Banyak
harapan kepada NU, tetapi banyak juga gagasan untuk NU, baik secara konseptual
maupun yang operasional.
Nu
adalah wadah yang sudah dirancang sejak awal sebagai tempat berpadunya berbagai
paham keagamaan yang dibatasi oleh koridor ahlussunnah
wal jamaah. Mengagumkan sekali bahwa para founding fathers NU dalam hal
fiqih tidak hanya mengakui, merujuk, dan mengamalkan paham mazdhab syafii,
tetapi juga mau membuka diri kepada tiga madzhab utama yang lain. Padahal kita
tahu diantara ke empat mazdhab tersebut memiliki perbedaan yang sangat
mendasar. Pada masa itu, menyediakan wadah bagi tergali dan terwujudnya paham
ke empat madzhab ditengah masyarakat sungguh suatu langkah visioner. Demikian halnya
dalam menyatukan paham tauhid dari imam Asy’ari dan Maturidi.
Ibarat
semakin tinggi dan rindang sebuah pohon, semakin kencang dan besar pula angin
yang menerpanya. Bagitulah yang dialami Nahdlatul Ulama (NU) saat ini. Dalam
perspektif sosial-historis, NU memiliki tanggung jawab yang berat untuk
mengawal bangsa ini dari perjuangan prakemerdekaan hingga sekarang.
Sebagai
organisasi kultural keagamaan yang mengusung nilai-nilai aswaja, NU adalah
bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa sekaligus sebagai wujud kegairahan
luhur para ulama dalam membangun peradaban. NU bukan ormas yang eksklusif
terhadap perbedaan dan keragaman. Justru keragaman dan pluralitas itulah spirit
yang hendak diembuskan NU. Kebhinekaan dan kemajemukan menjadi roh NU dalam
menancapkan misi perjuangannya. NU secara terang-terangan mengatakan Pancasila
adalah asas final bagi Indonesia. NU pun tampil menjadi ormas garda depan yang
berwatak kebangsaan.
Pergumulan
NU dan Paham Kebangsaan Indonesia ini menjelaskan secara gamblang cara NU dalam
mentransformasikan misi organisasinya dalam konteks kebangsaan. Seperti ditulis
Ali Masykur Musa, sikap dasar kebangsaan NU jelas, yakni keseimbangan antara
ukhuwah islamiah (persaudaraan sesama Islam), ukhuwah basyariah (persaudaraan
sesama manusia), dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa).
Pandangan NU tentang paham kebangsaan digali dari pemikiran-pemikiran politik Sunni Abad Pertengahan. Al-Ghazali dan al-Mawardi merupakan tokoh utamanya. NU melihat pandangan dua tokoh itu senapas dengan watak orang Jawa yang mementingkan keselarasan hubungan antarmanusia, seperti sikap moderat dan cenderung memilih "jalan damai". Ini karena jalan tengah dirasa senapas dengan tradisi Jawa yang ditandai pencarian suatu harmoni yang dicita-citakan dalam kehidupan masyarakat.
Pandangan NU tentang paham kebangsaan digali dari pemikiran-pemikiran politik Sunni Abad Pertengahan. Al-Ghazali dan al-Mawardi merupakan tokoh utamanya. NU melihat pandangan dua tokoh itu senapas dengan watak orang Jawa yang mementingkan keselarasan hubungan antarmanusia, seperti sikap moderat dan cenderung memilih "jalan damai". Ini karena jalan tengah dirasa senapas dengan tradisi Jawa yang ditandai pencarian suatu harmoni yang dicita-citakan dalam kehidupan masyarakat.
Karena
itu, dalam perjalanannya, NU adalah organisasi terbesar di Indonesia yang
tampil dan mampu mengikuti arah zaman. Ia menerjemahkan prinsip-prinsip dasar
yang dicanangkannya ke dalam kehidupan konkret. Dalam bidang pendidikan, NU
mewujudkannya dalam bentuk pesantren, lembaga pendidikan yang mengajarkan moral
dan adiluhung dalam hidup dan berbangsa.
Dalam
bidang sosial-ekonomi, NU mengusung ekonomi kerakyatan dan
transformasi-transformasi sosial yang terejawantahkan dalam aksi-aksi sosial
dengan membela kaum minoritas dan termarjinalkan. Dalam ranah teologi, NU
menampilkan wajah Islam yang ramah: terhadap budaya lokal, adat setempat, dan
agama-agama. Sementara itu dalam bidang politik, NU mengajak kepada moralitas
politik, bukan tipu muslihat politik.
Memang,
organisasi yang berdiri pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) oleh KH Hasyim
Asy'ari ini pernah masuk ke dalam politik praktis. Itu terlihat pasca kemerdekaan
Indonesia, orientasi NU lebih terkonsentrasi pada transformasi bidang
sosial-politik. Tapi "politik" tampaknya bukanlah "rumah"
NU yang sesungguhnya. Karena itu, era transformasi bidang sosial-politik itu
berakhir saat NU memutuskan kembali ke Khitah 1926 dalam muktamar 1984 di
Situbondo. Mulai saat itu, NU membuka lembaran baru dalam rangka transformasi
bidang sosial-ekonomi.
Menariknya,
NU dikenal sebagai organisasi yang moderat, yaitu sikap yang mengedepankan
jalan tengah. Dalam bahasa NU, prinsip ini dikenal dengan istilah tawassuth
yang mencakup tawazun (keseimbangan dan keselarasan), i'tidal (teguh dan tidak
berat sebelah), dan iqtishad (bertindak seperlunya dan sewajarnya, tidak berlebihan).
Dalam
mentransformasikan visi kebangsaan, NU selalu menampilkan dua watak, yakni
kebijaksanaan dan keluwesan. Kebijaksanaan, bagi NU, adalah tindakan yang
kondusif untuk memperoleh manfaat/menghindari kerugian. Kewajiban untuk
mengurangi atau menghindari segala bentuk risiko atau akibat buruk juga
merupakan salah satu tema sentral dalam tradisi ijtihad politik NU. Sementara
itu, keluwesan NU adalah sikap kompromistis dan menghindari segala bentuk
ekstremisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulisan ini adalah hasil kesimpulan bacaan dari beberapa sumber media> Monggo silahkan berkomentar. Salam