Sejarah kelahiran dan
dinamika pesantren dengan segala keunikannya menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari proses kesejarahan panjang integritas bangsa ini yang
termanifestasikan dalam spirit nasionalisme kebangsaan.
Hal itu bisa dilihat pada zaman
penjajahan. Saat itu, pesantren menjadi basis perjuangan kaum
nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada
dunia pesantren. Hal itu mengisyaratkan bahwa eksistensi pendidikan pesantren
tidak pernah lepas dari spirit perjuangan bangsa untuk merajut integritas yang
kokoh. Dalam lembaran sejarah, banyak gerakan perlawanan itu dimotori dimotori
oleh para penghuni pesantren. Lihat saja misalnya pemberontakan petani di
Cilegon-Banten 1888, (Sartono Kartodirjo; 1984) Jihad Aceh 1873, gerakan yang
dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak 1786-1875).
Dan sebagai medan pendidikan agama
(Islam), pesantren memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya
menyatu dengan masyarakat. Pada titik ini, pesantren tidak hanya identik dengan
makna ke-Islam-an tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian
Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan
berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya.
Indigeneous ini lah yang menjadikan
dunia pendidikan pesantren tetap eksis dan tegar di tengah kepuangan budaya
modernitas yang kian membrutal. Lika-liku perjalanannya sarat dengan anggapan
minor, penilaian miring, hujatan, stigma dan labelisasi, utamanya dalam
persoalan ketradisionalannya. Namun hal itu tetap tak menggoyahkan akar
kesejarahannya yang menancap begitu kuat di aras kultur lokal.
Dunia pesantren memang sarat dengan
aneka pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak
dimiliki oleh institusi lainnya. Tidak saja karena keberadaannya yang sudah
sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan
oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya itu, tidak salah kiranya C.
Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa).
Sementara itu, banyak orang yang
seringkali salah kaprah memaknai watak tradisional yang inheren dalam tubuh
pesantren, dan ditempatkan bukan pada proporsinya. Tradisionalisme yang melekat
begitu lama itu sejak awal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda.
Tradisionalisme pesantren di satu sisi
melekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan
satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi
skolastisisme As’ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf
(mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia
(Abdurrahman Wahid, 1997).
Sementara tradisional dalam pengertian
lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang
diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan tradisional dalam
konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya
yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang
Kiai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik,
seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Namun demikian,
sesungguhnya karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren tidak
selamanya buruk.
Terlepas
dari itu, dinamika perjalanan pesantren tak selamanya mulus. Ia harus
berkelit-kelindang dalam tiap fase kesejarahan dengan tingkat problem yang
berbeda. Pesantren, sebelum abad 20, masih menemukan ruang kebebasan dan
kekhasannya. Yang menarik saat itu, pendidikan pesantren sama sekali belum testandardisasi
secara kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren
Indonesia yang sistemik.
Namun
libido negara tampaknya begitu besar untuk menjamah ruang pesantren. Khususnya
pada era Orde Baru, intervensi negara terhadap dunia pesantren begitu besar.
pada gilirannya, hal itu justru mengacak-acak kebebasan, kekhasan dan
independensi pesantren sendiri. Pesantren dibonsai sedemikian rupa dan
dijauhkan dari persoalan kebangsaan. Pada konteks ini, pesantren menjadi
sebentuk etalase zaman yang perannya disempitkan hanya sekedar urusan belajar
tanpa diberi ruang lebar untuk berbicara tentang kebangsaan. Dan sejak Orde
Baru ini, ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik tajam, pendidikan
pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih
tetap.
Pasca
Orba, dunia pendidikan pesantren tak terurus lantaran Kiai yang mengendalikan
penuh proses pendidikan disana tengah sibuk dan larut dalam kumparan politik
praksis kenegaraan. Para kiai yang menjadi benteng pertahanan kemudian sibuk
dengan pembicaraan-pembicaraan politik kekuasan, bukan politik kebangsaan.
Mendorong Pesantren
Berbicara Masalah Kebangsaan
Fenomena
maraknya kiai yang berasyik-masyuk dengan politik kekuasaan membuat
keprihatinan tersendiri dalam dunia pendidikan pesantren. Sebab, disadari atau
tidak akan mengalahkan tugas utamanya sebagai seorang pengajar, pendidik dan
pengawal.
Tidak
sekedar membengkalaikan tugas utamanya, namun keterlibatan dalam ruang politik
praksis ini pada gilirannya akan memfragmentasi pesantren kedalam golongan atau
blok-blok tertentu. Sebagai konsekuensi logisnya, para kiai yang merupakan
simbol tertinggi dan representasi dari dunia pesantren akan berbicara dalam
konteks kepentingan pribadinya, dan lepas dari persoalan kebangsaan.
Sementara
itu, di ranah yang lebih luas (kebangsaan), silang-sengkarut diskursus,
pertentangan ideologi, pergesekan kepentingan yang turut mempengaruhi formasi
sosial kian membrutal. Persinggungan-persinggungan itu tak hanya muncul sebagai
pengkaya atas keberagaman bangsa ini, namun yang lebih mengerikan justru
memporak-porandakan basis kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri.
Contoh yang paling sederhana adalah yang terjadi saat ini, bagaimana khawatir
dan risauhnya para penggede agama, khususnya Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, ketika melihat fakta bahwa gerakan-gerakan transnasional
belakangan ini kian merebak, yang dinilai bisa mengancam keutuhan NKRI.
Namun
sayangnya, kegelisahan ini hanya dimiliki segelintir tokoh agama atau kiai.
Sementara para kiai yang lain masih tetap sibuk dengan urusan politik praksis
untuk memenuhi hasrat pribadinya. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka tidak
menutup kemungkinan pesantren tidak hanya mengalami pergeseran tapi akan
kehilangan peran, utamanya untuk peran pada domain kebangsaan.
Perlu kiranya menegaskan kembali bahwa
pendidikan di tengah medan kebudayaan (culture area), berproses merajut
dua substansi aras kultural, yaitu di samping terartikulasi pada upaya
pemanusiaan dirinya, juga secara berkesinambungan mewujud ke dalam pemanusiaan
dunia di sekitarnya (man humanizes himself in humanizing the world around
him) (J.W.M. Bakker, SJ; 2000: 22).
Pada konteks yang terkhir ini
meniscayakan suatu usaha yang tidak ringan. Sebab demikian, seyogyanya para
kiai bisa mengontrol hasrat politiknya dan kembali ke pesantren untuk lebih
melakukan penguatan baik pada wilayah suprastruktur santri maupun pada praksis
gerakan yang mengarah pada penjagaan dan penguatan integritas bangsa yang
sedang terancam ini.
Jika tak ingin memutus garis
kesejarahan, maka itu adalah suatu keniscayaan yang tak boleh dienyahkan dalam
rangkaian proses perjalanan dunia pesantren agar lebih peka terhadap realitas
zaman. Untuk itu, penyemaian wacana dan pemahaman tentang kebangsaan yang
dilambari dengan spirit persatuan di aras pendidikan pesantren menjadi suatu
kemustian demi mempertahankan dan merajut kesatuan bangsa yang tengah terkoyak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulisan ini adalah hasil kesimpulan bacaan dari beberapa sumber media> Monggo silahkan berkomentar. Salam