Minggu, 29 April 2012

NU dan Keragaman dalam Visi Kebangsaannya


Banyak harapan kepada NU, tetapi banyak juga gagasan untuk NU, baik secara konseptual maupun yang operasional.

Nu adalah wadah yang sudah dirancang sejak awal sebagai tempat berpadunya berbagai paham keagamaan yang dibatasi oleh koridor ahlussunnah wal jamaah. Mengagumkan sekali bahwa para founding fathers NU dalam hal fiqih tidak hanya mengakui, merujuk, dan mengamalkan paham mazdhab syafii, tetapi juga mau membuka diri kepada tiga madzhab utama yang lain. Padahal kita tahu diantara ke empat mazdhab tersebut memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Pada masa itu, menyediakan wadah bagi tergali dan terwujudnya paham ke empat madzhab ditengah masyarakat sungguh suatu langkah visioner. Demikian halnya dalam menyatukan paham tauhid dari imam Asy’ari dan Maturidi.

Ibarat semakin tinggi dan rindang sebuah pohon, semakin kencang dan besar pula angin yang menerpanya. Bagitulah yang dialami Nahdlatul Ulama (NU) saat ini. Dalam perspektif sosial-historis, NU memiliki tanggung jawab yang berat untuk mengawal bangsa ini dari perjuangan prakemerdekaan hingga sekarang.

Sebagai organisasi kultural keagamaan yang mengusung nilai-nilai aswaja, NU adalah bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa sekaligus sebagai wujud kegairahan luhur para ulama dalam membangun peradaban. NU bukan ormas yang eksklusif terhadap perbedaan dan keragaman. Justru keragaman dan pluralitas itulah spirit yang hendak diembuskan NU. Kebhinekaan dan kemajemukan menjadi roh NU dalam menancapkan misi perjuangannya. NU secara terang-terangan mengatakan Pancasila adalah asas final bagi Indonesia. NU pun tampil menjadi ormas garda depan yang berwatak kebangsaan.

Pergumulan NU dan Paham Kebangsaan Indonesia ini menjelaskan secara gamblang cara NU dalam mentransformasikan misi organisasinya dalam konteks kebangsaan. Seperti ditulis Ali Masykur Musa, sikap dasar kebangsaan NU jelas, yakni keseimbangan antara ukhuwah islamiah (persaudaraan sesama Islam), ukhuwah basyariah (persaudaraan sesama manusia), dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa).

Pandangan NU tentang paham kebangsaan digali dari pemikiran-pemikiran politik Sunni Abad Pertengahan. Al-Ghazali dan al-Mawardi merupakan tokoh utamanya. NU melihat pandangan dua tokoh itu senapas dengan watak orang Jawa yang mementingkan keselarasan hubungan antarmanusia, seperti sikap moderat dan cenderung memilih "jalan damai". Ini karena jalan tengah dirasa senapas dengan tradisi Jawa yang ditandai pencarian suatu harmoni yang dicita-citakan dalam kehidupan masyarakat.

Karena itu, dalam perjalanannya, NU adalah organisasi terbesar di Indonesia yang tampil dan mampu mengikuti arah zaman. Ia menerjemahkan prinsip-prinsip dasar yang dicanangkannya ke dalam kehidupan konkret. Dalam bidang pendidikan, NU mewujudkannya dalam bentuk pesantren, lembaga pendidikan yang mengajarkan moral dan adiluhung dalam hidup dan berbangsa.

Dalam bidang sosial-ekonomi, NU mengusung ekonomi kerakyatan dan transformasi-transformasi sosial yang terejawantahkan dalam aksi-aksi sosial dengan membela kaum minoritas dan termarjinalkan. Dalam ranah teologi, NU menampilkan wajah Islam yang ramah: terhadap budaya lokal, adat setempat, dan agama-agama. Sementara itu dalam bidang politik, NU mengajak kepada moralitas politik, bukan tipu muslihat politik.

Memang, organisasi yang berdiri pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) oleh KH Hasyim Asy'ari ini pernah masuk ke dalam politik praktis. Itu terlihat pasca kemerdekaan Indonesia, orientasi NU lebih terkonsentrasi pada transformasi bidang sosial-politik. Tapi "politik" tampaknya bukanlah "rumah" NU yang sesungguhnya. Karena itu, era transformasi bidang sosial-politik itu berakhir saat NU memutuskan kembali ke Khitah 1926 dalam muktamar 1984 di Situbondo. Mulai saat itu, NU membuka lembaran baru dalam rangka transformasi bidang sosial-ekonomi.

Menariknya, NU dikenal sebagai organisasi yang moderat, yaitu sikap yang mengedepankan jalan tengah. Dalam bahasa NU, prinsip ini dikenal dengan istilah tawassuth yang mencakup tawazun (keseimbangan dan keselarasan), i'tidal (teguh dan tidak berat sebelah), dan iqtishad (bertindak seperlunya dan sewajarnya, tidak berlebihan).

Dalam mentransformasikan visi kebangsaan, NU selalu menampilkan dua watak, yakni kebijaksanaan dan keluwesan. Kebijaksanaan, bagi NU, adalah tindakan yang kondusif untuk memperoleh manfaat/menghindari kerugian. Kewajiban untuk mengurangi atau menghindari segala bentuk risiko atau akibat buruk juga merupakan salah satu tema sentral dalam tradisi ijtihad politik NU. Sementara itu, keluwesan NU adalah sikap kompromistis dan menghindari segala bentuk ekstremisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan ini adalah hasil kesimpulan bacaan dari beberapa sumber media> Monggo silahkan berkomentar. Salam