15 Juli 2012
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Kementerian ESDM, Peran Nasional dalam Pengusahaan Migas Terus Berkembang, dari http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/2369-peran-nasional-dalam-pengusahaan-migas-terus-berkembang.html, tanggal 15 Juli2012.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Sekretariat Komisi VII DPR RI; Risalah Rapat Komisi VII Bidang
Energi dan Sumber Daya Mineral DPR RI tentang pandangan mini fraksi-fraksi
DPR RI, 2002
[18] Jimli Asshiddiqie; Konstitusi Ekonomi, Hlm 98, Penerbit
Buku Kompas, januari 2010.
[19] Grundnorm menyerupai sebuah
pengandaian tentang tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama. Lihat :
Bernard L, Teori
Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
(Yogyakarta : Genta Publishing, cet. III, 2010), hlm. 126-128
[20] Kant berkata :”..tetapi sejauh berkaitan dengan binatang, kita
tidak mempunyai kewajiban-kewajiban langsung. Binatang ada hanya sebagai sarana
untuk suatu tujuan. Dan tujuan itu adalah manusia. Lebih jelas lihat : James
Rachels, FilsafatMoral,
(Yogyakarta : Kanisius, 2004), hlm. 234
[21] M. Kholid
Syeirazi, Di Bawah Bendera Asing; Liberalisasi Industri Migas di Indonesia,
Cetakan pertama 2009, penerbit Pustaka
LP3S Indonesia, Jakarta, Hlm 123
[22] Ibid, Hlm 129
[23] Dr. Inosentius Samsul, S.H, M.H, Politik Hukum Pembentukan
Undang-Undang, Buku II, Cetakan I 2010, Pusat Pengkajian Pengolahan data
dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jendral DPR RI, Jakarta
[24] M. Kholid Syeirazi, Di Bawah Bendera Asing; Liberalisasi Industri
Migas di Indonesia, Cetakan pertama 2009, penerbit Pustaka LP3S Indonesia, Jakarta, Hlm 159
[25] Drs. Juli
Panglima Saragih, MM, Sejarah Perminyakandi Indonesia, Cetakan I Desember 2010,
Penerbit CV. Aghrindo Abadi, Jakarta, Hlm 170
[26] http://majalahenergi.com/akademisi/kisruh-migas-pasca-uu-migas-no-22-tahun-2001; Dalam UU No 44 Prp Tahun 1960 dan UU No 8 tahun 1971
dijelaskan bahwa Kuasa Pertambangan mencakup semua kegiatan dari hulu sampai
hilir, mulai dari eksplorasi dan produksi hingga pengilangan, pengangkutan,
penyimpanan serta distribusi dan pemasaran, semua dikuasai Negara dan
diserahkan kepada BUMN bernama Pertamina.
[27] Suyitno Patmosukismo; Migas, Politik, Hukum & Industri, Penerbit
Fikahati Aneska, 2011, Hlm 320, Jakarta
[28] Ibid, hlm 324
[29] Said Didu; Peran dan Fungsi
Ideal BUMN Dalam Pengelolaan Aset Negara; Cetakan I 2009, Penerbit
Gramedia Pustaka 2010,
[31] Garuda Wiko, “Pembangunan Sistem Hukum Berkeadilan” dalam Satya
Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum : Dari Konstruksi sampai
Implementasi, (Jakarta : Raja Grafindo, 2009), hlm. 6-12. Lihat
juga : Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social, alih bahasa
Vincent Bero, (Jakarta : Visimedia, 2007), Montesquieu, The
Spirit of Law, alih bahasa M. Khoirul Anam (Bandung, Nusa Media,
2007) dan Howard Williams, Filsafat Politik Kant, alih bahasa
Muhammad Hardani (Jakarta : JP-Press dan DPP IMM, 2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulisan ini adalah hasil kesimpulan bacaan dari beberapa sumber media> Monggo silahkan berkomentar. Salam